Wednesday, December 23, 2009
Lelaku Sunan Kalijaga Lewat Bima Suci
Jalan untuk mendekat pada GUSTI ALLAH disebut dengan Suluk. Sementara manusia yang mencari jalan untuk mendekat pada GUSTI ALLAH disebut dengan Salik. Kerinduan akan dekatnya diri dengan GUSTI ALLAH ini menjadikan seseorang mulai mencari asal mula dirinya dan bakal ia bawa kemana hidupnya ini.
Hal itulah yang juga pernah terjadi pada Kanjeng Sunan Kalijaga. Beliau mencari sesuatu yang hakiki dari hidup ini. Dan hal itu telah ditemukannya. Namun beliau tidak semata-mata ingin membuka pengalaman spiritual beliau tersebut secara gamblang. Sunan Kalijaga cenderung lebih memilih untuk menyamarkan pengalaman spiritualnya lewat kisah pewayangan dengan lakon Dewaruci atau kadangkala orang menyebutnya lakon wayang Bima suci.
Dalam lakon Dewaruci tersebut, mengisahkan tentang petualangan Bima dalam mencari tirta pawitra atau ‘Sangkan Paraning Dumadi’. Proses pencarian jati diri yang akhirnya menemukan ‘Sangkan Paraning Dumadi’ tersebut di kalangan umat Islam sesuai dengan Hadist Kanjeng Nabi Muhammad yang berbunyi “Man arafa nafsahu faqad rabbahu” yang artinya, ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia mengenal Tuhannya’.
Bagian cerita Dewaruci menceritakan bahwa Bima berserah diri pada gurunya. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali pada Pendeta Durna. Air suci yang diperintahkan Pendeta Durna untuk mencarinya tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”.
Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada gurunya. Berangkatlah Bima ke tepi lautan. Tanpa ragu-ragu iapun melangkah ke tengah laut karena meyakini apa yang dicarinya ada di tengah samudra.
Ketika berada di tengah samudra itulah, Bima bertemu dengan Dewaruci yang bertubuh kecil. Sang Dewaruci menegur Bima,”Hai Bima, apa yang kau cari di tengah samudra ini?” Bima pun menjawab dengan sigap bahwa dirinya mencari tirta pawitra seperti diperintahkan gurunya, Begawan Durna. Dewaruci memperingatkan Bima bahwa apa yang dicarinya tidak ada di tengah samudra. Tetapi Bima tetap ngotot ingin mencari.
Singkat cerita, lantaran tekad Bima yang sangat besar itu, Dewaruci memerintahkan pada Bima untuk masuk ke dalam badan Dewaruci yang kecil. Seketika Bima pun tertawa terbahak-bahak. “Bagaimana aku yang bertubuh besar bisa masuk ke dalam badanmu yang kecil? Itu jelas tidak mungkin,” kata Bima. Tetapi Dewaruci pun menjawab,”Hai Bima, besar mana tubuhmu dengan alam semesta ini?” Bima menjawab,” Jelas lebih besar alam semesta ini.” “Lha alam semesta yang katamu besar ini saja bisa masuk ke dalam tubuhku, mengapa kamu tidak bisa masuk? Kamu pasti bisa masuk,” tegas Dewaruci sembari memerintahkan Bima untuk masuk ke dalam badan Dewaruci melalui ‘telinga kiri’ sang Dewaruci.
Setelah masuk badan Dewaruci, Bima merasakan bahwa dirinya tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang tak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Bima tidak tahu lagi mana arah barat dan timur, selatan dan utara. Semuanya serba membingungkan. Tiba-tiba ia melihat cahaya. Cahaya yang dilihat Bima beraneka macam warna. Beraneka macam warna cahaya itu dikalangan orang-orang yang lelaku disebut Pancamaya.
Bima melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Warna-warna itu melambangkan aneka nafsu yang merupakan penghalang cipta, rasa dan karsa untuk bertemu dengan GUSTI ALLAH. Nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan GUSTI ALLAH.
Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.
Setelah itu warna-warna yang dilihat Bima itupun hilang dan berganti dengan 8 warna. Siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.
Setelah itu, Bima melihat benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibatasi oleh jasad. Seusai semuanya, Bima tidak lagi merasakan apa-apa. Ia merasakan dirinya sudah tidak ada dan lenyap bersama dengan KeberadaanNYA. Bima tak merasakan khawatir, tidak ingin makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat semata. Hal ini menyebabkan Bima betah berlama-lama di tempat dan kondisi tersebut .
Pencarian Bima Suci itupun akhirnya berakhir dengan kebahagiaan. Bukankah kebahagiaan dan ketentraman dalam hidup dan hidup serasa diayomi dan dilindungi itu yang kita cari? Untuk itu, tidak ada salahnya jika kini Anda mulai menjadi seorang salik yang mencari suluk sejati seperti halnya laku Sunan Kalijaga yang disamarkan lewat kisah Bima Suci atau Dewaruci.
Saturday, December 19, 2009
Belajar dari Wirid Wirayat Jati Ronggowarsito
Banyak orang yang tidak tahu apa sih ilmu sejati itu? Banyak para salik yang mencari suluk untuk mendapatkan ilmu sejati yakni ilmu kasampurnan (kesempurnaan) hidup. Tidak ada salahnya jika kita belajar ilmu kasampurnaan hidup itu dari Raden Ngabehi Ronggowarsito dari Serat Wirid Wirayat Jati yang ditulisnya. Bagaimana ilmu kasampurnan itu?
Anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf, panggêlaring wêjangan wau thukul saking kawêningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wêdharing pangandikaning Pangeran dhatêng Nabi. Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makatên: Ing sabênêr-bênêre manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji.
(Inilah sebuah petunjuk benar yang menjelaskan ilmu sirr kesempurnaan hidup, yang berakar dari ajaran para ahli hikmah di tanah Jawa, yang hendak membuka hakikat kesempurnaan sejati, sebuah pelajaran kitab Tasawuf, ajaran ini terpancar dari kebersihan jiwa heningnya alam pikiran, yaitu tanggapnya rasa atas cipta Tuhan, dengan ikhlas mengawali pelajaran ini yakni dengan menukil Firman Allah pada Nabi Musa AS yang bermakna : Yang sebenar- benar manusia itu adalah kenyataan (adanya) Tuhan, dan Tuhan itu Maha Esa.)
Pangandikaning Pangeran ingkang makatên wau, inggih punika ingkang kawêdharakên dening para gurunadi dhatêng para ingkang sami katarimah puruitanipun. Dene wontên kawruh wau, lajêng kadhapuk 8 papangkatan, sarta pamêjanganipun sarana kawisikakên ing talingan kiwa. Mangêrtosipun asung pêpengêt bilih wêdharing kawruh kasampurnan, punika botên kenging kawêjangakên dhatêng sok tiyanga, dene kengingipun kawêjangakên, namung dhatêng tiyang ingkang sampun pinaringan ilhaming Pangeran, têgêsipun tiyang ingkang sampun tinarbuka papadhanging budi pangangên-angênipun (ciptanipun).
(Firman Allah yang demikian ini diajarkan para ahli (mursyid) kepada siapa yang diterima penghambaannya(salik). Dimana ajaran itu, kemudian teringkas menjadi 8 hal, penyampaiannya dengan cara membisikkan ke telinga murid sebelah kiri. Pemahaman semacam ini memberikan pengertian bahwa ilmu 'kasampurnan' ini tidak seyogyanya diajarkan kepada sembarang orang, kecuali kepada orang-orang yang telah mendapat hidayah dari Allah SWT, artinya orang yang telah tercerahkan dirinya (ciptanya).)
Awit saking punika, pramila ingkang sami kasdu maos sêrat punika sayuginipun sinêmbuha nunuwun ing Pangeran, murih tinarbuka ciptaning sagêd anampeni saha angêcupi suraosing wejangan punika, awit suraosipun pancen kapara nyata yen saklangkung gawat. Mila kasêmbadanipun sagêd angêcupi punapa suraosing wêjangan punika, inggih muhung dumunung ing ndalêm raosing cipta kemawon.
(Barang siapa membaca tulisan ini seyogyanya berlandaskan permohonan kepada Allah, agar kiranya dapat terbuka ciptanya hingga mampu menerima dan memahami maknanya, karena makna dari ajaran ini ternyata sangat rumit/berbahaya. Maka bisanya memahami ajaran ini tidak lain hanya berada di dalam cipta - rasa pribadi.)
Mila inggih botên kenging kangge wiraosan kaliyan tiyang ingkang dereng nunggil raos, inggih ingkang dereng kêparêng angsal ilhaming Pangeran. Hewa dene sanadyana kangge wiraosing kaliyan tiyang ingkang dereng nunggil raos, wêdaling pangandika ugi mawia dudugi lan pramayogi, mangêrtosipun kêdah angen mangsa lan êmpan papan saha sinamun ing lulungidaning basa.
(Maka tidak boleh kiranya untuk didiskusikan dengan orang yang belum sampai atau belum mengunggal rasanya dengan kita, yaitu orang yang belum menerima hidayah dari Allah SWT. Walau demikian seandainya harus disampaikan kepada orang yang belum sampai, hendaknya disampaikan dengan sangat hati-hati, melihat situasi- kondisi, waktu dan tempat yang tepat serta disampaikan dengan kiasan bahasa yang indah.)
Mênggah wontêning wêwêjangan 8 pangkat wau, kados ing ngandhap punika:
(Delapan wejangan tersebut di atas, sebagaimana di bawah ini:)
I.1. Wêwêjangan ingkang rumiyin, dipun wastani: pitêdahan wahananing Pangeran, sasadan pangandikanipun Pangeran dhatêng Nabi Mohammad s.a.w. Makatên pangandikanipun: Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhihin iku ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun sajatine kang urip luwih suci, anartani warna aran lan pakartiningsun (dat, sipat, asma, afngal).
(I.1 Wejangan yang pertama, disebut pelajaran akan sifat-sifat Allah. Sebagaimana firman Allah kepada Nabi Muhammad SAW yang bermakna kurang lebih begini: Sesungguhnya tidak ada apa-apa tatkala sebelum masa penciptaan, yang ada (paling awal) itu hanya Aku, tidak ada Tuhan kecuali Aku yang Hidup dan Maha Suci baik asma maupun sifatKu (dzat, sifat, asma, af'al).)
I.2. Mênggah dunungipun makatên: kang binasakake angandika ora ana Pangeran anging ingsun, sajatine urip kang luwih suci, sajatosipun inggih gêsang kita punika rinasuk dening Pangeran kita, mênggahing warna nama lan pakarti kita, punika sadaya saking purbawisesaning Pangeran kita, inggih kang sinuksma, têtêp tintêtêpan, inggih kang misesa, inggih kang manuksma, umpami surya lan sunaripun, mabên lan manisipun, sayêkti botên sagêd den pisaha.
(I.2. Yang dimaksud begini: Yang digambarkan tiada tuhan kecuali aku, hakekat hidup yang suci, sesungguhnya hidup kita ini adalah melambangkan citra Allah, sedang nama dan perbuatan kita itu semua berasal dari Kemahakuasaaan Allah, yang 'menyatu' ibarat matahari dan sinarnya, madu dengan manisnya, sungguh tiada terpisahkan.)
II.1. Wêwêjangan ingkang kaping kalih, dipun wastani: Pambuka kahananing Pangeran, pamêjangipun amarahakên papangkatan adêging gêsang kita dumunung ing dalêm 7 kahanan, sasadan pangandikanipun Pangeran dhatêng Nabi Mohammad s.a.w. Makatên pangandikanipun: Satuhune ingsun Pangeran sajati, lan kawasan anitahakên sawiji-wiji, dadi padha sanalika saka karsa lan pêpêsteningsun, ing kono kanyatahane gumêlaring karsa lan pakartiningsun, kang dadi pratandha.
(II.1 Wejangan yang kedua adalah : Pengertian adanya Allah., Wejangan ini mengajarkan bahwa elemen hidup kita ini berada pada 7 keadaan, sebagaimana firman Allah kepada Muhammad SAW yang maknanya begini: Sesungguhnya Aku adalah Allah, yang berkuasa menciptakan segala sesuatu dengan kun fa yakun dari qodrat dan iradatKu, yang demikian ini menjadi pertanda bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.)
II, 2. Kang dhihin, ingsun gumana ing dalêm awang-uwung kang tanpa wiwitan tanpa wêkasan, iya iku alam ingsun kang maksih piningit.
(II.2. Yang pertama, Aku ada dalam ketiadaan yang tanpa awal serta tanpa akhir, itulah alamKu yang Maha Gaib.)
II, 3. Kapindho, ingsun anganakake cahya minangka panuksmaningsun dumunung ana ing alam pasênêdaningsun.
(II, 3. Kedua, Aku mengadakan cahaya sebagai manifestasiKu, berada dalam kehendakKu.)
II, 4. Kaping têlu, ingsun anganakake wawayangan minangka panuksma lan dadi rahsaningsun, dumunung ana ing alam pambabaraning wiji.
(II, 4. Ketiga, Aku menciptakan bayang-bayang sebagai pertanda citraKu, yang berada pada alam kejadian/penciptaan (mula-jadi).)
II, 5. Kaping pat, ingsun anganakake suksma minangka dadi pratandha kauripaningsun, dumunung ana ing alaming gêtih.
(II. 5. Keempat, Aku mengadakan ruh sebagai pertanda hidupku, yang berada pada darah.)
II, 6. Kaping lima, ingsun anganakake angên-angên kang uga dadi warnaningsun, ana ing dalêm alam kang lagi kêna kaumpamaake bae.
(II, 6. Kelima, Aku mengadakan angan-angan yang juga menjadi sifatku, yang berada pada alam yang baru boleh diumpamakan saja.)
II, 7. Kaping ênêm, ingsun anganakake budi, kang minangka kanyatahan pêncaring angên-angên kang dumunung ana ing dalêm alaming badan alus.
(II, 7. Keenam, Aku mengadakan budi, yang merupakan kenyataan penjabaran angan- angan yang berada pada alam ruhani.)
II, 8. Kaping pitu, ingsun anggêlar warana kang minangka kakandhangan sakabehing paserenaningsun. Kasêbut nêm prakara ing dhuwur mau tumitah ana ing donya iya iku sajatining manungsa.
(II, 8. Ketujuh, aku menggelar akal sebagai sentral/wadah atas semua ciptaanku. Enam perkara tersebut di atas tercipta di dunia yang merupakan hakikat manusia.)
Tuesday, December 8, 2009
Pencarian Jati Diri
Ada seorang teman yang bertanya, bagaimana caranya untuk memulai mencari jati diri? Mencari jati diri memiliki arti umum mengenali siapa sebenarnya diri kita pribadi. Tetapi pencarian jati diri secara khusus memiliki arti yang dalam yaitu proses pencarian Urip (hidup) yang ada dalam diri pribadi kita sendiri.
Proses pencarian tersebut, jika kita sudah tahu hakekat kenapa kita hidup, maka pertanyaan tidak akan berhenti sampai di situ saja. Pertanyaan akan semakin mendalam, apa saja yang menjadikan kita manusia hidup? Dan ujung-ujungnya adalah pertanyaan siapa yang menghidupi kita?
Dari serangkaian pertanyaan yang mendalam tersebut akan berujung pada GUSTI ALLAH. Ketika setiap pertanyaan tentang hidup itu kita sudah bisa menjawabnya, maka akan sampailah kita mulai mencoba mengenal GUSTI ALLAH lewat pertanyaan siapa yang menghidupi dan memelihara hidup kita?
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa proses pencarian jati diri adalah proses untuk mendekatkan diri dengan GUSTI ALLAH. Pencarian jati diri juga merupakan upaya untuk mengenal keberadaan GUSTI ALLAH, maka akan tampak tanda-tandanya bagi manusia yang mencoba mengenalnya yaitu ketenangan dalam menghadapi hidup. Disamping itu, hati menjadi lebih tenteram dan mantap dalam menghadapi hidup. Ia tidak akan grusa-grusu.
Artinya, dalam menghadapi hidup itu, manusia yang sudah melakukan pencarian jati diri akan menyadari bahwa semua aspek kehidupan itu dibawah naungan GUSTI ALLAH. Bukankah seringkali manusia itu lupa tentang keberadaan GUSTI ALLAH. Jika berhasil dalam hidup, ia senantiasa mengatakan keberhasilan ini berkat ketekunan dan kerja kerasku selama ini!
Nah, salah satu cara untuk mengenal jati diri adalah dengan membedakan suara hati yaitu suara hati besar dan suara hati kecil. Kalau kita sering mendengarkan suara hati besar dan hati kecil, maka kita akan hafal dengan suara hati besar dan hati kecil tersebut. Setelah hafal, cobalah untuk hanya mendengarkan suara hati kecil Anda saja.
Pertanyaannya, mengapa kok hanya suara hati kecil yang didengarkan? Karena hati kecil yang biasa disebut dengan hati nurani itu senantiasa menyuarakan kebenaran. Sedangkan hati besar itu senantiasa menyuarakan kebohongan. Kalau kita sudah sering mendengarkan suara hati kecil, artinya kita senantiasa mendengarkan suara kebenaran hidup. Bukankah hidup itu memiliki arti Hamemayu Hayuning Bawono (Memperindah dan mempercantik Dunia).
Monday, November 23, 2009
Dibalik Rasa Percaya Diri
Setiap manusia itu memiliki kehidupan pribadi. Kehidupannya jelas merupakan urusan dari manusia itu sendiri dan GUSTI ALLAH. Untuk itu, manusia harus tahu keberadaan diri pribadi dan tidak malah mengekor pada orang lain.
Sering kita menjumpai orang-orang yang tidak bisa memutuskan sesuatu. Dia lebih sering mengambil ide orang lain untuk menyelesaikan sesuatu masalah yang membelenggu kehidupannya. Hal itu sah-sah saja. Tetapi, jika seorang manusia tetap saja menganggap ide orang lain itu yang paling benar, berarti dia tidak memiliki kepercayaan diri.
Orang yang tidak memiliki kepercayaan diri, sama saja tidak tahu bahwa dirinya mampu untuk melakukan segala sesuatu. Yang perlu diingat, GUSTI ALLAH itu ada dalam diri kita masing-masing. GUSTI ALLAH tidak menggantung di awang-awang. GUSTI ALLAH itu dekat dengan kita, bahkan lebih dekat dari urat leher kita sendiri.
Setiap orang memiliki perbedaan dalam pola pikirnya. Setiap orang itu berbeda-beda, tidak bisa sama. Ide orang lain itu belum tentu cocok dengan diri kita pribadi. Untuk itu, yang tahu bahwa sesuatu hal itu cocok bagi kita adalah diri kita sendiri. Hal itu sudah tercantum dalam kata-kata Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Magrwa. Artinya, Berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua.
Hal itu memiliki arti, bahwa setiap manusia dengan manusia lainnya itu berbeda-beda. Tetapi pada hakekatnya, manusia itu satu. Semuanya berasal dari satu wiji (benih) yaitu GUSTI ALLAH. Jadi, Perbedaan tersebut harus kita syukuri, bukan malah kita sesali. Percaya pada diri sendiri merupakan wujud rasa syukur kita pada GUSTI ALLAH. Oleh karena itu, tumbuhkan rasa percaya diri Anda.
Wednesday, September 23, 2009
Ngelmu Ajaran RMP Sosrokartono
Dia adalah sosok yang mendapat julukan 'Pangeran Jawa'. Tidak banyak orang yang memahami kiprahnya. Orang lebih banyak mengetahui sosoknya sebagai kakak dari RA. Kartini. Dia bernama RMP Sosrokartono.
Dia juga dikenal sebagai sosok pejuang bagi bangsa Indonesia. Ia fasih dalam beberapa bahasa. Tercatat sebanyak 9 bahasa Timur dan 17 bahasa Barat dikuasainya. Ia disebut sebagai 'Pangeran Jawa' karena sosok intelektual-priyayi dari Hindia Belanda.
Sosrokartono mendapatkan gelar Doctorandus in de Oostersche Talen dalam bidang bahasa dan sastra pada tahun 1908. Hal itu merupakan ancaman bagi pemerintahan kolonial Belanda. Bahkan Mohammad Hatta pun pernah menjuluki Sosrokartono sebagai manusia jenius.
Bahkan Sosrokartono juga pernah menjadi wartawan The New York Herald Tribune. Upayanya untuk mencapai gelar banyak menemukan batu sandungan. Tetapi hal itu tidak mematikan semangatnya untuk terus berjuang demi negara dan bangsanya.
Sosrokartono pun pulang dan mengabdi pada negeri dengan menjadi pemimpin Nationale Middlebare School di Bandung. Akan tetapi, pemerintah kolonial curiga dengan ulahnya itu. Mereka melakukan represi politik terhadapnya. Hal yang membuat genius kita ini mencari jalan ekspresi lain untuk mengabdi dan tetap menjadi manusia bebas.
Sosrokartono memutuskan membuka praktik pengobatan tradisional dan menempuh laku spiritual khas Jawa. Sebuah pilihan yang ganjil, memang. Namun, seganjil apa pun, pilihan itu tak menutupi kontribusi Sosrokartono dalam usaha pembentukan negara Indonesia.
Cukup banyak tokoh kunci dalam pergerakan politik nasionalis saat itu yang berinteraksi dengan Sosrokartono. Soekarno dan Ki Hajar Dewantoro, antara lain, memberi penghormatan besar kepadanya, termasuk pada laku spiritual dalam menopang lakon politik mereka.
Laku spiritual dari Sosrokartono antara lain adalah
1. Ilmu kantong bolong
2. Ilmu Sunyi
Ilmu Kantong Bolong
Apa sih ilmu kantong bolong itu? Ilmu kantong bolong itu adalah memiliki filosofi "Nulung pepadane, ora nganggo mikir wayah, waduk, kantong. Yen ono isi lumuntur marang sesami (menolong sesama tak peduli waktu, perut, dan kantong. Bila ada isinya diperuntukkan bagi sesama manusia).
Ilmu kantong bolong merupakan laku cinta-kasih pada manusia dan Tuhan. Cinta kasih sempurna untuk menolong sesama manusia dalam mengatasi derita, rasa sakit, dan duka. Cinta-kasih adalah ekspresi pengabdian pada Tuhan.
Kalaupun kita tidak memiliki apa-apa, dan hanya punya cinta, maka cinta kasih itupun yang kita berikan pada sesama.
Ilmu Sunyi
Ilmu sunyi adalah puncak laku spiritual dengan mengosongkan diri
(pribadi) dari sifat pemujaan diri dengan mempertaruhkan diri secara lahir-batin untuk menolong sesama manusia. Sosrokartono mengungkapkan, "Saya adalah manusia. Oleh sebab itu, kemanusiaan tidaklah asing bagi saya."
Wejangan Sosrokartono
Ada beberapa wejangan penting dari Sosrokartono antara lain, 'sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake (kata tanpa harta, sakti tanpa jimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan).
Ada baiknya jika kita menambah referensi dengan belajar (ngelmu) pada ajaran RMP Sosrokartono sehingga kita bisa lebih dekat dengan GUSTI ALLAH.
Tuesday, September 22, 2009
Belajar Mencintai dari Serat Nitisruti Pupuh Pucung (1-20)
1.
Kang sinebut ing gesang ambeg linuhung,
kang wus tanpa sama,
iya iku wong kang bangkit,
amenaki manahe sasama-sama.
(Yang disebut memiliki sifat luhur dalam hidup
yang tidak ada tandingannya,
yaitu orang yang bisa membangkitkan,
menyenangkan hati sesama manusia)
2.
Saminipun kawuleng Hyang kang tumuwuh,
kabeh ywa binada,
anancepna welas asih,
mring wong tuwa kang ajompo tanpa daya.
(Sesama makhluk Gusti yang Hidup,
semua jangan dibeda-bedakan,
tanamkan rasa welas asih,
terhadap orangtua yang jompo tanpa daya)
3.
Malihipun rare lola kawlas ayun,
myang pekir kasiyan,
para papa anak yatim,
openana pancinen sakwasanira.
(Disamping itu anak terlantar juga dikasihi,
juga terhadap kaum miskin,
anak yatim yang papa,
peliharalah se-kuasamu)
4.
Mring wong luput den agung apuranipun,
manungsa sapraja,
peten tyase supadya sih,
pan mangkana wosing tapa kang sanyata.
(Terhadap orang yang salah berilah ampunan yang besar,
manusia satu negara,
ambillah hatinya supaya muncul asih tresno,
Hal seperti itu adalah inti bertapa yang senyatanya)
5.
Yen amuwus ywa umres rame kemruwuk,
brabah kabrabeyan,
lir menco ngoceg ngecuwis,
menek lali kalimput kehing wicara,
(Kalau ngomong jangan terlalu banyak bicara,
karena banyak yang terganggu,
seperti burung menco yang ngecuwis,
lupa diri karena banyak bicara)
6.
Nora weruh wosing rasa kang winuwus,
tyase katambetan,
tan uninga ulat liring,
lena weya pamawasing ciptamaya.
(Tidak mengerti apa yang diomongkan,
karena hatinya tertutup,
tidak memahami pasemon,
tidak hati-hati terhadap pola pikirnya)
7.
Dene lamun tan miraos yen amuwus,
luwung umendela,
anging ingkang semu wingit,
myang den dumeh ing pasmon semu dyatmika.
(Kalau tidak bisa merasakan,
lebih baik diam,
terhadap perkara yang tidak diketahui,
dan milikilah perilaku yang tenang)
8.
Yen nengipun alegog-legog lir tugu,
basengut kang ulat,
pasmon semu nginggit-inggit,
yen winulat nyenyengit tan mulat driya.
(Ketika diammu membisu seperti tugu,
dan roman muka mbesengut,
penampilan semu nginggit-inggit,
jika dilihat akan menyakitkan dan tidak bisa menyenangkan hati)
9.
Kang kadyeku saenggon-enggon kadulu,
ngregedi paningal,
nora ngresepake ati,
nora patut winor aneng pasamuwan.
(Yang seperti itu ketika dilihat,
tidak enak untuk dipandang,
tidak meresap dalam hati,
tidak patut untuk berkumpul dalam sebuah pertemuan)
10.
Wong amuwus aneng pasamuwan agung,
yeka den sembada,
sakedale den patitis,
mengetanawarahe Panitisastra.
(orang yang datang pada pertemuan agung,
harus sembodo,
setiap yang diucapkan harus patitis,
ingatlah petunjuk panitisastra)
11.
Kang kalebu musthikaning rat puniku,
sujanma kang bisa,
ngarah-arah wahyaning ngling,
yektinira aneng ngulat kawistara.
(Yang termasuk manusia unggul itu,
adalah manusia yang bisa,
menempatkan diri saat waktunya berbicara,
sejatinya tampak dalam roman mukanya)
12.
Ulat iku nampani rasaning kalbu,
wahyaning wacana,
pareng lan netya kaeksi,
kang waspada wruh pamoring pasang cipta.
(Roman muka itu menunjukkan rasa hati,
waktunya bersamaan dengan sorot mata,
Yang waspada tentu tahu terhadap pamor pasang cipta)
13.
Milanipun sang Widhayaka ing dangu,
kalangkung waskitha,
uninga salwiring wadi,
saking sampun putus ing cipta sasmita.
(Makanya dahulu sang widhayaka,
lebih waskita,
tahu semua rahasia,
karena sudah putus dengan cipta sasmita)
14.
Wit wosipun ngagesang raosing kalbu,
kumedah sinihan,
ing sasamaning dumadi,
nging purwanya sinihan samaning janma.
(Karena hidup itu adalah rasanya hati,
harus mencintai terhadap sesama makhluk hidup,
itu merupakan awal dicintai oleh sesama manusia)
15.
Iku kudu sira asiha rumuhun,
kang mangka lantaran,
kudu bangkit miraketi,
mring sabarang kang kapyarsa katingalan.
(Untuk itu Anda harus tresno asih lebih dulu,
yang menjadi awal,
harus membangkitkan rasa mempererat,
terhadap semua hal yang terdengar dan terlihat)
16.
Iya iku kang mangka pangilonipun,
bangkita ambirat,
ingkang kawuryan ing dhiri,
anirnakna panacad maring sasama.
(Iya itu yang menjadi kaca benggala,
bisa menghilangkan,
yang tampak pada diri,
menghilangkan kecurigaan pada sesama)
17.
Kabeh mau tepakna ing sariramu,
paran bedanira,
kalamun sira mangeksi,
solah bawa kang ngewani lawan sira.
(Semua itu tempatkan pada dirimu,
bagaimana bedanya antara kamu,
dengan solah bawa yang menjengkelkan hatimu)
18.
Nadyan ratu ya tan ana paenipun,
nanging sri narendra,
iku pangiloning bumi,
enggonira ngimpuni sihing manungsa.
(Meskipun ratu juga tidak ada bedanya,
tetapi ratu adalah untuk kaca benggala dunia
sebagai kumpulan cinta terhadap sesama)
19.
Mapan sampun panjenengan sang aprabu,
sinebut narendra,
ratuning kang tata krami,
awit denya amenaki tyasing janma.
(Karena sudah diangkat jadi ratu,
juga disebut pemimpin,
ratunya tata krama,
karena perbuatannya menyenangkan hati manusia lainnya)
20.
Kang kawengku sajagad sru kapiluyu,
kelu angawula,
labet piniluta ing sih,
ing wusana penuh aneng pasewakan.
(Rakyat yang dipikul menjadi senang,
akhirnya senang menjalankan perintah,
karena dari rasa cinta,
sehingga pertemuan di kraton menjadi penuh)
Monday, September 21, 2009
Kalahkan Hawa Nafsu, Satukan Hati dan Ucapan
Hati adalah sumber segala-galanya. Seperti pernah diulas pada tulisan beberapa waktu yang lalu tentang hati, telah dijelaskan bahwa hati setiap manusia dibagi menjadi dua. Yaitu hati besar dan hati kecil. Hati besar adalah hati yang selalu berkata bohong, membuat panas, mengadu domba, iri, dengki dan lain-lainnya. Sementara hati kecil juga biasa disebut hati nurani adalah hati yang selalu berkata jujur, apa adanya, dan selalu mengingatkan setiap manusia untuk senantiasa berbuat kebaikan.
Namanya saja hati besar, jadi dengan tempat yang cukup besar maka, kekuasaannya pun juga besar. Sedangkan hati kecil memang sangat kecil namun bila dikelola dengan baik akan mampu untuk menundukkan sekeras apapun, setinggi apapun dan sehebat apapun. Tak heran jika Kanjeng Nabi Muhammad SAW senantiasa mengingatkan manusia bahwa jihad yang paling besar pada setiap manusia adalah perang melawan hawa nafsunya. Nah, hawa nafsu itulah yang ada pada hati besar dan cukup dominan.
Maaf, selama ini banyak orang yang salah dalam mengartikan jihad. Jihad itu bukanlah dengan memukuli, menghajar dan memaksa orang lain untuk berbuat baik. Tetapi jihad itu jika mensitir Kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah urusan seorang manusia dengan dirinya sendiri. Artinya, setiap manusia harus mampu untuk mengalahkan hawa nafsunya. Setelah berpuasa selama satu bulan penuh, seseorang akan bisa disebut menjadi insan yang fitri ketika ia sudah bisa mengalahkan hawa nafsunya sendiri. 'Kemenangan' dalam mengalahkan hawa nafsunya sendiri itu biasanya terpancar dari wajah dan perilaku seseorang. Dari roman wajahnya akan tampak ketenangan dan ketabahan dalam menghadapi hidup. Setiap persoalan dalam hidup di dunia pun dihadapinya dengan tenang.
Siapapun yang menjadi insan yang fitri itu adalah orang yang berhasil membuat hati kecilnya lebih berkuasa dibandingkan hati besarnya. Hati yang besar itupun menjadi takluk dan tunduk. Orang yang seperti itulah yang beruntung dalam menghadapi hidup di dunia.
Satukan Hati dan Ucapan
Apabila hati besar yang penuh kebohongan dan arogansi sudah dikalahkan dan ditundukkan, maka yang muncul adalah kejujuran. Apa sih kejujuran itu? Kejujuran adalah bersatunya ucapan hati dan ucapan mulut. Artinya, antara hati dan mulut mengucapkan hal yang sama. Jika antara ucapan hati dan ucapan mulut tidak sama, berarti hawa nafsu yang ada pada hati besar bisa dikatakan masih belum mampu dikalahkan dan ditundukkan.
Jika pada hati dan ucapan mulut kita tidak sama, jangan berharap doa kita bisa diterima oleh GUSTI ALLAH. Lha kok bisa? Jelas. Pasalnya, ketika berdoa kita selalu mengucapkan doa dan mengharapkan agar doa kita terkabul. Lha bagaimana bisa terkabul, kalau hati kita sendiri tidak meyakininya? Artinya, sebuah doa menjadi tidak terkabul ketika antara ucapan mulut dan hati tidak sama. Hati mengatakan itu, mulut mengatakan ini (yang nyata-nyata bertolak belakang).
Moga-moga kita menjadi insan fitri yang beruntung setelah digembleng puasa selama satu bulan sehingga mampu menghadapi hidup ini dengan ketenangan dan ketabahan. Dan mulai sekarang jika berbicara antara hati dan ucapan selalu sama agar kita bisa menjadi insan yang dekat dengan GUSTI ALLAH. Amien.
Selamat hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Namanya saja hati besar, jadi dengan tempat yang cukup besar maka, kekuasaannya pun juga besar. Sedangkan hati kecil memang sangat kecil namun bila dikelola dengan baik akan mampu untuk menundukkan sekeras apapun, setinggi apapun dan sehebat apapun. Tak heran jika Kanjeng Nabi Muhammad SAW senantiasa mengingatkan manusia bahwa jihad yang paling besar pada setiap manusia adalah perang melawan hawa nafsunya. Nah, hawa nafsu itulah yang ada pada hati besar dan cukup dominan.
Maaf, selama ini banyak orang yang salah dalam mengartikan jihad. Jihad itu bukanlah dengan memukuli, menghajar dan memaksa orang lain untuk berbuat baik. Tetapi jihad itu jika mensitir Kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah urusan seorang manusia dengan dirinya sendiri. Artinya, setiap manusia harus mampu untuk mengalahkan hawa nafsunya. Setelah berpuasa selama satu bulan penuh, seseorang akan bisa disebut menjadi insan yang fitri ketika ia sudah bisa mengalahkan hawa nafsunya sendiri. 'Kemenangan' dalam mengalahkan hawa nafsunya sendiri itu biasanya terpancar dari wajah dan perilaku seseorang. Dari roman wajahnya akan tampak ketenangan dan ketabahan dalam menghadapi hidup. Setiap persoalan dalam hidup di dunia pun dihadapinya dengan tenang.
Siapapun yang menjadi insan yang fitri itu adalah orang yang berhasil membuat hati kecilnya lebih berkuasa dibandingkan hati besarnya. Hati yang besar itupun menjadi takluk dan tunduk. Orang yang seperti itulah yang beruntung dalam menghadapi hidup di dunia.
Satukan Hati dan Ucapan
Apabila hati besar yang penuh kebohongan dan arogansi sudah dikalahkan dan ditundukkan, maka yang muncul adalah kejujuran. Apa sih kejujuran itu? Kejujuran adalah bersatunya ucapan hati dan ucapan mulut. Artinya, antara hati dan mulut mengucapkan hal yang sama. Jika antara ucapan hati dan ucapan mulut tidak sama, berarti hawa nafsu yang ada pada hati besar bisa dikatakan masih belum mampu dikalahkan dan ditundukkan.
Jika pada hati dan ucapan mulut kita tidak sama, jangan berharap doa kita bisa diterima oleh GUSTI ALLAH. Lha kok bisa? Jelas. Pasalnya, ketika berdoa kita selalu mengucapkan doa dan mengharapkan agar doa kita terkabul. Lha bagaimana bisa terkabul, kalau hati kita sendiri tidak meyakininya? Artinya, sebuah doa menjadi tidak terkabul ketika antara ucapan mulut dan hati tidak sama. Hati mengatakan itu, mulut mengatakan ini (yang nyata-nyata bertolak belakang).
Moga-moga kita menjadi insan fitri yang beruntung setelah digembleng puasa selama satu bulan sehingga mampu menghadapi hidup ini dengan ketenangan dan ketabahan. Dan mulai sekarang jika berbicara antara hati dan ucapan selalu sama agar kita bisa menjadi insan yang dekat dengan GUSTI ALLAH. Amien.
Selamat hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Tuesday, August 25, 2009
Puasa = Poso = Ngeposne Roso
Bagi orang Jawa, puasa adalah ritual yang biasa dilakukan. Bahkan konon, sebelum agama Islam yang menganjurkan manusia melakukan puasa masuk ke tanah Jawa, orang Jawa sudah biasa berpuasa. Namun puasanya tidak seperti yang diajarkan oleh agama Islam.
Banyak puasa yang dikenal oleh orang Jawa seperti poso mutih (puasa yang tanpa makan makanan yang berasa asin, manis, kecut dan lain-lain. Hanya makan nasi putih dan minum air putih selama 40 hari atau 3 hari yang memiliki hitungan 40 hari).
Ada lagi poso ngrowot (puasa yang hanya makan makanan ubi-ubian dan tumbuhan yang merambat. Seperti makan ketela, ubi dan lain-lain). Dan masih banyak lagi puasa-puasa yang dikenal di Jawa.
Setelah kedatangan Islam, akhirnya orang Jawa pun menjadi terbiasa dengan puasa ala Islam itu. Namun inti dari puasa ala Jawa dengan puasa ala Islam itu sama. Yaitu sama-sama sebagai upaya untuk mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH.
Namun sekarang ini banyak salah kaprah. Saat ini banyak orang yang menganggap puasa sebagai ibadah rutin tahunan. Nah, kalau orang sudah menganggap puasa itu sebagai ibadah rutin, maka ia mengerjakan puasanya juga seperti mengerjakan tugas rutinnya. Artinya, puasanya sekedar gugur kewajiban. Pokoknya sudah mengerjakan puasa, beres.
Orang yang seperti itu sudah dijelaskan dalam kitab Al Qur'an. yang artinya kurang lebih "Banyak manusia yang hanya menemukan kepayahan demi kepayahan dan tidak mendapatkan apa-apa selain kepayahan itu sendiri".
Lha bagaimana puasa itu supaya tidak mendapatkan kepayahan demi kepayahan? Ya...kita puasanya dengan hati. Orang Jawa mengenal tembung mathuk: Poso itu sama dengan ngeposne roso (mengeposkan rasa). Apa yang dimaksud ngeposne roso? Ngeposne roso itu adalah menaruh semua roso (rasa) dalam satu pos. Ada rasa iri, dengki, sakit hati, senang ngrasani, senang mengambil milik orang lain, semuanya rasa itu ditaruh dalam satu pos dan dikunci.
Kalau itu sudah terwujud, maka seorang manusia akan bisa berpuasa dengan menggunakan hatinya. Ia tidak lagi mengagungkan roso-roso yang kurang baik seperti yang telah disebutkan diatas, yang umumnya diatur oleh otak manusia. Dengan puasa menggunakan hati, berarti manusia itu kembali ke dalam kodratnya menjadi 0 (nol). Seorang manusia yang nol, insya Allah akan dekat dengan GUSTI ALLAH.
Apa yang dimaksud dengan nol? Yang dimaksud dengan nol, manusia itu merasa tidak memiliki apapun di dunia ini. Meskipun ia kaya, miskin, pandai maupun pas-pasan. Semuanya sama, merasa tidak memilikinya. Semuanya itu hanyalah titipan dari GUSTI ALLAH yang sewaktu-waktu bisa diambil si EMPUNYA.
Puasa itu tidak berhenti sampai Idul Fitri (kembali fitri/suci) saja. Setelah digembleng selama 1 bulan dengan puasa, menjadi manusia nol itu seharusnya terus ada dalam benak kita. Orang Jawa mengenal kata-kata "Ojo sok Rumongso, nanging kudu biso rumongso" (jangan sok merasa, tapi harus bisa merasa).
Nah, mudah-mudahan GUSTI ALLAH memberikan welas asih pada kita semua agar puasa kita senantiasa membuat kita menjadi manusia nol sehingga menjadi dekat dengan GUSTI ALLAH. Amien.
Monday, August 10, 2009
Pahamilah Sifat Nerimo Dari Wulangreh
Dalam menghadapi hidup perlu ketulusan. Ya, memang hidup ini penuh dengan masalah. Tetapi seberat apapun masalah itu, kita perlu ketulusan untuk menghadapinya. Ketulusan itulah yang diajarkan pada kita lewat Serat Wulangreh Pupuh Mijil.
Serat Wulangreh adalah karya Jawa Klasik berbentuk puisi tembang macapat, yang ditulis oleh Susuhunan Paku Buwono IV tahun (1768-1920).
Di serat itulah kita diajari bagaimana menghadapi kerasnya kehidupan. Setiap manusia ini diberi kodrat hidup di dunia ini sebagai seorang ksatria. Yang dimaksud Ksatria adalah seseorang yang harus berani menghadapi hidup meskipun berat ataupun ringan, walaupun dijaman keemasan atau jaman resesi ekonomi. Kita semua sebagai ksatria wajib untuk menjalani kodrat hidup yang sudah digariskan GUSTI ALLAH hingga akhir cerita kehidupan dan kembali kepadaNYA.
Seperti dalam bait 1 Serat Wulangreh Pupuh Mijil tersebut yang berbunyi:
1. Pomo kaki padha dipun eling
ing pitutur ingong
sira uga satriya arane
kudu anteng jatmika ing budi
luruh sarta wasis
samubarang tanduk
(Oleh karena itu saudara, harap diingat
tentang pitutur luhur
Kamu juga disebut Ksatria
Harus tenang dalam budi
lurus dan memahami
semua tindak-tanduk)
Apa saja tugas dari Ksatria? Hal itu dilanjutkan pada bait ke-2.
2. Dipun nedya prawira ing batin
nanging aja katon
sasona yen durung masane
kekendelan aja wani manikis
wiweka ing batin
den samar ing semu
(Carilah Keperwiraan dalam batin
Tapi jangan sampai kelihatan
Kalaupun jika belum masanya
Diamlah jangan berani berucap
Simpanlah dalam batin
jangan salah dalam semu)
Dilanjutkan dengan nerimo terhadap pemberian dari GUSTI ALLAH lewat bait ke 3.
3. Lan dimantep mring panggawe becik
lawan wekas ingong
aja kurang iya panrimane
yen wis tinitah marang Hyang Widhi
ing badan punika
wus pepancenipun
(Mantaplah dalam berbuat kebaikan
dan juga pesan dari leluhur
janganlah kurang dalam menerima
kalau sudah digariskan oleh Hyang Widhi
dalam tubuh ini
itu sudah kenyataannya)
Orang berlaku nerimo itu digolongkan dalam 2 kategori. Apa saja itu? Bisa kita simak dari Bait ke 4.
4. Ana wong narima ya titahing mapan dadi awon
lan ana wong narima titahe wekasane iku dadi becik
kawruhana ugi aja seling surup.
(Ada orang yang nerimo yang digariskan, akhirnya menjadi buruk
dan ada orang yang nerimo yang digariskan, akhirnya jadi baik
ketahuilah itu juga, jangan sampai salah)
Bagaimana kriteria dua kategori nerimo itu? Kita lanjutkan dengan jawabannya pada bait ke-5, 6 dan 7.
5. Yen wong bodho datan nedya ugi
atakon tetiron
anarima titah ing bodhone
iku wong narima nora becik
dene ingkang becik
wong narima iku
(Kalau orang bodoh tidak mencari dan juga
tidak bertanya
nerimo titah kebodohannya
itu berarti orang yang nerimo tidak baik
sedangkan yang baik
orang nerimo itu
6. Kaya upamane wong angabdi
marang sing Sang Katong
lawas-lawas ketekan sedyane
dadi mantri utawa bupati
miwah saliyaneng
ing tyas kang panuju
(Seperti misalnya orang yang mengabdi
terhadap yang Sang Katong (GUSTI ALLAH)
lama sekali permintaannya terwujud
jadi mantri atau bupati
terhadap yang selain
keinginan yang dituju
7. Nuli narima tyasing batin
tan mengeng ing Katong
rumasa ing kani matane
sihing gusti tumeking nak rabi
wong narima becik kang mangkono iku
(Lalu nerimo keinginan bathin
dan tidak mencaci terhadap Katong (GUSTI ALLAH)
merasakan kenikmatannya
kasih Gusti terhadap anak dan istri
itulah orang yang nerimo baik
Itulah kriteria dari 2 kategori nerimo buruk dan baik. Tetapi serat tersebut juga mengingatkan di bait ke-8,9 dan 10.
8. Nanging arang iya wong saiki
kang kaya mangkono
Kang wus kaprah iyo salawase
yen wis ana lungguhe sathithik
apan nuli lali
ing wiwitanipun
(Tetapi jarang orang sekarang
yang seperti itu
yang sudah salah kaprah itu selamanya
yang sudah ada pengetahuan sedikit
lalu kemudian lupa
terhadap awalnya)
9. Pangrasane duweke pribadi
sabarang kang kanggo
datan eling ing mula mulane
witing sugih sangkane amukti
panrimaning ati
kaya anggone nemu
(Dalam rasa yang ada hanya miliknya pribadi
semua yang dipakai
tidak diingat darimana awalnya
kalau kaya disangkanya kejayaaan
dari nerimo ati
sepeti menemukan sesuatu)
10. Tan ngrasa kamurahaning Widdhi
jalaran Sang Katong
jaman mengko ya iku mulane
arane turun wong tuwa tekweng
kardi tyase Sariah
kasusu ing angkuh
(Tidak merasa kemurahan Widdhi
karena Sang Katong (GUSTI ALLAH)
Jaman mendatang ya itu mulanya
disebut sudah turun menjadi orang tua
tetapi masih syariat
terburu-buru dalam keangkuhannya).
Begitulah dari 10 bait yang ada di Wulangreh pupuh Mijil itu. Jadi, bisa disimpulkan kalau kita berbicara nerimo ing pandum (menerima yang telah diberikan) GUSTI ALLAH, kita masuk dalam kategori yang baik atau yang buruk? Hanya kita pribadi yang bisa mengetahuinya.
Serat Wulangreh pupuh Mijil
1. Pomo kaki padha dipun eling
ing pitutur ingong
sira uga satriya arane
kudu anteng jatmika ing budi
luruh sarta wasis
samubarang tanduk
2. Dipun nedya prawira ing batin
nanging aja katon
sasona yen durung masane
kekendelan aja wani manikis
wiweka ing batin
den samar ing semu
3. Lan dimantep mring panggawe becik
lawan wekas ingong
aja kurang iya panrimane
yen wis tinitah marang Hyang Widhi
ing badan punika
wus pepancenipun
4. Ana wong narima ya titahing mapan dadi awon
lan ana wong narima titahe wekasane iku dadi becik
kawruhana ugi aja seling surup.
5. Yen wong bodho datan nedya ugi
atakon tetiron
anarima titah ing bodhone
iku wong narima nora becik
dene ingkang becik
wong narima iku
6. Kaya upamane wong angabdi
marang sing Sang Katong
lawas-lawas ketekan sedyane
dadi mantri utawa bupati
miwah saliyaneng
ing tyas kang panuju
7. Nuli narima tyasing batin
tan mengeng ing Katong
rumasa ing kani matane
sihing gusti tumeking nak rabi
wong narima becik kang mangkono iku
8. Nanging arang iya wong saiki
kang kaya mangkono
Kang wus kaprah iyo salawase
yen wis ana lungguhe sathithik
apan nuli lali
ing wiwitanipun
9. Pangrasane duweke pribadi
sabarang kang kanggo
datan eling ing mula mulane
witing sugih sangkane amukti
panrimaning ati
kaya anggone nemu
10. Tan ngrasa kamurahaning Widdhi
jalaran Sang Katong
jaman mengko ya iku mulane
arane turun wong tuwa tekweng
kardi tyase Sariah
kasusu ing angkuh
11. Arang nedya males sihing Gusti
Gustine Sang Katong
lan iya ing kabehing batine
sanadyan narima ing Hyang Widdhi
iku wong tan wruh ing
kanikmatanipun
12. Wong tan narima pan dadi becik
tinitah Hyang Manon
iku iyo rerupane
kaya wong ingkang ngupaya ilmi
lan wong nedya ugi kapintaranipun
13. Iya pangawruh kang den senengi
kang wus sengsem batos
miwang ingkang kapinteran dene
ing samubarang karya ta uwis
nora kanggo lathi
kabeh wus kawengku
14. Uwis pinter nanging iku maksih
nggonira pitados
ing kapinterane ing undhake
utawa unggahe kawruh yekti
durung marem batin
lamun durung tutug
15. Yen wong kurang panrimo ugi
iku luwih awon barang gawe aja age-age
anganggowa sabar sarta ririh
dadi barang kardi resik tur rahayu
16. Lan maninge babo dipun eling
ing pituturingong
sira uga padha ngemplak emplak
iya marang kang jumeneng Aji
ing lair myang batin
den ngarsa kawengku
17. Kang jumeneng iku ambawani
karsaning Hyang Manon
wajib padha wedi lan batine
aja mamang parintah ing Aji
nadyan enom ugi
lamun dadi Ratu
18. Nora kena iya den waoni
parentahing Katong
dhasar Ratu abener prentahe
kaya priye nggonira sumingkir
yen tan anglakoni
pasti tan rahayu
19. Nanging kaprah ing masa samangkin
anggepe angrengkoh,
tan rumangsa lamun ngempek empek,
ing batine datan nedya eling,
kamuktene iki,
ngendi sangkanipun.
20. Lamun eling jalarane mukti,
pasthine tan mengkuh,
saking durung batin ngrasakake,
ing pitutur engkang dingin-dingin,
dhasar tan paduli,
wuruking wong sepuh.
21. Dadine sabarang tindakneki,
arang ingkang tanggon,
saking durung ana landhesane,
arip crita tan ana kang eling,
elinge pribadi,
dadi tanpa dhapur.
22. Mulanipun wekasingsun iki,
den kerep tetakon,
aja isin ngatokken bodhone,
saking bodho witing pinter ugi,
mung Nabi sinelir,
pinter tanpa wuruk.
23. Sabakdane tan ana kadyeki,
pinter tanpa takon,
apan lumrah ing wong urip kiye,
mulane wong anom den taberi
angupaya ilmu pan dadi pikukuh
ing pitutur ingong
sira uga satriya arane
kudu anteng jatmika ing budi
luruh sarta wasis
samubarang tanduk
2. Dipun nedya prawira ing batin
nanging aja katon
sasona yen durung masane
kekendelan aja wani manikis
wiweka ing batin
den samar ing semu
3. Lan dimantep mring panggawe becik
lawan wekas ingong
aja kurang iya panrimane
yen wis tinitah marang Hyang Widhi
ing badan punika
wus pepancenipun
4. Ana wong narima ya titahing mapan dadi awon
lan ana wong narima titahe wekasane iku dadi becik
kawruhana ugi aja seling surup.
5. Yen wong bodho datan nedya ugi
atakon tetiron
anarima titah ing bodhone
iku wong narima nora becik
dene ingkang becik
wong narima iku
6. Kaya upamane wong angabdi
marang sing Sang Katong
lawas-lawas ketekan sedyane
dadi mantri utawa bupati
miwah saliyaneng
ing tyas kang panuju
7. Nuli narima tyasing batin
tan mengeng ing Katong
rumasa ing kani matane
sihing gusti tumeking nak rabi
wong narima becik kang mangkono iku
8. Nanging arang iya wong saiki
kang kaya mangkono
Kang wus kaprah iyo salawase
yen wis ana lungguhe sathithik
apan nuli lali
ing wiwitanipun
9. Pangrasane duweke pribadi
sabarang kang kanggo
datan eling ing mula mulane
witing sugih sangkane amukti
panrimaning ati
kaya anggone nemu
10. Tan ngrasa kamurahaning Widdhi
jalaran Sang Katong
jaman mengko ya iku mulane
arane turun wong tuwa tekweng
kardi tyase Sariah
kasusu ing angkuh
11. Arang nedya males sihing Gusti
Gustine Sang Katong
lan iya ing kabehing batine
sanadyan narima ing Hyang Widdhi
iku wong tan wruh ing
kanikmatanipun
12. Wong tan narima pan dadi becik
tinitah Hyang Manon
iku iyo rerupane
kaya wong ingkang ngupaya ilmi
lan wong nedya ugi kapintaranipun
13. Iya pangawruh kang den senengi
kang wus sengsem batos
miwang ingkang kapinteran dene
ing samubarang karya ta uwis
nora kanggo lathi
kabeh wus kawengku
14. Uwis pinter nanging iku maksih
nggonira pitados
ing kapinterane ing undhake
utawa unggahe kawruh yekti
durung marem batin
lamun durung tutug
15. Yen wong kurang panrimo ugi
iku luwih awon barang gawe aja age-age
anganggowa sabar sarta ririh
dadi barang kardi resik tur rahayu
16. Lan maninge babo dipun eling
ing pituturingong
sira uga padha ngemplak emplak
iya marang kang jumeneng Aji
ing lair myang batin
den ngarsa kawengku
17. Kang jumeneng iku ambawani
karsaning Hyang Manon
wajib padha wedi lan batine
aja mamang parintah ing Aji
nadyan enom ugi
lamun dadi Ratu
18. Nora kena iya den waoni
parentahing Katong
dhasar Ratu abener prentahe
kaya priye nggonira sumingkir
yen tan anglakoni
pasti tan rahayu
19. Nanging kaprah ing masa samangkin
anggepe angrengkoh,
tan rumangsa lamun ngempek empek,
ing batine datan nedya eling,
kamuktene iki,
ngendi sangkanipun.
20. Lamun eling jalarane mukti,
pasthine tan mengkuh,
saking durung batin ngrasakake,
ing pitutur engkang dingin-dingin,
dhasar tan paduli,
wuruking wong sepuh.
21. Dadine sabarang tindakneki,
arang ingkang tanggon,
saking durung ana landhesane,
arip crita tan ana kang eling,
elinge pribadi,
dadi tanpa dhapur.
22. Mulanipun wekasingsun iki,
den kerep tetakon,
aja isin ngatokken bodhone,
saking bodho witing pinter ugi,
mung Nabi sinelir,
pinter tanpa wuruk.
23. Sabakdane tan ana kadyeki,
pinter tanpa takon,
apan lumrah ing wong urip kiye,
mulane wong anom den taberi
angupaya ilmu pan dadi pikukuh
Thursday, July 23, 2009
Bijak Memahami Ajaran Pangeran Panggung
Selain para wali yang memiliki karomah dan keistimewaan karena kedekatannya dengan GUSTI ALLAH, banyak beberapa sosok di tanah Jawa yang juga memiliki karomah. Sebut saja beberapa nama seperti, Syech Siti Jenar, Ki Ageng Selo dan lain-lain serta Pangeran Panggung. Nah, siapakah Pangeran Panggung ini?
Pangeran Panggung mengajarkan Islam yang agak berbeda dengan yang disebarkan para Wali. Lantaran ajarannya dianggap berbeda dan menyimpang, maka dia dijatuhi hukuman dibakar hidup-hidup oleh Raja Demak Bintoro, Sultan Trenggono (Raja Demak III). Pangeran Panggung mengkritik bahwa ajaran Islam yang disebarkan para Wali hanyalah kulitnya saja. Sedangkan intisari atau bagian yang terpenting tidak pernah diajarkan pada penduduk Jawa.
Pertentangan antara Pangeran Panggung dan para Wali semakin meruncing dalam hal Aqidah dan Tauhid. Dengan terang-terangan, Pangeran Panggung mengajarkan pada murid-muridnya bahwa Sholat, Zakat dan Puasa itu tidak penting. Menurut Pangeran Panggung, sholat secara rutin itu justru akan menjadi tirai yang membatasi manusia dari pengetahuan tentang nilai yang utama. Demikian juga soal puasa dan Zakat, yang akhirnya hanya menjadi berhala, menggantikan sikap sujud pada yang Maha Agung.
Pangeran Panggung ini memiliki dua anjing kesayangannya. Kedua anjing itu diberi nama Iman dan Tauhid. Lantaran ajarannya yang nyleneh itu, akhirnya Pangeran Panggung dihukum bakar hidup-hidup. Dan ia pun menerima hukuman itu. Ketika api unggun mulai dinyalakan, Pangeran Panggung menyuruh dua anjingnya untuk masuk ke dalam api. Kedua anjing yang bernama Iman dan Tauhid itu berkejar-kejaran, berguling-guling di tengah bara api dan tidak satupun api yang mampu membakar bulu-bulu mereka. Ganasnya api itu tidak mampu membakar makhluk yang dianggap 'najis' milik Pangeran Panggung.
Merasa melihat keanehan itu, Pangeran Panggung diperintah oleh Raja Demak untuk masuk ke api yang menyala-nyala. Pangeran Panggung pun menerima dan minta untuk disediakan secarik kertas dan pena. Kemudian, pangeran Panggung pun di bakar bersama iman dan tauqid. Di tengah api yang berkobar, sang Pangeran sempat menuliskan sebuah suluk berbentuk puisi yang disebut SULUK MALANG SUMIRANG. Setelah selesai menulis Suluk itu, Pangeran Panggung dan dua anjingnya keluar dari bara api lalu pergi meninggalkan arena tempat pembakaran itu.
Dalam beberapa bait yakni bait ke 16 dan 17, Pangeran Panggung menerangkan lewat Suluk Malang Sumirang yang ditulisnya di tengah bara api.
16
Sakeh ing doss tan den-singgahi ujar kupur-kapir tan den-tulak wus liwang-liwung polahe tan andulu dinulu tan angrasa tan den-rasani tan amaran pinaran wus jatining suwung ing suwunge iku ana ing anane iku surasa sejati tan kena den-ucapna
(Banyak orang yang disekelilingnya mengatakan kufur-kafir dan itu tidak ditolaknya. Sikapnya sudah limbung tidak melihat-dilihat, tidak merasa, tidak dirasani, tidak menyebut disebut sejatinya sudah kosong. Di tengah kosong itu ada rasa sejati yang tidak bisa diucapkan)
17.
Dudu rasa kang keraseng lati dudu rasa rasaning pacuwan dudu rasa kang ginawe dudu rasa rasaning guyu dudu rasa rasaning lati dudu rasa rerasan rasaku amengku salir ing rasa surasa. mulya putreng Jènggala
rasa jati kang kerasa jiwa jisim rasa mulya wisesa
(Bukan rasa yang ada di lidah, bukan rasa rasanya berlomba, bukan rasa yang dibuat, bukan rasa rasanya tertawa, bukan rasa rasanya lidah, bukan rasa rasanya rasaku yang memangku hidup di rasa dan merasakan. Mulia putra Jenggala.
Rasa sejati yang terasa di jiwa jisim dan rasa mulya selamanya)
Dari dua bait tersebut kita bisa belajar tentang rasa. Dimana rasa tersebut pasti dimiliki oleh setiap manusia. Oleh karena itu, manusia harus bisa membedakan antara rasa sejati dengan sejatine rasa.
Yang jelas, dari berbagai ajaran yang ada termasuk ajaran dari Pangeran Panggung ini, kita harus bijak untuk menyikapinya agar kita bisa mengenal Sang AKU.
Suluk Malang Sumirang
Pupuh Dhandhanggula
1. Malang sumirang amurang niti
anrang baya dènira mong gita
raryw anom akèh duduné
anggelar ujar luput
anrang baya tan wruh ing wisthi
angucap tan wruh ing trap
kaduk andalurung
pangucapé lalaluya
ambalasar dhahat amalangsengiti
tan kena winikalpa.
2. Andaluya kadadawan angling
tan apatut lan ujar ing sastra
lan murang dadalan gedhé
ambawur tatar-tutur
anut marga kang dèn-singkiri
anasar ambalasar
amegat kekuncung
tan ana ujar kerasa
liwang-liwung pangucapé burak barik
nulya kaya wong édan.
3. Idhep-idhepé kadya raryalit
tan angrasa dosa yèn dinosan
tan angricik tan angroncé
datan ahitang-hitung
batal karam tan dèn-singgahi
wus manjing abirawa
liwung tanpa tutur
anganggé sawenang-wenang
sampun kèrem makamé wong kupur kapir
tan ana dèn-sèntaha.
4. Angrusak sarak ujar sarèhing
acawengah lan ajar ing sastra
asuwala lan wong akèh
winangsitan andarung
kedah anut lampah tan yukti
mulané ambalasar
wus amanggé antuk
jatining apurohita
marminipun tan ana dèn-walangati
sakèhing pringgabaya.
5. Pangucapé wus tanpa kekering
oranana bayané kang wikan
dhateng kawula jatiné
tan ana bayanipun
anging tan wruh jatinirêki
pan jatining sarira
tan roro tetelu
kady angganing reringgitan
duk sang Panjy asusupan rahina wengi
kesah saking nagara.
6. Anêng Gegelang lumampah carmin
anukma aran dhalang Jaruman
dèn-pendhem kulabangsané
ndatan ana kang weruh
lamun Panji ingkang angringgit
baloboken ing rupa
pan jatine tan wruh
akèh ngarani dhadhalang
dhahat tan wruh yen sira putra ing Ke1ing
kang amindha dhadhalang.
7. Adoh kadohan tingalirêki
aparek reké tan kaparekan
yèn sang Panji rupané
dèn-senggèh baya dudu
lamun sira Panji angringgit
balokloken ing tingal
pan jatining kawruh
lir Wisnu kelayan Kresna
ora Wisnu anging Kresna Dwarawati
amumpuni nagara.
8. Wisésa Kresna jati tan sipi
kang pinujyêng jagad pramudita
tan ana wruh ing polahé
lir Kresna jati Wisnu
kang amanggih datan pinanggih
pan iya déning nyata
kajatenirêku
mulané lumbrah ing jagad
angestoken kawignyan sang Wisnumurti
nyatané arya Kresna.
9. Mangkana kang wus awas ing jati
oranana jatining pangéran
anging kawula jatiné
kang tan wruh kéngar korup
pan kabandhang idhepirêki
katimpur déning sastra
milu kapiluyu
ing wartaning wong akathah
pangèstiné dèn-senggèh wonten kakalih
kang murba kang wisésa.
10. Yèn ingsun masih ngucap kang lair
angur matiya duk lagi jabang
ora ngangka ora ngamé
akèh wong angrempelu
tata lapal kang dèn-rasani
sembayang lan puwasa
dèn-gunggung tan surud
den-senggèh anelamna
tambuh gawé awuwuh kadya raragi
akèh dadi brahala.
11. Pangrungunisun duk raré alit
nora selam déning wong sembayang
nora selam déning anggèn
tan selam déning saum
nora selam déning kulambi
tan selam déning dhestar
ing pangrungunisun
éwuh tegesé wong selam
nora selam déning anampik amilih
ing karam lawan kalal.
12. Kang wus prapta ing selamé singgih
kang wisésa tuwin adi mulya
sampun teka ing omahé
wulu salembar iku
brestha geseng tan ana kari
angganing anêng donya
kadya adedunung
lir sang Panji angumbara
sajatiné yèn mantuk ing gunung urip
mulya putrêng Jenggala
13. Akèh wong korup déning sejati
sotaning wong dèrèng purohita
dèn-pisah-pisah jatiné
dèn-senggèh seos wujud
sajatiné kang dèn-rasani
umbang ing kapiran
tambuh kang den-temu
iku ora iki ilang
mider-mider jatiné kang dèn-ulati
tan wruh kang ingulatan.
14.
Brahalane den-gendong den-indit malah kabotan dening daadapen mangke dereng wruh jatine dening wong tanga guru amungaken wartaning tulis kang ketang jatining lyan den-tutur anggalur den-turut kadya dadalan kajatene deweke nora kalingling lali pejah min-Wang
15.
Dosa gung alit kang den-singgahi ujar kupur-kapir tan den-ucap iku wong anom kawruhe sembayang tan surud puwasane den ati-ati tan ayun kaselanan kalimput ing hukum kang sampun tekeng kasidan sembah puji puwasa tan den-wigati nora rasa-rinasan
16.
Sakeh ing doss tan den-singgahi ujar kupur-kapir tan den-tulak wus liwang-liwung polahe tan andulu dinulu tan angrasa tan den-rasani tan amaran pinaran wus jatining suwung ing suwunge iku ana ing anane iku surasa sejati tan kena den-ucapna
17.
Dudu rasa kang keraseng lati dudu rasa rasaning pacuwan dudu rasa kang ginawe dudu rasa rasaning guyu dudu rasa rasaning lati dudu rasa rerasan rasaku amengku salir ing rasa surasa. mulya putreng Jènggala
rasa jati kang kerasa jiwa jisim rasa mulya wisesa
18.
Kang wus tumeka ing rasa jati panembahe da tanpa lawanan lir banyu mili pujine ing enenge anebut ing unine iya amuji solahe raganira dadi pujinipun tekeng wulune salembar ing osike tan sipi dadi pamuji pamuji dawakira
19.
Ingkang tan awas puniku pasti dadi kawulane kang wus awas teka ing sembah pujine amung jatining weruh pamujine rahina wengi mantep paran kang awas ujar iku luput ananging aran tokidan lawan ujar kupur-kapir iku kaki aja masih rerasan
20.
Yen tan wruha ujar k„p„r-"pir pasti woog iku durung ~"„, maksih bakai pangawruhe pan kupur-kapir iku iya iku sampurna jati pan wèkas ing kasidan kupur-kapir iku iya sadat iya salat iya idep iya urip iya jati iku jatining salat
21.
Sun-marenana angedarneling sun-sapiye ta bok kadedawan menawa mèdal cucude ajana milu-milu mapan iku ujar tan yakti pan mangkana ing lampah anrang baya iku rare anom ambelasar tanpa gawe gawene sok murmg niti anggung malang sumirang.
1. Malang sumirang amurang niti
anrang baya dènira mong gita
raryw anom akèh duduné
anggelar ujar luput
anrang baya tan wruh ing wisthi
angucap tan wruh ing trap
kaduk andalurung
pangucapé lalaluya
ambalasar dhahat amalangsengiti
tan kena winikalpa.
2. Andaluya kadadawan angling
tan apatut lan ujar ing sastra
lan murang dadalan gedhé
ambawur tatar-tutur
anut marga kang dèn-singkiri
anasar ambalasar
amegat kekuncung
tan ana ujar kerasa
liwang-liwung pangucapé burak barik
nulya kaya wong édan.
3. Idhep-idhepé kadya raryalit
tan angrasa dosa yèn dinosan
tan angricik tan angroncé
datan ahitang-hitung
batal karam tan dèn-singgahi
wus manjing abirawa
liwung tanpa tutur
anganggé sawenang-wenang
sampun kèrem makamé wong kupur kapir
tan ana dèn-sèntaha.
4. Angrusak sarak ujar sarèhing
acawengah lan ajar ing sastra
asuwala lan wong akèh
winangsitan andarung
kedah anut lampah tan yukti
mulané ambalasar
wus amanggé antuk
jatining apurohita
marminipun tan ana dèn-walangati
sakèhing pringgabaya.
5. Pangucapé wus tanpa kekering
oranana bayané kang wikan
dhateng kawula jatiné
tan ana bayanipun
anging tan wruh jatinirêki
pan jatining sarira
tan roro tetelu
kady angganing reringgitan
duk sang Panjy asusupan rahina wengi
kesah saking nagara.
6. Anêng Gegelang lumampah carmin
anukma aran dhalang Jaruman
dèn-pendhem kulabangsané
ndatan ana kang weruh
lamun Panji ingkang angringgit
baloboken ing rupa
pan jatine tan wruh
akèh ngarani dhadhalang
dhahat tan wruh yen sira putra ing Ke1ing
kang amindha dhadhalang.
7. Adoh kadohan tingalirêki
aparek reké tan kaparekan
yèn sang Panji rupané
dèn-senggèh baya dudu
lamun sira Panji angringgit
balokloken ing tingal
pan jatining kawruh
lir Wisnu kelayan Kresna
ora Wisnu anging Kresna Dwarawati
amumpuni nagara.
8. Wisésa Kresna jati tan sipi
kang pinujyêng jagad pramudita
tan ana wruh ing polahé
lir Kresna jati Wisnu
kang amanggih datan pinanggih
pan iya déning nyata
kajatenirêku
mulané lumbrah ing jagad
angestoken kawignyan sang Wisnumurti
nyatané arya Kresna.
9. Mangkana kang wus awas ing jati
oranana jatining pangéran
anging kawula jatiné
kang tan wruh kéngar korup
pan kabandhang idhepirêki
katimpur déning sastra
milu kapiluyu
ing wartaning wong akathah
pangèstiné dèn-senggèh wonten kakalih
kang murba kang wisésa.
10. Yèn ingsun masih ngucap kang lair
angur matiya duk lagi jabang
ora ngangka ora ngamé
akèh wong angrempelu
tata lapal kang dèn-rasani
sembayang lan puwasa
dèn-gunggung tan surud
den-senggèh anelamna
tambuh gawé awuwuh kadya raragi
akèh dadi brahala.
11. Pangrungunisun duk raré alit
nora selam déning wong sembayang
nora selam déning anggèn
tan selam déning saum
nora selam déning kulambi
tan selam déning dhestar
ing pangrungunisun
éwuh tegesé wong selam
nora selam déning anampik amilih
ing karam lawan kalal.
12. Kang wus prapta ing selamé singgih
kang wisésa tuwin adi mulya
sampun teka ing omahé
wulu salembar iku
brestha geseng tan ana kari
angganing anêng donya
kadya adedunung
lir sang Panji angumbara
sajatiné yèn mantuk ing gunung urip
mulya putrêng Jenggala
13. Akèh wong korup déning sejati
sotaning wong dèrèng purohita
dèn-pisah-pisah jatiné
dèn-senggèh seos wujud
sajatiné kang dèn-rasani
umbang ing kapiran
tambuh kang den-temu
iku ora iki ilang
mider-mider jatiné kang dèn-ulati
tan wruh kang ingulatan.
14.
Brahalane den-gendong den-indit malah kabotan dening daadapen mangke dereng wruh jatine dening wong tanga guru amungaken wartaning tulis kang ketang jatining lyan den-tutur anggalur den-turut kadya dadalan kajatene deweke nora kalingling lali pejah min-Wang
15.
Dosa gung alit kang den-singgahi ujar kupur-kapir tan den-ucap iku wong anom kawruhe sembayang tan surud puwasane den ati-ati tan ayun kaselanan kalimput ing hukum kang sampun tekeng kasidan sembah puji puwasa tan den-wigati nora rasa-rinasan
16.
Sakeh ing doss tan den-singgahi ujar kupur-kapir tan den-tulak wus liwang-liwung polahe tan andulu dinulu tan angrasa tan den-rasani tan amaran pinaran wus jatining suwung ing suwunge iku ana ing anane iku surasa sejati tan kena den-ucapna
17.
Dudu rasa kang keraseng lati dudu rasa rasaning pacuwan dudu rasa kang ginawe dudu rasa rasaning guyu dudu rasa rasaning lati dudu rasa rerasan rasaku amengku salir ing rasa surasa. mulya putreng Jènggala
rasa jati kang kerasa jiwa jisim rasa mulya wisesa
18.
Kang wus tumeka ing rasa jati panembahe da tanpa lawanan lir banyu mili pujine ing enenge anebut ing unine iya amuji solahe raganira dadi pujinipun tekeng wulune salembar ing osike tan sipi dadi pamuji pamuji dawakira
19.
Ingkang tan awas puniku pasti dadi kawulane kang wus awas teka ing sembah pujine amung jatining weruh pamujine rahina wengi mantep paran kang awas ujar iku luput ananging aran tokidan lawan ujar kupur-kapir iku kaki aja masih rerasan
20.
Yen tan wruha ujar k„p„r-"pir pasti woog iku durung ~"„, maksih bakai pangawruhe pan kupur-kapir iku iya iku sampurna jati pan wèkas ing kasidan kupur-kapir iku iya sadat iya salat iya idep iya urip iya jati iku jatining salat
21.
Sun-marenana angedarneling sun-sapiye ta bok kadedawan menawa mèdal cucude ajana milu-milu mapan iku ujar tan yakti pan mangkana ing lampah anrang baya iku rare anom ambelasar tanpa gawe gawene sok murmg niti anggung malang sumirang.
Thursday, July 2, 2009
Mengenali Perbedaan Nafsu dan Hawa Nafsu
Dalam diri manusia senantiasa ada nafsu. Nafsu merupakan hal yang terpenting dalam diri manusia. Pasalnya, jika manusia itu tidak memiliki nafsu, maka manusia itu akan loyo. Jadi, manusia bisa bergerak dan melakukan aktivitasnya itu karena gerak dari nafsu. Jadi boleh dikatakan bahwa nafsu masih tergolong unsur yang positif dalam tubuh setiap manusia.
Lalu apa yang negatif dalam tubuh manusia? Yang negatif dalam tubuh manusia adalah HAWA NAFSU. Sebuah nafsu ketika mendapatkan HAWA, akan cenderung berubah menjadi negatif. Inilah yang di dalam agama Islam diajarkan oleh Kanjeng Rasul Muhammad SAW bahwa perang yang terbesar adalah perang melawan Hawa Nafsu. (Saat itu, Kanjeng Rasul tidak mengungkapkan bahwa perang yang terbesar adalah perang melawan nafsu).
Mengapa Hawa Nafsu tergolong berbahaya? Karena Hawa Nafsu mengandung penyakit hati. Antara lain iri, dengki, kekhawatiran, ketakutan, sombong dan lain sebagainya. Ada tetangga yang mendapatkan anugerah, kita malah sakit hati, marah-marah dan lain sebagainya, itu merupakan tanda-tanda Hawa Nafsu.
Apa perbedaan antara nafsu dan Hawa Nafsu? Nafsu adalah sesuatu hal dalam tubuh manusia yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Pernahkah Anda mengatakan,"aku tidak nafsu makan." Jika Anda mengatakan seperti itu, berarti Anda tidak mempunyai keinginan atau selera untuk makan. Artinya, tidak ada daya yang menggerakkan Anda untuk makan.
Namun berbeda ketika kata-kata nafsu tersebut ditambah dengan kata Hawa dan menjadi Hawa Nafsu. Apa arti dari kata Hawa itu sendiri? Hawa kalau dalam bahasa Jawa berarti angin. Artinya angin yang mendorong munculnya nafsu. Sedangkan dalam bahasa agama, Hawa berarti siti Hawa atau perempuan. Bagi Anda yang telah beristri, pasti bisa merasakan bagaimana peran istri kita. Ada yang positif ada yang negatif.
Contohnya, ketika Anda berjalan-jalan di Mall dengan istri, maka biasanya ide untuk membeli ini dan itu adalah dari istri. "Mas, belikan barang itu dong. Belikan ini dong." Padahal, si suami umumnya pasif saja. Itu merupakan contoh negatif. Ada lagi contoh negatif lainnya, misalnya ketika tetangga membeli televisi layar datar dan sang istri mengetahui hal itu, sementara suami masih berada di kantor. Begitu suaminya datang, istri tersebut bercerita ,"Mas, tadi tetangga kita si anu itu lho membeli TV layar datar. Lha kita kapan mas?" Inilah yang kadang-kadang mendorong si suami tergerak hawa nafsunya untuk menuruti sang istri. Hawa nafsu juga bisa menjadi positif misalnya ketika sang istri memberikan motivasi pada suami untuk kreatif dalam pekerjaannya dan meraih kedudukan tertentu atau mendapatkan penghasilan lebih dan lain sebagainya.
Nah, kini kita sudah tahu perbedaan antara nafsu dan hawa nafsu. Maka tidak salah jika Kanjeng Rasul Muhammad SAW mengatakan bahwa perang terbesar adalah perang melawan Hawa Nafsu.
Kini pertanyaan yang muncul, bagaimana untuk menang melawan hawa nafsu atau mengendalikan hawa nafsu? Bagi para pelaku spiritual, hal yang terpenting adalah mengenali dulu yang mana nafsu dan yang mana hawa nafsu. Bagaimana mungkin kita bisa menang melawan hawa nafsu sementara kita tidak tahu hawa nafsu itu yang bagaimana, bentuknya seperti apa. Dengan kata lain, kalau mau menang lawan musuh, kenalilah dulu musuhnya, baru memeranginya.
Mudah-mudahan kita semua diberi kekuatan oleh GUSTI ALLAH untuk mampu memerangi Hawa Nafsu dan mengendalikannya. Bukannya malah kita yang dikendalikan oleh Hawa Nafsu itu sendiri.
Sunday, May 3, 2009
Cara Manembah Ala Suluk Wujil
Seperti pernah diulas sebelumnya bahwa manusia hidup di dunia ini memiliki dua hakekat. Hakekat yang pertama adalah Tansah Manembah Marang GUSTI ALLAH (Selalu menyembah pada GUSTI ALLAH) dan kedua, Apik marang sak padha padhaning ngaurip (Berbuat baik pada sesama makhluk hidup). Kali ini kita akan membahas perihal manembah marang GUSTI ALLAH.
Bagaimana cara manembah marang GUSTI ALLAH? Kita bisa mengutip pada beberapa bait Suluk Wujil karangan dari Sunan Bonang yang berbunyi:
Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
Carilah yang Abadi
Dalam kehidupan ini kita dibekali GUSTI ALLAH dengan raga yang diantaranya terdapat indera. Berbagai macam indera telah ditanamkan pada tubuh kita dan praktis bisa dipergunakan dengan mudah. Namun di balik keberadaan indera tersebut, ternyata kinerja indera itu sendiri tidak bisa dipercaya 100 persen. Lho kok bisa? Apa buktinya?
Contoh yang sederhana saja, kita sering melihat gunung dengan menggunakan indera penglihatan kita yaitu mata. Nah, dari kejauhan, gunung itu bila kita lihat warnanya adalah biru. Warna biru gunung itu sendiri kita yakini dalam hati. Tetapi, saat kita mendaki gunung tersebut, ternyata warna biru yang kita tangkap dengan indera penglihatan kita itu merupakan gambaran dari pepohonan yang berwarna hijau. Pertanyaan yang muncul, mengapa warna biru dari jauh kok bisa menjadi hijau jika didekati? Bukankah indera penglihatan tersebut telah menipu kita?
Masih contoh indera penglihatan. Sangat sering kita melihat fatamorgana di jalanan yang lurus. Dari pandangan kita seolah-olah terdapat air nun jauh di sana. Namun ketika kita dekati, ternyata tidak ada air sama sekali. Lagi-lagi, apakah indera penglihatan telah menipu?
Contoh lainnya adalah indera perasa yaitu kulit. Kita mengetahui bahwa sebuah bongkahan es batu itu jika dipegang rasanya sangat dingin. Namun, ketika kita memegang es batu itu dalam waktu yang cukup lama, maka rasa dingin itupun akan berubah menjadi panas. Apakah indera perasa juga menipu?
Dari serangkaian contoh dan pertanyaan yang muncul itu, ada jawaban yang tersirat. TIDAK! indera-indera tersebut tidak menipu kita. Namun indera yang dianugerahkan GUSTI ALLAH pada kita tersebut sifatnya sangat terbatas dan memiliki kemampuan tertentu. Hal itu sesuai dengan kodrat manusia yang serba memiliki keterbatasan. Dan indera tersebut juga bisa dikatakan tidak abadi.
RAGA
Sama dengan indera, demikian pula dengan raga juga memiliki sifat tidak abadi. Buktinya, kita lama kelamaan akan menjadi tua. Bukankah itu tidak abadi? Pertanyaan yang muncul lagi adalah, lalu apa yang abadi? Menurut ilmu fisika, di dunia ini tidak ada benda yang hilang. Yang ada benda tersebut BERUBAH BENTUK ataupun BERPINDAH TEMPAT. Contohnya, ketika motor Anda dicuri orang, maka Anda mengatakan bahwa motor Anda hilang. Nah, dalam ilmu fisika, hal itu tidak benar. Yang benar, motor Anda berpindah tempat. Contoh lain, ketika Anda menyaksikan es yang menjadi air, bukan berarti bahwa esnya menghilang. Yang benar, esnya telah berubah bentuk.
Diantara yang tidak abadi dalam tubuh manusia itu, ada bagian yang abadi. Apakah itu? Bagian tubuh manusia yang abadi adalah sukma. Sukma inilah yang disebut Urip Tan Keno Pati (Hidup yang tidak terkena kematian). Lho kok bisa? Jelas bisa. Misalnya, ada suatu peristiwa pembunuhan terhadap si A. Jelas orang-orang secara umum menyatakan si A mati. Tetapi apakah benar si A mati? Tidak, si A tetap hidup meskipun kehilangan raga. Sukmanya masih bisa kemana-mana.
Dari serangkaian contoh di atas bisa disimpulkan, kalau kita hendak mendekat dan mencari GUSTI ALLAH, maka janganlah menggunakan hal-hal yang tidak abadi. Tetapi gunakanlah yang abadi. Seperti halnya kematian, bukanlah akhir, namun awal dari kehidupan yang langgeng yaitu Urip Tan Keno Pati.
Sunday, March 1, 2009
Memahami Kontroversi Ajaran Siti Jenar
Ajaran Syekh Siti Jenar memang hingga kini menimbulkan kontroversi. Apalagi ketika sang Syekh berbicara tentang hidup dan mati. Menurut Siti Jenar, kehidupan manusia di dunia ini disebut berada di alam kematian. Sementara, jika manusia itu mati, justru disebut-sebut telah memasuki awal kehidupan yang hakiki dan abadi.
Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam diri manusia, yaitu di dalam budi. Pendapat tersebut disyiarkan oleh Siti Jenar secara terbuka dan gamblang. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan Syekh Siti Jenar.
Dalam tataran ilmu, pemahaman yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar itu sudah memasuki tahap hakekat atau bahkan makrifat. Tidak mengherankan jika, pemahaman tentang ketuhanan yang dimilikinya akhirnya dicap dengan kata sesat.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar menganggap bahwa agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah pada zat yang maha kuasa dengan caranya sendiri-sendiri. Bahkan masing-masing agama itu menyebut asma GUSTI ALLAH dengan nama yang berbeda-beda, demikian pula dengan ajaran dan tatacaranya.
Bahkan Syekh Siti juga mengajarkan bahwa dalam manembah pada GUSTI ALLAH, seseorang hendaknya melakukannya dengan ikhlas. Artinya, ketika seseorang melakukan sembahyang ataupun sholat dengan mengharapkan surga, pahala atau kemudahan untuk rezeki, maka belum bisa disebut sebagai ikhlas.
Ajaran Manembah
Dalam ajaran manembahnya, Syekh Siti Jenar tidak pernah menganggap dirinya sebagai GUSTI ALLAH. Orang cenderung banyak salah persepsi tentang konsep Manunggaling Kawula-GUSTI. Sebenarnya, Manunggaling Kawula-GUSTI itu adalah bahwa dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh GUSTI ALLAH sesuai dengan ayat Al Qur'an yang menerangkan penciptaan manusia.
Ayat tersebut berbunyi: "Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shaad; 71-72)")>. Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.
'Mabuk' pada GUSTI ALLAH
Dalam manembah secara ikhlas dan konsentrasi yang tinggi, sering manusia mengalami 'mabuk' pada GUSTI ALLAH. Dalam agama Islam, peristiwa itu disebut juga Zadhab atau kegilaan yang berlebihan terhadap GUSTI ALLAH.
Mereka belajar tentang bagaimana GUSTI ALLAH bekerja, sehingga ketika keinginannya sudah lebur dengan kehendak GUSTI ALLAH, maka yang ada dalam pikirannya hanya Allah, Allah, Allah dan Allah.... disekelilingnya tidak tampak manusia lain tapi hanya GUSTI ALLAH yang berkehendak, Setiap Kejadian adalah maksud GUSTI ALLAH terhadap Hamba ini.... dan inilah yang dibahayakan karena apabila tidak ada GURU yang Mursyid, maka hamba ini akan keluar dari semua aturan yang telah ditetapkan GUSTI ALLAH untuk manusia.
Pasalnya, hamba ini akan gampang terpengaruh setan. Semakin tinggi tingkat keimanannya, maka semakin tinggi juga setan menjerumuskannya.
Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi.
Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam diri manusia, yaitu di dalam budi. Pendapat tersebut disyiarkan oleh Siti Jenar secara terbuka dan gamblang. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan Syekh Siti Jenar.
Dalam tataran ilmu, pemahaman yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar itu sudah memasuki tahap hakekat atau bahkan makrifat. Tidak mengherankan jika, pemahaman tentang ketuhanan yang dimilikinya akhirnya dicap dengan kata sesat.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar menganggap bahwa agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah pada zat yang maha kuasa dengan caranya sendiri-sendiri. Bahkan masing-masing agama itu menyebut asma GUSTI ALLAH dengan nama yang berbeda-beda, demikian pula dengan ajaran dan tatacaranya.
Bahkan Syekh Siti juga mengajarkan bahwa dalam manembah pada GUSTI ALLAH, seseorang hendaknya melakukannya dengan ikhlas. Artinya, ketika seseorang melakukan sembahyang ataupun sholat dengan mengharapkan surga, pahala atau kemudahan untuk rezeki, maka belum bisa disebut sebagai ikhlas.
Ajaran Manembah
Dalam ajaran manembahnya, Syekh Siti Jenar tidak pernah menganggap dirinya sebagai GUSTI ALLAH. Orang cenderung banyak salah persepsi tentang konsep Manunggaling Kawula-GUSTI. Sebenarnya, Manunggaling Kawula-GUSTI itu adalah bahwa dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh GUSTI ALLAH sesuai dengan ayat Al Qur'an yang menerangkan penciptaan manusia.
Ayat tersebut berbunyi: "Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shaad; 71-72)")>. Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.
'Mabuk' pada GUSTI ALLAH
Dalam manembah secara ikhlas dan konsentrasi yang tinggi, sering manusia mengalami 'mabuk' pada GUSTI ALLAH. Dalam agama Islam, peristiwa itu disebut juga Zadhab atau kegilaan yang berlebihan terhadap GUSTI ALLAH.
Mereka belajar tentang bagaimana GUSTI ALLAH bekerja, sehingga ketika keinginannya sudah lebur dengan kehendak GUSTI ALLAH, maka yang ada dalam pikirannya hanya Allah, Allah, Allah dan Allah.... disekelilingnya tidak tampak manusia lain tapi hanya GUSTI ALLAH yang berkehendak, Setiap Kejadian adalah maksud GUSTI ALLAH terhadap Hamba ini.... dan inilah yang dibahayakan karena apabila tidak ada GURU yang Mursyid, maka hamba ini akan keluar dari semua aturan yang telah ditetapkan GUSTI ALLAH untuk manusia.
Pasalnya, hamba ini akan gampang terpengaruh setan. Semakin tinggi tingkat keimanannya, maka semakin tinggi juga setan menjerumuskannya.
Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi.
Saturday, February 28, 2009
5 Anugerah GUSTI ALLAH Pada Manusia
Dalam tubuh manusia itu terdapat piranti atau unsur lengkap yang dianugerahkan oleh GUSTI ALLAH. Setiap unsur tersebut memiliki kegunaan sendiri-sendiri. Semuanya tergantung pada manusia untuk memanfaatkan pemberian GUSTI ALLAH tersebut.
Piranti atau unsur yang dibekali GUSTI ALLAH pada manusia itu bersifat mulai 'kasar' sampai 'halus'. Apa saja piranti-piranti itu? Piranti tersebut ada lima hal yaitu:
1. Raga
2. Budi
3. Hati Nurani
4. Rasa
5. Sukma
Dari kelima hal tersebut semuanya diwajibkan untuk tansah manembah GUSTI ALLAH. Namun ketika dipanggil oleh Hyang Maha Suci, yang akan berangkat menemui GUSTI ALLAH hanyalah sukma. Raga tidak akan berangkat karena bersifat jisim atau bangkai.
Pernahkah Anda melihat pesawat ulang-alik luar angkasa seperti Columbia. Nah, ketika berangkat ke luar angkasa, maka selongsongan luar yang berupa pesawat jet-nya akan melepaskan diri setelah tergesek oleh atmosfir bumi dan terbakar. Sedangkan pesawat inti Columbia itu sendiri akan terus bergerak ke luar angkasa.
Selongsong luar pesawat jet yang terbakar itulah ibarat raga manusia yang tidak akan ikut berangkat menemui Hyang Suksma. Ada bait tembang yang berbunyi:
Kawruhana... (Ketahuilah)
Dununge wong uripun niki, (Arti Orang Hidup Ini)
Lamun mbenjang yen wus palastra (Ketika Esok Sudah Dipanggil)
Wong Mati Nyang Endi Parane? (Orang Mati, Kemana Perginya?)
Umpamakno Peksi mabur (Ibarat Burung Terbang)
Mesak saking kurunganipun (Melesat dari Sangkarnya)
Umpamakno wong lungo sonjo (Ibarat Orang yang Bepergian)
Njang sinanjang, wong lungo sonjo wajibe mulih (Orang Bepergian Wajib untuk Pulang)
Mulih ning ngisor kamboja. (Pulang di Bawah Pohon Kamboja)
Itulah gambaran dari raga yang akan menjadi bangkai atau jisim. Namun tidak demikian dengan empat piranti lainnya seperti Budi, Hati Nurani, Rasa dan Sukma. Budi, Hati Nurani dan Rasa akan menjadi saksi kita ketika menghadap GUSTI ALLAH. Sementara Sukma adalah pakaiannya.
Kelima piranti tersebut, ketika kita simak akan terus berkembang menjadi macam-macam panembah yaitu:
1. Sembah Raga
2. Sembah Budi
3. Sembah Hati
4. Sembah Rasa
5. Sembah Sukma
Dari kelima sembah tersebut sama-sama mampu mengantarkan doa/panuwun kita pada GUSTI ALLAH. Semuanya tergantung pada keikhlasan dan kebersihan hati dan jiwa kita ketika berdoa. Namun kadar sembah yang paling tinggi adalah sembah sukma. Pertanyaannya, jika Anda pelaku spiritual, Anda sudah berada ditaraf sembah yang mana? Hanya Anda dan GUSTI ALLAH sendiri yang tahu.
Sunday, February 15, 2009
Melihat, Mendengar, Merasa, Meraba dengan Kalbu
Dalam setiap tubuh manusia terdapat satu piranti khusus yang diciptakan oleh GUSTI ALLAH. Namun kebanyakan manusia tidak menyadari pentingnya piranti itu. Piranti tersebut merupakan bagian tubuh manusia yang berukuran kecil.Namun jika satu bagian tubuh ini rusak, maka rusaklah manusia itu.
Bagian tersebut adalah hati nurani atau yang dikenal dengan kalbu. Begitu pentingnya arti dari sebuah kalbu, sampai-sampai Rasulullah Muhammad SAW mengungkapkan lewat hadistnya,"Dalam tubuh setiap orang terdapat bagian yang terkecil yang disebut kalbu. Jika kalbunya rusak, maka rusaklah akhlak manusia itu. Namun, jika kalbunya baik, maka baiklah akhlak manusia itu".
Begitu pentingnya sebuah hati nurani atau kalbu itu hingga piranti yang merupakan bagian dari tubuh kita itu menjadi 'tali' pengikat antara kita dan GUSTI ALLAH.
Pernah ada seorang teman yang menyatakan,"saya tidak suka bekerja dengan hati nurani. Saya lebih suka bekerja dengan logika". Agak kaget juga saya mendengar perkataannya. Memang manusia dibekali dengan logika. Tetapi tidak semua yang ada di muka bumi ini bisa dilogika. Karena GUSTI ALLAH menciptakan alam ini ada dua yakni alam nyata dan alam ghaib. Bagaimana bisa masuk logika jika menyangkut alam ghaib? Lalu dengan apa manusia bisa menyaksikan keberadaan alam ghaib?
Jawabannya hanya satu yaitu dengan kalbu. Jika diasah secara terus menerus maka kalbu manusia itu akan lebih tajam daripada pisau. Namun sebaliknya, jika kalbu tersebut tidak pernah diasah, maka akan tumpul. Kebanyakan pelaku spiritual sangat memperhatikan betul terhadap kalbu. Mereka melihat dengan kalbu, merasa dengan kalbu, mendengar dengan kalbu bahkan kadang-kadang mereka meraba dengan kalbu.
Apakah otak manusia sebagai tempat untuk berpikir tentang logika tidak penting? Wah, sangat penting. GUSTI ALLAH tidak akan menciptakan apapun di dunia ini yang sia-sia. Semuanya pasti ada gunanya. Untuk itu, antara otak manusia dan kalbu memiliki hubungan yang sangat penting.
Agar hati bisa setajam belati, lakukanlah latihan dengan kalbu Anda. Aktifkanlah kalbu Anda agar bisa lebih mendekat pada GUSTI ALLAH. Pada dasarnya, semua yang ada di dunia ini ada dalam kalbu. Kegembiraan, kesenangan, kebahagiaan, rasa syukur dan lain-lainnya ada pada kalbu. Oleh karena itu, gunakanlah kalbu Anda untuk selalu bisa berkomunikasi dengan GUSTI ALLAH.
Friday, January 16, 2009
Mengenal Diri dari Serat Asmaralaya
Dalam budaya Jawa banyak serat yang diciptakan oleh nenek moyang kita. Salah satunya adalah Serat Asmaralaya. Jika kita mempelajari serat Asmaralaya tersebut, maka kita akan mengetahui dunung kita pribadi.
Dalam sebuah hadist di ajaran Islam disebutkan “Barangsiapa yang mengetahui dirinya sendiri, maka ia akan tahu Tuhannya”. Nah, kalau Anda ingin mengetahui diri Anda pribadi, tidak ada salahnya belajar pada Serat Asmaralaya. Serat Asmaralaya tersebut antara lain berbunyi:
Ana wiku medhar ananing hyang agung
kang nglimputi dhiri
wayangan nya dumumung neng netranira
bunder nguwung lir sunaring surya nrawung
aran nur muhammad
weneh muwus jatining kang murbeng idhup
yaiku pramana
kang misesa ing sakalir
dumuning neng utyaka guruloka
iya iku tembung arab baitul makmur
Ada Orang Bijak menjelaskan adanya Hyang Agung
Yang menyelimuti diri
Gambarannya ada pada Matamu sendiri
Bentuknya bundar memancarkan sinar surya yang menerawang
Yang dijuluki Nur Muhammad
Memberikan kesejatian dalam hidup
Yaitu pramana
Yang menguasai segalanya
Letaknya ada di guruloka
Yaitu bahasa Arabnya baitul makmur
Tandane kang nyata
aneng gebyaring pangeksi
lwih waspada wruh gumlaring alam donya
mung pramana kang bisa nuntun marang swarga
ana rupa kadya rupanta priyangga
kang akonus saking kamungsangta wus
saplak nora siwah
amung mawa caya putih
yaiku aran mayangga seta
Tandanya yang nyata
Ada dalam gebyar angan-angan
Lebih waspada tahu gumelarnya alam dunia
Hanya pramana yang bisa menuntun ke Surga
Ada bentuk rupa seperti rupa orang
Yang mengaku dari prasangka
Yang tidak berbeda satu dengan lainnya
Hanya lewat cahaya putih
Yang disebut Mayangga Seta
ana cahya seta prapta geng sabda
iya iku nur muhammad kang satuhu
cahya maya maya
jumeneng munggwing unggyaning
tuntung driya anartani triloka
baitul makmur baitul mukharam tetelu
ing baitul muqadas
Ada cahaya putih seperti SabdaNya
Iya itu Nur Muhammad yang sejati
Cahaya maya-maya (samar-samar)
Terletak umpama tingkatan
Dalam indera yang disebut triloka (tiga tempat)
Baitul makmur baitul mukharam ketiga
Di baitul muqadas
sumanar prapteng pangeksi
liyepena katon ponang cahya maya
anarawung warna warna wor dumunung
nuksmeng cahya kang sajati
ingkang padhang gumilang tanpa wayangan
langgeng nguwung angebeki buwana gung
mulih purwanira
Bersinar tanpa henti
Gambarannya tampak mirip cahaya maya
Berbaur warna-warna yang ada
Dengan cahaya yang sejati
Yang terang benderan tanpa halangan
Langgeng memenuhi buwana yang agung
Terhadap dirimu
duk durung tumurun maring
ngarcapada awarna warana raga
cahyanipun gumilang gilang nelawung
tanpa wewayangan
nelahi sesining bumi
gya tumurun dadya manungsa
Ketika belum turun
Ke alam dunia berbentuk raga
Cahayanya penuh gebyar
Tanpa halangan
Memenuhi seisi bumi
Akhirnya segera turun menjadi manusia
marma temtu yen prapta antareng layu
ana cahya prapta
gumilang pindhah angganing
tirta munggwing ron lumbu amaya maya
dyan puniku ciptanen dadya sawujud
lawan sabdanira
kang sinedyan samadyaning
ngen ngenta yekti waluya sampurna
mulya wangsul mring salira numuhun
Tentu saja ketika sudah waktunya
Ada cahaya
Bersinar berpindah warna
Air seperti berbentuk samar-samar
Yaitu cipta yang menjadi satu wujud
Dengan sabda mu sendiri
Yang langsung terjadi
Yang diangan-angankan pasti terjadi sempurna
Mulia kembali pada dirimu sendiri
sabda gaib babar
bali angebaki bumi
tribuwana kebak bangkit megat nyawa
Sabda gaib kembali digelar
Kembali memenuhi bumi
Tribuwana penuh bangkit memisahkan nyawa
Serat asmalaya adalah salah satu serat Jawa yang berbentuk suluk atau piwulang, berisikan ajaran suci berdasarkan ajaran Islam yang dipadukan dengan ajaran kejawen. Lebih dari itu, serat ini adalah hasil pemikiran dan perenungan nenek moyang kita. Serat ini penuh dengan pesan moral yang bernafaskan Islam. Ajaran yang terkandung dalam serat ini erat kaitannya dengan perbuatan dan kelakuan yang merupakan cerminan budi pekerti manusia.
Thursday, January 15, 2009
Siapa Si Empunya Sinar Itu?
Sepi…sepi…dan sepi menggelitik jiwa
Kucari di keramaian, sepi tetap menggoda
Kususuri jalanan, entah tak kutemukan yang kucari
Kudaki gunung nan tinggi, juga tak kujumpa obat sepiku.
Kuhabiskan masa untuk mencari…dan masih tak kujumpa.
Oh….aku terjatuh dalam putus asa….
Sesorot sinar tiba-tiba menghampiriku
Ku tak tahu darimana asalnya
Ku tak mengerti apa maknanya
Yang jelas, damai terasa di jiwaku
Rasa sepi itupun setapak demi setapak menghilang dari kalbuku.
Berganti dengan ketenangan
Oh…sinar apakah itu
Jelas batinku seperti diayomi
Kalau itu Anugerah Tuhan,
Maka aku ingin berjumpa si pemilik sinar itu
Ku tak mau yang lain
Karna yang lain tak mampu beri sinar di jiwaku
Aku ingin berbincang-bincang dengan sang pemilik sinar
Kan ku tempuh walau jutaan kilometer
Kan ku susuri meski ribuan tahun
Walau pun ku tahu, sulit tuk bertemu siempunya cahaya.
Namun Aku tak peduli
Kerinduanku pada siempunya sinar makin berbinar
Makin dekat aku pada sang pemilik, rasa tentram kian jelas terasa
Oh…apakah ini yang disebut sorga dunia
Oh…inikah yang dikata kemabukan cinta
Ku tak peduli, sekali lagi ku tak peduli
Yang jelas, aku harus menempuh suluk si empunya sinar
Dengan begitu kini aku menjadi seorang salik
Ya….seorang salik yang tengah mencari suluk sejati.
Sunday, January 11, 2009
Memahami Filosofi Leluhur Jawa
Leluhur masyarakat Jawa memiliki beraneka filosofi yang jika dicermati memiliki makna yang begitu dalam. Tetapi, anehnya filosofi yang diberikan oleh para leluhur itu saat ini dinilai sebagai hal yang kuno dan ketinggalan jaman. Padahal, filosofi leluhur tersebut berlaku terus sepanjang hidup. Dibawah ini ada beberapa contoh filosofi dari para leluhur/nenek moyang masyarakat Jawa.
"Dadio banyu, ojo dadi watu" (Jadilah air, jangan jadi batu).
Kata-kata singkat yang penuh makna. Kelihatannya jika ditelaah memang manungso kang nduweni manunggaling roso itu harus tahu bagaimana caranya untuk dadi banyu.
Mengapa kita manusia ini harus bisa menjadi banyu (air)? Karena air itu bersifat menyejukkan. Ia menjadi kebutuhan orang banyak. Makhluk hidup yang diciptakan GUSTI ALLAH pasti membutuhkan air. Nah, air ini memiliki zat yang tidak keras. Artinya, dengan bentuknya yang cair, maka ia terasa lembut jika sampai di kulit kita.
Berbeda dengan watu (batu). Batu memiliki zat yang keras. Batu pun juga dibutuhkan manusia untuk membangun rumah maupun apapun. Pertanyaannya, lebih utama manakah menjadi air atau menjadi batu? Kuat manakah air atau batu?
Orang yang berpikir awam akan menyatakan bahwa batu lebih kuat. Tetapi bagi orang yang memahami keberadaan kedua zat tersebut, maka ia akan menyatakan lebih kuat air. Mengapa lebih kuat air daripada batu? Jawabannya sederhana saja, Anda tidak bisa menusuk air dengan belati. Tetapi anda bisa memecah batu dengan palu.
Artinya, meski terlihat lemah, namun air memiliki kekuatan yang dahsyat. Tetes demi tetes air, akan mampu menghancurkan batu. Dari filosofi tersebut, kita bisa belajar bahwa hidup di dunia ini kita seharusnya lebih mengedepankan sifat lemah lembut bak air. Dunia ini penuh dengan permasalahan. Selesaikanlah segala permasalahan itu dengan meniru kelembutan dari air. Janganlah meniru kekerasan dari batu. Kalau Anda meniru kerasnya batu dalam menyelesaikan setiap permasalahan di dunia ini, maka masalah tersebut tentu akan menimbulkan permasalahan baru.
"Sopo Sing Temen Bakal Tinemu"
Filosofi lainnya adalah kata-kata "Sopo sing temen, bakal tinemu" (Siapa yang sungguh-sungguh mencari, bakal menemukan yang dicari). Tampaknya filosofi tersebut sangat jelas. Kalau Anda berniat untuk mencari ilmu nyata ataupun ilmu sejati, maka carilah dengan sungguh-sungguh, maka Anda akan menemukannya.
Namun jika Anda berusaha hanya setengah-setengah, maka jangan kecewa jika nanti Anda tidak akan mendapatkan yang anda cari. Filosofi di atas tentu saja masih berlaku hingga saat ini.
"Sopo sing kelangan bakal diparingi, sopo sing nyolong bakal kelangan"
(Siapa yang kehilangan bakal diberi, siapa yang mencuri bakal kehilangan).
Filosofi itupun juga memiliki kesan yang sangat dalam pada kehidupan. Artinya, nenek moyang kita dulu sudah menekankan agar kita tidak nyolong (mencuri) karena siapapun yang mencuri ia bakal kehilangan sesuatu (bukannya malah untung).
Contohnya, ada orang yang dicopet. Ia akan kehilangan uang yang dimilikinya di dalam dompetnya. Tetapi GUSTI ALLAH akan menggantinya dengan memberikan gantinya pada orang yang kehilangan tersebut. Tetapi bagi orang yang mencopet dompet tersebut, sebenarnya ia untung karena mendapat dompet itu. Namun,ia bakal dibuat kehilangan oleh GUSTI ALLAH, entah dalam bentuk apapun.
Dari filosofi tersebut, Nenek moyang kita sudah memberikan nasehat pada kita generasi penerus tentang keadilan GUSTI ALLAH itu. GUSTI ALLAH itu adalah hakim yang adil.
Wednesday, January 7, 2009
Belajar dari Wejangan Nabi Khiddir pada Sunan Kalijaga
Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari pengalaman hidup, baik itu pengalaman hidup pribadi maupun orang lain. Orang Jawa menyebut belajar pada pengalaman orang lain itu sebagai "kaca benggala". Nah, kini kita belajar pada pengalaman dari Kanjeng Sunan Kalijaga.
Ketika itu, Kanjeng Sunan Kalijaga yang juga dijuluki Syech Malaka berniat hendak pergi ke Mekkah. Tetapi, niatnya itu akhirnya dihadang Nabi Khidir. Nabi Khidir berpesan hendaknya Kanjeng Sunan Kalijaga mengurungkan niatnya untuk pergi ke Mekkah, sebab ada hal yang lebih penting untuk dilakukan yakni kembali ke pulau Jawa. Kalau tidak, maka penduduk pulau Jawa akan kembali kafir.
Bagaimana wejangan dari Nabi Khidir pada Kanjeng Sunan Kalijaga? Hal itu tercetus lewat Suluk Linglung Sunan Kalijaga. Inilah kutipan wejangannya:
Birahi ananireku,
aranira Allah jati.
Tanana kalih tetiga,
sapa wruha yen wus dadi,
ingsun weruh pesti nora,
ngarani namanireki
Timbullah hasrat kehendak Allah menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.
Sipat jamal ta puniku,
ingkang kinen angarani,
pepakane ana ika,
akon ngarani puniki,
iya Allah angandika,
mring Muhammad kang kekasih.
Ada pun sifat jamal (sifat terpuji/bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan, bahwa pada dasarnya adanya dirinya, karena ada yang mewujudkan adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi Kekasih-Nya
Yen tanana sira iku,
ingsun tanana ngarani,
mung sira ngarani ing wang,
dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,
aranira aran mami
Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya Dzatku
Tauhid hidayat sireku,
tunggal lawan Sang Hyang Widhi,
tunggal sira lawan Allah,
uga donya uga akhir,
ya rumangsana pangeran,
ya Allah ana nireki.
Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akherat. Dan kamu merasa bahwa Allah itu ada dalam dirimu
Ruh idhofi neng sireku,
makrifat ya den arani,
uripe ingaranan Syahdat,
urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,
rukuk pamore Hyang Widhi
Ruh idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat (kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan pilihan.
Sekarat tananamu nyamur,
ja melu yen sira wedi,
lan ja melu-melu Allah,
iku aran sakaratil,
ruh idhofi mati tannana,
urip mati mati urip.
Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal (sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapi sakratulmaut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tak akan mati; Hidup mati, mati hidup
Liring mati sajroning ngahurip,
iya urip sajtoning pejah,
urip bae selawase,
kang mati nepsu iku,
badan dhohir ingkang nglakoni,
katampan badan kang nyata,
pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,
Syekh Malaya (S.Kalijaga) den padhang sira nampani,
Wahyu prapta nugraha.
mati di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma mukhsa. Jelasnya mengalami kematian! Syeh Malaya (S.Kalijaga), terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.
Dari wejangan tersebut kita bisa lebih mengenal GUSTI ALLAH dan seharusnya manusia tidak takut untuk menghadapi kematian. Disamping itu juga terdapat wejangan tentang bagaimana seharusnya semedi yang disebut "mati sajroning ngahurip" dan bagaimana dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)