Google

Tuesday, November 15, 2011

Mencermati Hidayah Pangeran Panggung

Petunjuk GUSTI ALLAH itu datang tanpa memandang siapapun. Entah dia kaya raya, miskin, tua maupun muda, jika petunjuk dan hidayah itu sudah datang, tiada satu makhluk pun yang bisa menghalanginya. Ketika petunjuk dan hidayah itu sudah datang, maka salah satu tandanya yaitu orang tersebut akan mulai menempuh lelaku sesuai petunjuk dan hidayah yang diterimanya.

Demikian pula Pangeran Panggung yang hidup jauh setelah eranya Syekh Siti Jenar. Namun hidayah yang diterimanya justru membenarkan ajaran dari Syekh Siti Jenar. Pemikiran Pangeran Panggung itu tercetus lewat serat Suluk Malang Sumirang. Apa saja pemikiran dari Pangeran Panggung dalam suluknya?

Menurut Pangeran Panggung,"….Saya mencari ilmu sejati yang berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup, dan itu saya pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya, untuk mengharapkan hidayah hanyalah bisa didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan hati menggapai gejolak jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”

“Jika saya terjebak dalam syariat, maka seperti burung sudah bergerak, akan tetapi mendapatkan pikiran yang salah. Karena perbuatan salah dalam syariat adalah pada kesalahpahaman dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan manusia itu, jika sudah sampai pada janji maka hatinya menjadi khawatir, wataknya selalu was-was…senantiasa takut gagal….Alam di bawah kolong langit, di atas hamparan bumi dan semua isi di dalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir batin harus bulat, mantap berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 1-2).

“Yang membuat kita paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu jalan kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini sesungguhnya, berasal dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi misal. Wujud mustahil pertandanya sebagai cermin yang bersih merata ke seluruh alam. Yang pasti dzatnya kosong, sekali dan tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan diri, bersikaplah menerima jika belum berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta. Sebagai makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu tidak berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.”

“Segala yang tercipta terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan sangat menyesal. Hanya satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih dangkal akan mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah. Dalam hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri sebagai Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai Allah. Kufur juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma, karena sukma itu adalah Allah.” .

”Waktu shalat merupakan pilihan waktu yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang hebat. Mengertikah Anda, mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu disebabkan kita manusia diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar dengan punggung kanan dan kiri. Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena kita memiliki dua lubang hidung dan satu lubang mulut. Adapun shalat ‘Isya’ enjadi empat raka’at karena adanya dua telinga dan dua buah mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at adalah perlambang dari kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan shalat tarawih adalah sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan dua raka’atnya oleh yang melakukan, menjadi perlambang tumbuhnya alis kanan dan kiri.”

“Adapun waktu yang lima, bahwa masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Shalat Subuh, yang memiliki adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia, berpisah dengan istrinya Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada wahyu dari melalui malaikat Jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada Nabi Adam, “Terimalah cobaan Tuhan, shalat Subuhlah dua raka’at”. Maka Nabi Adampun siap melaksanakannya. Ketika Nabi Adam melaksanakan shalat Subuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah mendapati istrinya berada dibelakangnya, sambil menjawab salam. Shalat Dzuhur dimaksudkan ketika Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno mendapatkan cobaan besar, dimasukkan ke dalam api hendak dihukum bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat raka’at. Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun shalat Ashar, dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan ikan besar. Nabi Yunus merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut ikan. Waktu itu terdapat wahyu Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan melaksanakan shalat Ashar empat raka’at. Nabi Yunus segera melaksanakan, dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu mati, kemudian Nabi Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat Maghrib pada zaman kuno yang memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika musibah banjir bandang sejagad, Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia diterima taubatnya disuruh mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh melaksanakan shalat Maghrib tiga raka’at, maka banjirpun surut seketika. Shalat ‘Isya sesungguhnya Nabi Isa yang memulainya. Ketika kalah perang melawan Raja Harkiyah (Juga disebut Raja Herodes, atasan Gubernur Pontius Pilatus) semua kaumnya bingung tidak tahu utara, selatan, barat, timur dan tengah. Nabi Isa merasa susah, dan tidak lama kemudian datang malaikat Jibril membawa wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa diperintahkan melaksanakan shalat ‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan semua kaumnya mengikutinya, dan malaikat Jibril berkata, “Aku yang membalaskan kepada Pendeta Balhum.”

“Menurut pemahaman saya, sesuai petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat yang berupa anasir batin dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami dengan baik dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan) kedudukannya dalam rasa. Dzat maksudnya adalah bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap di dunia ini tidak ada yang memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi, yang besar atau yang kecil adalah milik Allah semua. Ia tidak memiliki hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang Tunggal. Adapun sifat sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar atau kecil, seisi bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya Allah Tuhan Yang Maha Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua ciptaan seluruh isi bumi adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang Maha Memiliki Nama. Sedangkan artinya af’al adalah seluruh gerak dan perbuatan yang kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini adalah tidak lain dari perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian maksud anasir Gusti.”

“Anasir roh, ada empat perinciannya yang berwujud ilmu yang dinamai cahaya persaksian (nur syuhud). Maksudnya adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut wujud sesungguhnya adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran yang masih perawan itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya. Kedua, yang disebut ilmu adalah pengetahuan batin yang menjadi nur atau cahaya kehidupan atau roh idhafi, cahaya terang menyilaukan seperti bintang kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin tatkala memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan takbir. Demikianlah penjelasan tentang anasir roh, percayalah kepada kecenderungan hati.”

“Anasir manusia maksudnya hendaklah dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi, api, angin dan air. Bumi itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar, angin menjadi napas keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik menarik secara ghaib."

Tuesday, November 8, 2011

Bagaimana Laku Ngelmu?

Ini merupakan kelanjutan dari Serat Wedhatama karangan dari KGPAA Mangkunegoro IV dari Pupuh III Pucung yang mengajari manusia Jawa cara untuk Ngelmu.

Disamping itu, dari serat ini kita juga bisa belajar berbagai 'penyakit' yang menggerogoti hati kita untuk bisa mendekatkan dari pada GUSTI ALLAH. Di akhir serat, kita juga diajari bagaimana sikap kawula muda sekarang yang mulai meninggalkan kawruh kejawen mereka.

Serat di Pupuh III ini sangat berguna bagi kawula muda Jawa untuk menyadari jati dirinya sebagai manusia Jawa. Kata 'Jawa' berarti memahami/mengerti. Memahami/mengerti apa? Tentu saja mengerti/memahami tatakrama, mengerti/memahami budaya sendiri yang adiluhung, mengerti/memahami sesama sehingga bisa mencapai 'Rahayu Sagung Dumadi' (keselamatan untuk seluruh makhluk di dunia).  Mari kita simak isi serat tersebut

PUPUH III

P U C U N G


01
Ngelmu iku, kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangkese dur angkara.

(Orang mencari ilmu itu harus melalui lelaku, harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, bisa mendapatkan kesentosaan, dan menyingkirkan angkara murka.)

02
Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gogolonganira triloka, lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi rubeda.

(Perbuatan angkara murka yang besar, di dalam diri semakin menggunung. Sesuai dengan golongannya, jangkauannya meliputi alam semesta, bila tidak dikekang akan jadi malapetaka.)

03
Beda lamun, kang wus sengsem reh ngasamun, semune ngaksama, sasamane bangsa sisip, sarwa sareh saking mardi marto tama.

(Berbeda dengan orang yang terbiasa dengan kehidupan sunyi. Dari wajahnya mencerminkan pemberi maaf, kepada sesamanya yang bersalah. Selalu tenang dan sabar dan bermurah hati.)

04
Taman limut, durgameng tyas kang weh limput, kereming karamat, karana karohaning sih, sihing Sukma ngreda sahardi gengira.

(Sama sekali tak tergoda. oleh rintangan dalam hati yang menimbulkan khilaf. Karena tenggelam dalam keluruhan budi, karena anugerah Tuhan. Anugerah yang melimpah sebesar gunung.) 

05
Yeku patut, tinulad-tulad tinurut, sapituduhira, aja kaya jaman mangkin, keh pramudha mundhi dhiri lapel makna.

(Seperti itulah yang patut ditiru seluruh petunjuknya Jangan seperti masa mendatang, banyak kawula muda yang menyombongkan diri, hanya sekedar tahu ayat saja.)

06
Durung pecus,kesusu kaselak besus, amaknani lapal, kaya sayid weton Mesir, pendhak-pendhak angendhak gunaning janma.

(Tidak becus, sudah berlagak ingin menerangkan makna ayat, gayanya seperti sayid dari Mesir. Seringkali meremehkan kepandaian orang lain.)

07
Kang kadyeku, kalebu wong ngaku-aku, akale alangka, elok Jawane denmohi, paksa ngangkah langkah met kawruh ing Mekah.

(Yang seperti itu, termasuk orang yang mengaku-aku kepandaian orang lain, kepandaiannya sendiri tak ada. Anehnya tidak menyadari kebudayaan sendiri, memaksakan kehendaknya mengambil pengetahuan dari Mekah.)

08
Nora weruh, rosing rasa kang rinuruh, lumeketing angga, anggere padha marsudi, kana-kene kaanane nora beda.

(Tidak tahu, bahwa inti ilmu yang dicari, sebenarnya melekat erat dalam dirinya sendiri. Asalkan diolah dengan kesungguhan hati, dimana pun baik di sana (Mekah ) maupun di sini (Jawa) keadaannya tidak berbeda.)

09
Uger lugu, den ta mrih pralebdeng kalbu, yen kabul kabuka, ing drajat kajating urip, kaya kang wus winahyeng sekar srinata.

(Bila apa adanya, yang dilakukan dalam meraih kehendak hati dengan jujur. Jika terkabul pastilah terbuka, pintu drajat yang dihajatkan dalam kehidupan. Seperti yang telah dipaparkan dalam pupuh lagu Sinom.)

10
Basa ngelmu, mupakate lan panemu, pasahe lan tapa, yen satriya tanah Jawi, kuna-kuna kang ginilut triprakara.

(Perihal ngelmu, diselaraskan dengan pengalaman, mendalaminya dengan bertapa (olah samadhi), bagi para ksatria di tanah Jawa. Sejak dulu dilaksanakan dengan berpegang pada tiga hal penting.)

11
Lila lamun, kelangan nora gegetun, trima yen kataman, sakserik sameng dumadi, trilegawa nalangsa srahing Batara.

((ketiga hal itu adalah) Rela, ketika kehilangan sesuatu tidak merasa menyesal, (kedua) Sabar bila terkena prasangka dari sesama insan. Yang ketiga tulus ikhlas berserah diri pada Tuhan.)

12
Batara gung, inguger graning jajantung, jenak Hayang Wisesa, sana paseneten Suci, nora kaya si mudha mudhar angkara.

(Tuhan Yang Maha Agung, selalu ditempatkan di puncak jantungnya (berzikir). Atas ridho Yang Maha Kuasa, berkenan bersemayam di tempat yang suci. Namun tidak demikian dengan anak muda yang mengumbar angkara.)

13
Nora uwus, kareme anguwus-uwus, uwose tan ana, mung janjine muring-muring, kaya buta-buteng betah nganiaya.

(Tidak ada habisnya, sellau mengumbar hawa nafsu, yang hakekatnya tidak ada, adanya selalu marah-marah, layaknya raksasa yang cepat naik pitam dan suka menganiaya.)

14
Sakeh luput, ing angga tansah linimput, linimpet ing sabda, narka tan ana udani, lumuh ala ardane ginawe gada.

(Banyak kesalahan, pada dirinya disembunyikan dan ditutupi. Menurut pendapatnya tidak akan ada yang mengetahui, meskipun demikian tidak mau disalahkan. Apabila ada yang membuka sifat jahatnya, amarahnya-lah yang menjadi senjata.)

15
Durung punjul, ing kawruh kaselak jujul, kaseselan hawa, cupet kapepetan pamrih, tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa.

(Belum mencapai tingkat yang lebih dari orang lain, dalam pengetahuannya sudah tidak mampu menerima tambahan ilmu. Karena disela-sela pikirannya telah dipenuhi hawa nafsu, hingga pikirannya menjadi pendek tertutup oleh pamrih. Maka mustahil jika hendak mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.)

Friday, November 4, 2011

Wejangan Kalijaga pada Panembahan Senopati

Setelah bersemedi di tengah samudera pantai Parangritis memohon kepada Gusti Allah agar diizinkan menjadi raja tanah Jawa, Senopati lalu berjalan di atas air menuju darat, jalannya bagaikan berjalan di atas tanah saja hebatnya selama bersemedi di tengah samudera badannya tidak basah walau diterjang ombak berkali-kali. Begitu dekat dengan bibir pantai alangkah terkejutnya dia melihat Sunan Kalijaga berdiri di sana. Dia lalu bersujud dan memohon ampun karena telah berani menyombongkan diri dengan ilmunya itu.

Sunan Kalijaga lalu berkata "Bangunlah hai putera Ki Gede Pamanahan, janganlah menuruti kelemahan hati yang menyuarakan keserakahan, enyahkanlah bisikan setan itu, bangkitlah hai murid Jaka Tingkir!". Senopati lalu bangkit, Sunan Kalijaga kemudian bertanya padanya "apakah benar kau sangat ingin menjadi raja yang menguasai tanah Jawa ini?", Senopati mengangguk perlahan, Sunan Kalijaga bertanya lagi "meskipun itu berati kau harus berhadapan dengan guru sekaligus ayah angkatmu Sultan Hadiwijaya dan berperang dengan seluruh negeri Pajang yang selama ini menjadi negeri tumpah darahmu dan tempat alamrhum ayahmu mengabdi?", Senopati lalu menundukan kepalanya, tubuhnya berguncang, air matanya meleleh lalu pelan berkata "Hamba selalu memohon petunjuk kepada Gusti Allah namun belum mendapatkan petunjuknya, mungkin Gusti Allah memberikan petunjuknya lewat Kanjeng Sunan", Sunan Kalijaga tersenyum lalu kembali membuka mulutnya "Baiklah Senopati akan kuberikan pelajaran yang amat tinggi dari Kanjeng Rasul untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat".

Sunan Kalijaga menghela nafas sebelum memberikan wejangannya, lalu sambil duduk di atas sebuah batu karang dia memulai wejangannya kepada Senopati "Perang itu sesungguhnya hanyalah suatu alat penghancur untuk menghilangkan kerusakan yang disebabkan oleh kebhatilan, diganti dengan yang baru. Timbulnya suatu peradaban itu adalah karena perombakan dari masa silam yang manusia rusak sendiri. Agama Islam lahir sebagai agama penutup, tidak akan ada lagi agama yang diridhai Gusti Allah selain Islam, Kitab suci Al Qur'an lahir sebagai pelengkap dari semua kitab suci sebelumnya yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Memang sudah menjadi takdir Hyang Maha Kuasa kalau semua pemeluk kitab sebelum Al Qur'an itu akan selalu memusuhi para pemeluk agama Islam jika mereka menolak untuk masuk Islam, dan diantara para pemeluk Islam pun akan selalu muncul perbedaan, hal itu dikarenakan terbatasnya daya berpikir manusia yang tidak akan pernah bisa menyingkap takdir Illahi".

Sambil memandang ke arah laut Sunan Kalijaga menyedekapkan tangannya lalu melanjutkan ucapannya "Tanpa persengketaan manusia tidak akan bergairah untuk hidup lebih maju. Tanpa perangpun semua mahluk akan menemui ajal yang telah digariskan. Setelah itu diganti dengan manusia yang baru untuk meneruskan sisa pekerjaan yang telah mati. Demikianlah seterusnya seperti alam raya yang terus bergerak berputar tak pernah diam, demikian pula pikiran manusia setiap detik bergerak terus tak pernah berhenti. Manusia sebagai tempat roh akan mengalami masa bayi, kanak-kanak, dewasa sampai kemudian mati, bagi yang tawakal berserah diri kepada Gusti Allah tidak akan goncang hatinya. Walaupun tidak perang, alam akan merusak dan menghancurkan kehidupan agar manusia menjadi sadar, bahwa dia tak berkuasa apa-apa di dunia ini. Pandanglah kehidupan di sekitar kesultanan Pajang anakku, mereka itu adalah manusia-manusia yang tak menyadari asalnya dan diperbudak oleh khayalan. Perjalanan hidup manusia tidak bisa tetap, bagaikan alam, ada terang dan gelap, ada panas dan dingin, berubah-ubah sesuai kehendak Hyang Maha Kuasa. Usia hidup di alam ini kasar ini tak ubahnya seperti kedipan mata cepatnya bila dibandingkan dengan usia alam yang berjuta-juta tahun. Oleh sebab itu terimalah segala derita ataupun semua cobaan dengan ikhlas menerima pada yang telah digariskan Gusti Allah."

Sunan Kalijaga lalu mengelus-elus jenggotnya "Atma atau roh itu tak dapat dihancurkan dengan kekuatan apapun, tak dapat dilihat, tak dapat dipikirkan, tak bisa berubah sifatnya. Tak bisa dibunuh walaupun jasad yang menjadi tempatnya bersemayam dihancurkan. Semua mahluk pada permulaannya tidak tampak, setelah melalui nafsu birahi antara pria dan wanita disatukan, barulah dibentuk dalam rahim. Setelah dilahirkan barulah nampak, semenjak kecil hingga tua bangka, mereka tak menyadari bahwa mereka berasal dari tak tampak yaitu tiada. Kematian menjadi momok ketakutan bagi yang tak mengenal atmanya.

Orang seringkali memperbincangkan tentang roh, meskipun demikian hanya beberapa orang saja yang mengerti pada sifat abadi itu. Ada dan tiada sama saja bagi siapa yang sesungguhnya mengetahui sajatining kebenaran. Yang menguasai manusia di alam lahir ialah pancaindra, sedangkan Atma adalah pendukung raga seluruhnya. Lahirnya pancaindra setelah menjelma menjadi manusia, sedangkan atma sudah ada sebelum manusia lahir ke dunia. Tetapi janganlah menyekutukan atma dan pancaindra, karena di dalam pancaindra itu terdapat nafsu-pikiran, itikad perasaan dan akal. Siapa yang beritikad baik pikirannya pun akan tenang, nafsunya dapat terkendalikan, perasaannya akan lebih tajam, dan akalnya pun akan lebih cerdas. Siapa yang dapat mengendalikan seluruh panca indranya dan memusatkan akal budinya terhadap atma untuk bersujud berserah diri kepada Illahi, dialah yang akan menemukan kebahagiaan sejati nan abadi dunia-akhirat. Illahi adalah yang tak ada habis-habisnya dan tertinggi yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya, Adhi Atma adalah roh suci yang bersemayam dalam diri manusia, setan adalah nafsu negatif yang menimbulkan nafsu keduniawian. Siapa yang mengingat bahwa Gusti Allah adalah yang paling esa berkuasa, maka dialah yang mengetahui kebenaran.

Deru ombak menggetarkan tempat itu, semakin lama semakin pasang, namun Sunan Kalijaga meneruskan wejangannya " Orang yang sempit pikirannya menganggap Illahi itu hanya bersifat tidak kelihatan dan beranggapan Illahi itu omong kosong belaka yang tidak masuk akal, padahal Illahi ada dimana-mana dalam segala bentuk dan kekal sifatnya yang memberikan daya berpikir pada seluruh manusia. Bukan Ilmu ataupun kesaktian fisik yang bisa menuntun ke jalan yang manunggal di Jalan Illahi, karena ilmu tanpa disertai budi, dan kesaktian lahir adalah kesombongan dan kemurkaan. Dia yang beriman, bertaqwa, dan bertwakal kepadanya dan berikhtiar mempersatukan dia dengan Illahi sambil menjalankan kebajikan, dan menyebarkan ajaran Illahi dia akan mencapai sifat yang diridhai Gusti Allah untuk menjadi Khalifah Umatnya. Apa yang disebut perikebajikan adalah rendah hati, jujur, sabar, dapat melepaskan pikiran dan hawa nafsu keduniawian, dan tidak menyimpan kebencian. Siapa yang melihat bahwa benda yang saling bunuh dan bukan rohnya, siapa yang mengakui segala yang terjadi akibat kesalahannya sendiri dialah yang nerima. Bangkitlah engkau Senopati anakku! Kalahkanlah semua musuh-musuhmu! Karena engkau adalah alat untuk melenyapkan angkara murka dan membentuk kehidupan yang baru di tanah Jawa ini! Sesungguhnya tanpa peranmu pun orang-orang Pajang yang berlindung di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya sudah mati, karena diliputi oleh benci dan dendam. Mereka orang-orang yang berlindung di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya untuk melampiaskan hasrat serakahnya seperti serigala-serigala yang terkurung api, sebentar lagi hangus terbakar. Janganlah bersedih hati menghadapi ujian ini Senopati, semua yang kukatakan ini adalah Ilapat dari Gusti Allah demi memberimu petunjuk atas permohonanmu kepada Gusti Allah siang dan malam, wahyu keprabon untuk memimpin umat di tanah Jawa ini telah berpindah dari Sultan Hadiwijaya kepadamu karena Pajang telah rusak oleh orang-orang yang serakah. Namun ketahuilah Mataram akan berumur pendek dari mulai engkau, anak dan cucumu, cucumu akan menjadi raja yang sangat kaya, mataram akan mencapai puncak kejayaannya, namun Mataram akan rusak oleh cicitmu karena bersekutu dengan orang-orang asing bertubuh tinggi-besar, berkulit putih, berambut seperti rambut jagung yang akan menyengsarakan seluruh umat di tanah Jawa ini. Kerusakan Mataram akan ditandai dengan muculnya bintang kemukus setiap malam, sering terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan, Gunung Merapi sering bergolak dahsyat".

Senopati mengangkat kepalanya "Yang kanjeng Sunan wejangkan benar-benar meresap dalam sanubariku, hamba bersyukur ternyata Gusti Allah mengabulkan permohonan Hamba dan alamarhum ayahanda. Namun yang belum saya mengerti mengapa di jagat ini begitu banyak aliran kepercayaan?"

Sunan Kalijaga Menjawab " Sumbernya hanya satu seperti sumber air gunung yang sangat bersih tanpa ada kotoran mengalir ke bawah. Lalu beranak sungai di hulu, dialirkan ke setiap arah untuk dipergunakan macam-macam keperluan seperti minum, mencuci, mengairi sawah, dan lain-lain sehingga kotor sulit dibersihkan kembali. Begitupun pengertian tentang Tuhan, siapa yang memuja Allah SWT dia akan pergi kepada Gusti Allah, siapa yang memuja Dewa dia akan pergi kepada Dewa, siapa yang memuja Jin dia akan pergi kepada Jin, siapa yang memuja Leluhur dia akan Pergi kepada Leluhurnya. Namun tetaplah semua akan kembali kepada satu sumbernya yaitu sang maha pencipta Gusti Allah SWT, La Illa Haillallah tiada tuhan selain Allah. Ada pula orang-orang yang menyerahkan hartanya sebagai bakti kepada Illahi, Namun dibalik hatinya ia meminta kembalinya yang lebih besar, itu namanya murka, ada orang yang berpura-pura memuja Illahi namun mengharapkan upah, dia tidak akan sampai kepada Illahi. Begitulah pengertian tentang Tuhan, diolah beraneka ragam hasil pengertian akal tanpa budi, iman, dan taqwa. Tidak demikian dengan orang yang beriman dan bertaqwa, dia akan terus menuju mencari sumbernya. Dia tidak akan terpengaruh oleh kesibukan dan nikmat duniawi yang tercipta dari setan pembawa hawa nafsu yang merusak. Dia akan senantiasa tenang, karena ia sadar bahwa semua pergolakan disebabkan oleh setan. Bagaikan orang yang berjalan di lorong gelap gulita yang menemukan pelita, demikianlah orang yang berserah diri kepada Gusti Allah SWT".

Senopati lalu bangun, Sunan Kalijaga lalu mengajaknya pulang ke Kota Gede "Mari anakku aku ingin melihat rumahmu dan kota yang telah engkau bangun", Senopati menjawab "Mari kanjeng Sunan". Setelah sampai Sunan Kalijaga memerintahkan Senopati untuk memagari rumahnya dan membangun tembok dari batu bata di sekitar Kota Gede dengan memberi petunjuk lewat air doanya "Senopati anakku, bila kelak engkau hendak membangun tembok benteng Kota Gede ikutilah tempat dimana aku mengikuti air tadi, nah selamat tinggal anakku, aku hedak pulang ke Kadilangu". Senopati lalu membangun tembok kota mengikuti saran yang Sunan Kalijaga sampaikan. Wejangan itupun diresapinya hingga kelak tiba saatnya ia menjadi raja sekaligus penyebar agama Islam di tanah Jawa ini.(kemudian.com)

Meneladani Laku Panembahan Senopati

Di setiap bangsa pasti ada sosok dan tokoh yang menjadi panutan. Demikian pula dalam Kejawen. Banyak tokoh-tokoh Kejawen yang bisa menjadi panutan. Dalam Serat Wedhatama ini, tokoh yang menjadi panutan adalah Panembahan Senopati.

Panembahan Senopati memiliki nama asli Danang Sutawijaya. Beliau adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah 1587-1601 dengan bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Mengapa tokoh Panembahan Senopati dianggap sebagai tokoh panutan?

Panembahan Senopati yang juga pendiri kerajaan Mataram Islam itu memiliki kegemaran melakukan tapa brata. Tiada hari tanpa lelaku. Karena kelebihan dan kesaktian yang dianugerahkan GUSTI ALLAH, Panembahan Senopati bisa melakukan semedi di tengah samudera. Nah, sekarang kita simak apa saja pesan dari Mangkunegara IV bagi kita untuk meneladani Panembahan Senopati? Simak Pupuh II (Sinom) dari Serat Wedhatama. 

PUPUH II

S I N O M

01

Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing sesama.

(Contohlah perbuatan yang sangat baik, bagi penduduk di tanah Jawa, dari seorang tokoh besar Mataram, Panembahan Senopati, berusaha dengan kesungguhan hatinya, mengendapkan hawa nafsu, dengan melakukan olah samadi, baik siang dan malam, mewujudkan perasaan senang hatinya bagi sesama insan hidup)

02
Samangsane pesasmuan, mamangun martana martani, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-teki, nggayuh geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin, puguh panggah cegah dhahar, lawan nendra.

(Saat berada dalam pertemuan, untuk memperbincangkan sesuatu hal dengan kerendahan hati, dan pada setiap kesempatan, di waktu yang luang mengembara untuk bertapa. Dalam mencapai cita-cita sesuai dengan kehendak kalbu, yang sangat didambakan bagi ketentraman hatinya. Dengan senantiasa berprihatin, dan memegang teguh pendiriannya menahan tidak makan dan tidak tidur.) 

03
Saben nendra saking wisma, lelana laladan sepi, ngisep sepuhing supana, mrih pana pranaweng kapti, titising tyas marsudi, mardawaning budya tulus, mese reh kasudarman, neng tepining jala nidhi, sruning brata kataman wahyu dyatmika.

(Setiap kali pergi meninggalkan rumah (istana), untuk mengembara di tempat yang sunyi. Dengan tujuan meresapi setiap tingkatan ilmu, agar mengerti dengan sesungguhnya dan memahami akan maknanya, Ketajaman hatinya dimanfaatkan guna menempa jiwa, untuk mendapatkan budi pikiran yang tulus, Selanjutnya memeras kemampuan (acara untuk mengendalikan pemerintahan, dengan memegang teguh pada satu pedoman) agar mencintai sesama insan. (Pengerahan segenap daya olah semedi) dilakukannya di tepi samudra. Dalam semangat bertapanya, yang akhirnya mendapatkan anugerah Illahi, dan terlahir berkat keluhuran budi)

04
Wikan wengkoning samodra, kederan wus den ideri, kinemat kamot hing driya, rinegan segegem dadi, dumadya angratoni, nenggih Kanjeng Ratu Kidul, ndedel nggayuh nggegana, umara marak maripih, sor prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda.

(Setelah mengetahui yang terkandung dalam samudra, dengan berjalan mengelilingi sekitarnya, merasakan kesungguhan yang terkandung di dalam hatinya. Untuk dapat digenggam, sehingga berhasil menjadi raja. Tersebutlah Kanjeng Ratu Kidul keluar menjulang mencapai angkasa, mendekati datang menghadap dan memohon dengan suara halus, karena kalah wibawa dengan tokoh besar dari Mataram)

05
Dahat denira aminta, sinupeket pangkat kanci, jroning alam palimunan,  ing pasaban saben sepi, sumanggem anjanggemi, ing karsa kang wus tinamtu, pamrihe mung aminta, supangate teki-teki, nora ketang teken janggut suku jaja.

((Kanjeng Ratu Kidul) memohon dengan sangat, untuk dapat mempererat hubungan dalam kedudukannya di alam ghaib. Pada saat sedang mengembara di tempat yang sunyi, ia selalu bersedia dan tidak akan ingkar janji, terhadap kehendak (Kanjeng Senopati) yang telah ditentukannya. Yang diharapkannya hanyalah memohon ridho-NYA berkat olah tapanya, meskipun harus bersusah payah membanting tulang.) 

06
Prajanjine abipraja, saturun-turun wuri, Mangkono trahing ngawirya, yen amasah mesu budi, dumadya glis dumugi, iya ing sakarsanipun, wong agung Ngeksiganda, nugrahane prapteng mangkin, trah tumerah darahe pada wibawa.

((Kanjeng Ratu Kidul) berjanji dan berikrar, bahwa hingga keturunannya (Kanjeng Panembahan Senopati) kelak dikemudian hari. Demikianlah keturunan bangsawan besar, bila sedang menempa diri untuk mencapai kesempurnaan budi/batin. Tentu akan berhasil dan cepat terkabul, apa saja yang dikehendakinya. Tokoh besar Mataram, anugerahnya masih tampak hingga kini, Turun temurun keturunannya mulia dan berwibawa.)

07
Ambawani tanah Jawa, kang padha jumeneng aji, satriya dibya sumbaga, tan lyan trahing Senapati, pan iku pantes ugi, tinelad labetanipun, ing sakuwasanira, enake lan jaman mangkin, sayektine tan bisa ngepleki kuna.

(Yang memerintah di tanah Jawa menjadi raja, para ksatria yang melebihi daripada yang lain. Mereka tidak lain adalah keturunan Panembahan Senopati, yang pantas untuk dijadikan panutan dalam perbuatan baiknya. Disesuaikan dengan kemampuannya, pada keadaan yang akan datang. Sesungguhnya memang tidak akan dapat menyamai keadaan pada masa lalu.)

08
Luwung kalamun tinimbang, ngaurip tanpa prihatin, Nanging ta ing jaman mangkya, pra mudha kang den karemi, manulad nelad Nabi, nayakeng rad Gusti Rasul, anggung ginawe umbag, saben saba mampir masjid, ngajap-ajap mukjijat tibaning drajat.

(Meskipun tidak memuaskan tapi masih lebih baik bila dibandingkan, dengan yang hidupnya tanpa laku prihatin. Namun pada jaman yang akan datang, yang digemari para anak muda, hanya sekedar meniru perbuatan Nabi. Rasulullah (yang ditetapkan oleh Tuhan) sebagai panutan dunia, selalu dijadikan sandaran menyombongkan diri. Setiap singgah ke masjid, mengharapkan mukjizat dapat derajat (kedudukan tinggi).)

09
Anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi, dalil dalaning ijemak, kiyase nora mikani, katungkul mungkul sami, bengkrakan neng masjid agung, kalamun maca kutbah, lelagone dhandhanggendhis, swara arum ngumandhang cengkok palaran.

(Terus menerus tiada hentinya mendalami masalah syari'at, tanpa mengetahui inti sarinya. Ketentuan yang dijadikan sandaran peraturan di dalam agama Islam. Serta suri tauladan dari masa lampau yang dapat dipergunakan untuk memperkuat suatu hukum, dengan bertingkah laku berlebihan di dalam masjid agung. Bila berkhotbah seperti sedang nembang Dhandhanggula, suaranya berkumandang mengalun dengan cengkok Palaran.)

10
Lamun sira paksa nulad, Tuladhaning Kangjeng Nabi, O, ngger kadohan panjangkah, wateke tak betah kaki, Rehne ta sira Jawi, satitik bae wus cukup, aja ngguru aleman, nelad kas ngepleki pekih, Lamun pungkuh pangangkah yekti karamat.

(Bila engkau memaksakan diri meniru ajaran, yang dilaksanakan Kanjeng Nabi. Oh anakku! Terlalu jauh jangkauan langkahmu, dari dasar kepribadianmu tidak akan tahan uji, nak! Karena engkau adalah orang Jawa, sedikit saja sudah cukup. Janganlah berkeinginan mendapat pujian, lalu meniru perbuatan layaknya orang fakih. Asalkan engkau tekun dalam mengejar cita-citamu pasti akan mendapatkan rahmat pula.)

11
Nanging enak ngupa boga, rehne ta tinitah langip, apa ta suwiteng Nata, tani tanapi agrami, Mangkono mungguh mami, padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab, Jawaku bae tan ngenting, parandene pari peksa mulang putra.

(Alangkah baiknya mencari nafkah, karena telah ditakdirkan hidup miskin, lebih baik mengabdi pada raja, untuk bertani atau berdagang. Demikianlah menurut pendapatnya, dan menurut pendapat orang yang sangat bodoh, serta belum mengerti bahasa Arab. Sedangkan pengetahuan tentang bahasa Jawa saja tidak tamat, walaupun demikian tetap memaksakan diri mengajar anak-anaknya.)

12
Saking duk maksih taruna, sadhela wus anglakoni, aberag marang agama, maguru anggering kaji, sawadine tyas mami, banget wedine ing besuk, pranatan ngakir jaman, Tan tutug kaselak ngabdi, nora kober sembahyang gya tininggalan.

(Karena ketika masih muda dulu, walaupun hanya sebentar pernah mengalami perasaan tertarik pada soal agama. Bahkan berguru juga tentang ibadah haji, rahasianya yang menjadi pendorong utama terhadap maksud hati. Sangatlah takut pada ketentuan, yang berlaku pada akhir jaman kelak. Namun belajarnya belum sampai selesai telah terburu mengabdi, bahkan acapkali tidak sempat bersembahyang karena sudah dipanggil majikan.)

13
Marang ingkang asung pangan, yen kasuwen den dukani, abubrah bawur tyas ingwang, lir kiyamat saben hari, bot Allah apa gusti, tambuh-tambuh solah ingsun, lawas-lawas graita, rehne ta suta priyayi, yen mamriha dadi kaum temah nista.

((Menghadap) kepada orang yang memberi nafkah, bila terlalu lama datangnya pasti mendapat marah. Sehingga membuat kacau balau perasaan hati, layaknya kiamat setiap hari. Apakah berat kepada Tuhan atau rajanya. Tingkah perbuatannya menjadi ragu-ragu, lama kelamaan terpikir di dalam hati. Karena terlahir sebagai anak seorang terhormat, bila ingin menjadi penghulu tentulah tidak pantas.)

14
Tuwin ketib suragama, pan ingsun nora winaris, angur baya angantepana, pranatan wajibing urip, lampahan angluluri, aluraning pra luluhur, kuna kumunanira, kongsi tumekeng semangkin, Kikisane tan lyan among ngupa boga.

(Demikian pula untuk menjadi khotib atau juru agama, juga tidak patut karena tidak punya wewenang jabatan tersebut. Lebih baik berpegang teguh, pada ketentuan kewajiban hidup. Menjalankan adat istiadat leluhur, sesuai dengan yang dijalankan oleh para leluhur, sejak jaman dahulu kala hingga kini. Keputusannya tidak lain hanyalah mencari nafkah hidup)

15
Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering ngaurip, uripe tan tri prakara,  wirya, arta, tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara.

(Salahnya sendiri jika tidak memerlukan sesuatu, yang patut menjadi pegangan hidup. Kehidupan yang patut dilengkapi dengan tiga macam syarat, ialah kekuasaan, harta, dan kepandaian. Bila sampai terjadi sama sekali tidak memiliki, salah satu dari tiga syarat tersebut, akhirnya akan menjadi orang yang tidak berguna, dan masih berharga daun jati yang sudah kering. Akhirnya hina papa menjadi pengemis, yang pergi tidak tentu arah tujuannya.)

16
Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing Jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelangut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.

(Yang telah arif bijaksana melaksanakannya, dalam merangkum tanda-tanda kebesaran Tuhan yang terdapat di alam semesta. Pada akhir inti jiwanya, akan tampak jelas tanpa dihalangi tabir. Maka jiwa pun terbuka dengan jelas, hingga tampak jelas dari jauh seluruh peredaran jaman. Hingga seolah-olah tidak terbatas dan bertepi. Demikianlah yang dapat dikatakan bertapa dengan cara berserah diri secara mutlak ke haribaan kebesaran Tuhan.)

17
Mangkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben rikala mangsa,masah amemasuh budi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun, susila anor raga, wignya met tyasing sesame, yeku aran wong barek berag agama.

(Demikianlah insan yang telah mencapai tingkat utama, yang kebiasaannya menyatu di tempat yang sunyi. Serta setiap saat berulangkali mempertajam olah budinya, dan sikap lahiriyahnya tetap berpegang, pada ketentuan jiwa ksatrianya yang rendah hati. Serta tahu benar menyenangkan hati sesama insan, dan sudah tentu dapat dikatakan insan yang serba baik, serta senang sekali pada ajaran agama.)

18
Ing jaman mengko pan ora, arahe para turami, yen antuk tuduh kang nyata, nora pisan den lakoni, banjur njujurken kapti, kakekne arsa winuruk, ngandelken gurunira, pandhitane praja sidik, tur wus manggon pamucunge mring makrifat.

(Pada masa mendatang tidaklah demikian adanya, gejala yang timbul pada kawula mudanya. Bila mendapat petunjuk yang benar, sama sekali tidak mengindahkannya. Selalu menuruti kehendak hatinya sendiri, bahkan kakeknya pun hendak digurui. Dengan mengandalkan gurunya, seorang pandita pejabat kerajaan yang arif bijaksana, serta memahami benar tembang Pucung yang mengarah pada uraian ma'rifat.)