Google

Wednesday, December 23, 2009

Lelaku Sunan Kalijaga Lewat Bima Suci


Jalan untuk mendekat pada GUSTI ALLAH disebut dengan Suluk. Sementara manusia yang mencari jalan untuk mendekat pada GUSTI ALLAH disebut dengan Salik. Kerinduan akan dekatnya diri dengan GUSTI ALLAH ini menjadikan seseorang mulai mencari asal mula dirinya dan bakal ia bawa kemana hidupnya ini.

Hal itulah yang juga pernah terjadi pada Kanjeng Sunan Kalijaga. Beliau mencari sesuatu yang hakiki dari hidup ini. Dan hal itu telah ditemukannya. Namun beliau tidak semata-mata ingin membuka pengalaman spiritual beliau tersebut secara gamblang. Sunan Kalijaga cenderung lebih memilih untuk menyamarkan pengalaman spiritualnya lewat kisah pewayangan dengan lakon Dewaruci atau kadangkala orang menyebutnya lakon wayang Bima suci.

Dalam lakon Dewaruci tersebut, mengisahkan tentang petualangan Bima dalam mencari tirta pawitra atau ‘Sangkan Paraning Dumadi’. Proses pencarian jati diri yang akhirnya menemukan ‘Sangkan Paraning Dumadi’ tersebut di kalangan umat Islam sesuai dengan Hadist Kanjeng Nabi Muhammad yang berbunyi “Man arafa nafsahu faqad rabbahu” yang artinya, ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia mengenal Tuhannya’.

Bagian cerita Dewaruci menceritakan bahwa Bima berserah diri pada gurunya. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali pada Pendeta Durna. Air suci yang diperintahkan Pendeta Durna untuk mencarinya tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”.

Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada gurunya. Berangkatlah Bima ke tepi lautan. Tanpa ragu-ragu iapun melangkah ke tengah laut karena meyakini apa yang dicarinya ada di tengah samudra.

Ketika berada di tengah samudra itulah, Bima bertemu dengan Dewaruci yang bertubuh kecil. Sang Dewaruci menegur Bima,”Hai Bima, apa yang kau cari di tengah samudra ini?” Bima pun menjawab dengan sigap bahwa dirinya mencari tirta pawitra seperti diperintahkan gurunya, Begawan Durna. Dewaruci memperingatkan Bima bahwa apa yang dicarinya tidak ada di tengah samudra. Tetapi Bima tetap ngotot ingin mencari.

Singkat cerita, lantaran tekad Bima yang sangat besar itu, Dewaruci memerintahkan pada Bima untuk masuk ke dalam badan Dewaruci yang kecil. Seketika Bima pun tertawa terbahak-bahak. “Bagaimana aku yang bertubuh besar bisa masuk ke dalam badanmu yang kecil? Itu jelas tidak mungkin,” kata Bima. Tetapi Dewaruci pun menjawab,”Hai Bima, besar mana tubuhmu dengan alam semesta ini?” Bima menjawab,” Jelas lebih besar alam semesta ini.” “Lha alam semesta yang katamu besar ini saja bisa masuk ke dalam tubuhku, mengapa kamu tidak bisa masuk? Kamu pasti bisa masuk,” tegas Dewaruci sembari memerintahkan Bima untuk masuk ke dalam badan Dewaruci melalui ‘telinga kiri’ sang Dewaruci.

Setelah masuk badan Dewaruci, Bima merasakan bahwa dirinya tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang tak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Bima tidak tahu lagi mana arah barat dan timur, selatan dan utara. Semuanya serba membingungkan. Tiba-tiba ia melihat cahaya. Cahaya yang dilihat Bima beraneka macam warna. Beraneka macam warna cahaya itu dikalangan orang-orang yang lelaku disebut Pancamaya.

Bima melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Warna-warna itu melambangkan aneka nafsu yang merupakan penghalang cipta, rasa dan karsa untuk bertemu dengan GUSTI ALLAH. Nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan GUSTI ALLAH.

Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.

Setelah itu warna-warna yang dilihat Bima itupun hilang dan berganti dengan 8 warna. Siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.

Setelah itu, Bima melihat benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibatasi oleh jasad. Seusai semuanya, Bima tidak lagi merasakan apa-apa. Ia merasakan dirinya sudah tidak ada dan lenyap bersama dengan KeberadaanNYA. Bima tak merasakan khawatir, tidak ingin makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat semata. Hal ini menyebabkan Bima betah berlama-lama di tempat dan kondisi tersebut .

Pencarian Bima Suci itupun akhirnya berakhir dengan kebahagiaan. Bukankah kebahagiaan dan ketentraman dalam hidup dan hidup serasa diayomi dan dilindungi itu yang kita cari? Untuk itu, tidak ada salahnya jika kini Anda mulai menjadi seorang salik yang mencari suluk sejati seperti halnya laku Sunan Kalijaga yang disamarkan lewat kisah Bima Suci atau Dewaruci.

10 comments:

sUduT hATi said...

meski terlambat,saya ingin berkomentar sedikit.banyak orang yg mencari kesejatian semacam itu.suluknya pun bermacam-macam, sesuai dengan piwulang mursyidnya. yang ingin saya tanyakan, bolehkah kita mengikuti suatu suluk tanpa berguru? tanpa petunjuk dari guru ,syeh, atau mursyid?

kejawen said...

Kalau Anda ingin menjalani suluk tanpa berguru itu bisa saja. Guru itu hanya ada dalam diri Anda sendiri. Guru itu disebut Guru Sejati. Sedangkan syeh, mursyid ataupun yang lainnya itu sebetulnya hanya menunjukkan jalannya saja. Percayalah pada diri Anda sendiri. Carilah Guru Sejati Anda.

Lerkiy Ary said...

Motivasi, , , dan inovasi untuk menjadi salik, akan tetapi ketika hidayah taufiqiyah jauh dari diri kita, seakan penyesatan dari musuh manusia yang telah di nas-kan, adalah bahaya yang amat sangat besar. nauzubillah.

Marjuki said...

Maaf... kalau menurut sy ya tetep ada mursyid yang berpengalaman yang seharusnya dimiliki pencari suluk, karna syetan dan iblis sangatlah licik.... mursyid yang kita punyai fungsinya untuk Tolo ukur diri kita, dan tempat curhat kita, kaarna tentu saja dia lebih brpengalaman dibanding kita..

Marjuki said...

ya.. harus tetap ada mursyid yang brpengalaman, sebagai tempat konsultasi, dan curhat kita, karna tipu daya setan dan iblis berada dimana mana, bahkan berada ketika kita hening

Unknown said...

Tanpa seorang mursyid yang nyata pun bisa, yaitu guru sejati kita walaupun jarang yang bisa. Tapi banyak juga orang2 yang mampu sampai tahapat hakekat tanpa didampingi mursyid yg nyata' ibaratnya Gusti iku " edak tan sesenggolan Adoh tan wilangan ". Mohon maaf bila ada yg kurang berkenan,,, suwun

Unknown said...

Tanpa seorang mursyid yang nyata pun bisa, yaitu guru sejati kita walaupun jarang yang bisa. Tapi banyak juga orang2 yang mampu sampai tahapat hakekat tanpa didampingi mursyid yg nyata' ibaratnya Gusti iku " edak tan sesenggolan Adoh tan wilangan ". Mohon maaf bila ada yg kurang berkenan,,, suwun

Anonymous said...

maaf buat saudara2ku....saya mau comment sedikit tentang postingan"lelaku sunan kalijaga lewat bimo suci"wayang pada hakekatnya adalah filsafat hidup manusia.sunan kali jaga berdakwah agama islam lewat wayang yg sudah di modifikasi untuk agama islam krn cerita wayang yg asli dari india.mengapa yang di lakonkan bima kok tidak arjuna saja ato yudistira alias sami aji tentunya ada maksud dan tujuannya.pendowo limo dlm ajaran wayang sunan kali jaga di maknai rukun islam:
1.syahadat di wakili oleh lakon yudistira dgn senjatannya jamos kalimosodo[dua syahadat]
2.bimo,werkudara di maknai sholat lima waktu yang ke3,4,5 silahkan di cari sendiri.......
bimo[sholat lima waktu/syariat] jadi dasarnya untuk mencari kesempurnaan hidup/ilmu hakikat harus melalui beberapa proses.bimo hrs mencari kayu gung susuhing angin kata guru durno artinyaselain menjalani syariat harus mencari kayu:niat gung:gede/besar susuhing angin:telenge nafas /arti hidup setelah itu bima mendapat cincin paningset lambang eling atau ....lebih lanjut silahkan kunjungi blog saya

Anonymous said...

Yg sulit itu saat sudah mancep benar" dan tiba" allah memberi cobaan. Dan saya pun kalap

Unknown said...

Ya klo menurut saya, harus ada mursyidnya, sebenernya bagaimana suluknya itu gambarannya Sama seperti lakon di atas, bima bisa sampai di tahap itu bukan karena dia tahu karena patuh dengan mursyid, nurut atau tidak nurut itu urusanne jenengan hati kita sudah bisa menilai kog, Allah membuat hati ini mudah di bolak balikkan karena, sekuat apapun mempengaruhi jika itu buruk kita akan cepat berubah ke jalan Allah lgi