Google

Monday, December 19, 2011

Pantangan Ragu-Ragu Dalam Belajar Kejawen

Dalam belajar ilmu Kejawen terdapat satu tembang Jawa yang singkat namun sarat makna. Ilmu Kejawen adalah ilmu untuk mempelajari kesempurnaan hidup. "Yen siro wis nglakoni Kasampurnaning Urip, Siro mesti ngerti kasampurnaning pati" (Kalau kamu sudah mengerti kesempurnaan hidup, maka kamu mesti memahami kesempurnaan mati). Apa itu kesempurnaan hidup? Manusia dikatakan mempunyai kesempurnaan hidup jika ia berada sangat hidup dengan GUSTI ALLAH. Oleh karena itu, ilmu Kejawen memiliki makna ilmu yang mempelajari cara untuk mendekat pada GUSTI ALLAH.

Dalam belajar ilmu Kejawen terdapat satu tembang Jawa yang berbunyi:

Tak uwisi gunem iki
Niatku mung aweh wikan
Kebatinan akeh lire
Lan gawat ka liwat-liwat
Mulo dipun prayitno
Ojo keliru pamilihmu
Lamun mardi kebatinan

saya akhiri pembicaraan ini
saya hanya ingin memberi tahu
kabatinan banyak macamnya
dan artinya sangat gawat
maka itu berhati-hatilah
Jangan kamu salah pilih
kalau belajar kebatinan


Dari tembang tersebut dapat diketahui bahwa untuk belajar ilmu Kejawen yang merupakan ilmu kebatinan sangatlah gawat. Ini bukan berarti menakut-nakuti orang yang hendak belajar Kejawen. Semata-mata tembang tersebut adalah mengingatkan bagi orang yang hendak belajar ilmu Kejawen.

Tembang tersebut juga bisa bermakna:

Yen Siro wedhi, ojo sepisan-sepisan wani
Yen Siro Wani, ojo sepisan-sepisan wedhi

Kalau kamu takut, jangan sekali-sekali berani
Kalau kamu berani, jangan sekali-sekali takut


Artinya, saat hendak berniat untuk belajar ilmu Kejawen, kita diingatkan akan pilihan, apakah kita berani atau tidak. Kalau berani, jangan sekali-kali timbul rasa takut. Kalau takut, janganlah memaksakan diri untuk berani. Hal itu juga berarti bahwa dalam bertindak hendaknya kita tidak ragu-ragu.

Friday, December 16, 2011

Memahami Ajaran Samin

Suku Samin diajarkan untuk selalu berperilaku mulia. Disamping itu, suku Samin pun juga diajarkan untuk hidup sederhana dan tidak menurut apa kata pemerintah Hindia Belanda.

Ajaran Suku Samin berasal dari Kitab Jamus Kalimasada yang terdiri dari 5 bagian. 

(1) Serat punjer kawitan ialah sebuah ajaran tentang silsilah raja-raja Jawa, adipati-adipati Jawa Timur, dan penduduk Jawa. Dalam kitab ini mengajarkan bahwa orang Jawa adalah keturunan Adam dan Pandawa yang berhak mewarisi pulau Jawa dan Belanda bukanlah merupakan keturunan dari Adam dan pandawa sehingga tidak memiliki hak tersebut. Dapat dikatakan bahwa ajaran ini secara simbolik ialah sebuah ajaran orang Jawa untuk mencintai tanah airnya.

(2) Serat pikukuh kasejaten 
Sebuah ajaran tentang tata cara dan hukum perkawinan masyarakat Samin. Membangun keluarga merupakan sarana kelahiran budhi yang menghasilkan atmajatama (anak yang utama). Rumah tangga berlandaskan kukuh demen aji (kokoh memegang janji).

(3) Serat Uri-uri Pambudi 
 Ajaran tentang perilaku seperti
 * Angger pratikel (hukum tingkah laku)
 * Angger pangucap (hukum berbicara)
 * Angger-angger lakonono (hukum yang harus dijalankan)

(4) Serat Jati Sawit
Ajaran tentang kemuliaan hidup sesudah mati seperti: Becik ketitik, olo ketoro, sopo goroh bakal gronoh, sopo salah seleh (yang baik dan yang jelek akan kelihatan, siapa yang berdusta akan nista, siapa yang bersalah akan kalah).

(5) Serat Lampahing Urip
Berisi tentang primbon seperti: Kelahiran, Perjodohan, Hari baik untuk setiap kegiatan

Paham Saminisme dinamakan "Agama Nabi Adam". Ajaran Saminisme yang terwariskan hingga kini sebenarnya mencuatkan nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, dan kerja keras. Sedangkan konsep ajaran Samin ada 6 ajaran yaitu:
1. Tidak bersekolah
2. Tidak memakai peci, tetapi memakai iket yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip orang Jawa zaman dahulu.
3. Tidak berpoligami
4. Tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut
5. Tidak berdagang
6. Penolakan terhadap kapitalisme.

Beberapa pikiran orang Samin diantaranya; menguasai adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang dunia-kegembiraan-dan kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin dikalangan antar warga. Orang Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli pribumi, yang bebas dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran politik yang dikenakan pada suku Samin yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan setia pada dunia intelektual.

Mengenal Sosok Samin Surosentiko

Ajaran Samin yang terkenal di wilayah Blora dan sekitarnya tidak lepas dari sosok Samin Surosentiko. Siapa Samin Surosentiko itu? Samin Surosentiko adalah putra dari Raden Surowijoyo yang juga disebut sebagai Samin Sepuh sebagai perintis gerakan Saminisme yang juga putra dari Pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto--kawasan di Kabupaten Tulungagung).

Samin Surosentiko lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Raden Kohar mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang memiliki konotasi wong cilik. Samin Surosentiko juga masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro.

Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur Blora Jawa Tengah. Banyak yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah banyak orang menjadi pengikutnya. Saat itu pemerintah Kolonial Belanda menganggap sepi ajaran tersebut. Ajaran tersebut cuma dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang remeh belaka.

Pada 1903 Residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin yang tersebar di 34 desa di Blora bagian Selatan dan Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Pada 1907, pengikut Samin sudah berjumlah sekitar 5000 orang. Pemerintah Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.

Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari sesudah menjadi Ratu Adil itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Beserta delapan pengikutnya, Samin lalu dibuang ke luar Jawa (ke kota Padang, Sumatra Barat), dan meninggal di Padang pada 1914.

Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan Samin. Pada 1908, Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, menyebarkan ajarannya di Madiun, mengajak orang-orang desa untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah Belanda. Wongsorejo dengan sejumlah pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.

Pada 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di Grobogan. Karsiyah menyebarkan ajaran Samin di kawasan Kajen, Pati. Perkembangannya kemudian tidak jelas.

Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, namun gagal.

Puncak penyebaran gerakan Samin terjadi pada 1914. Pemerintah Belanda menaikkan pajak. Disambut oleh para pengikut Samin dengan pembangkangan dan penolakan dengan cara-cara unik. Misalnya, dengan cara menunjukkan uang pada petugas pajak, "Iki duwite sopo?" (Ini uangnya siapa?), dan ketika sang petugas menjawab, "Yo duwitmu" (Ya uang kamu), maka pengikut Samin akan segera memasukkan uang itu ke sakunya sendiri. Singkat kata, orang-orang Samin misalnya di daerah Purwodadi dan di Balerejo, Madiun, sudah tidak lagi menghormati pamong Desa, polisi, dan aparat pemerintah Belanda yang lain.

Dalam masa itu, di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga mengejek dan memandang para aparat desa dan polisi sebagai badut-badut belaka.

Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah, dengan tidak mau membayar pajak. Karena itu, teror dan penangkapan makin gencar dilakukan pemerintah Belanda terhadap para pengikut Samin. Pada tahun 1914 ini akhirnya Samin meninggal dalam pengasingannya di Sumatra Barat. Namun teror terus dilanjutkan oleh pemerintah Belanda terhadap pengikut Samin. Akibat teror ini, sekitar tahun 1930-an, perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah kolonial menguap dan terhenti. Namun diluar dugaan tampaknya ajaran Samin tersebut tetap eksis hingga sekarang.

Thursday, December 8, 2011

Meresapi Syi'ir Tanpo Waton Gus Dur

Mungkin sering dari kita mendengar di masjid-masjid digemakan (biasanya menjelang Magrib) Syi'ir Tanpo Waton dari Gus Dur. Kebanyakan orang hanya mendengarkan saja dari kejauhan Syi'ir tersebut dan tidak begitu memahami Syi'ir Tanpo Waton itu.

Jika dicermati dan diresapi lebih dalam, Syi'ir Tanpo Waton Gus Dur tersebut memiliki makna yang luar biasa dalam. Contohnya ada bait yang berbunyi 

Duh bolo konco priyo wanito….
(wahai para teman pria dan wanita)
Ojo mung ngaji syareat bloko….
(jangan hanya belajar syari’at saja)
Gur pinter ndongeng nulis lan moco …
(hanya pandai bicara, menulis dan membaca)
Tembe mburine bakal sengsoro 2X ….
(esok hari bakal sengsara)

Bahkan ada yang salah mengartikan bahwa bait tersebut menganggap syariat tidak penting. Anggapan itu jelas kurang benar karena disitu tertulis "Ojo mung ngaji syareat bloko…". Nah, kata mung disitu jelas menyatakan ilmu syariat itu penting, apalagi belajar ilmu yang lebih tinggi untuk mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH merupakan hal yang wajib bagi manusia.

Kanjeng Rasul Muhammad pernah bersabda:
1. orang yang hidupnya kemarin lebih baik dari pada hari ini, maka orang tersebut adalah orang 
    terkutuk
2. orang yang hidupnya kemarin sama dengan hari ini, maka orang tersebut adalah orang yang merugi
3. orang yang hidupnya kemarin lebih buruk dari hari ini, maka orang tersebut adalah orang yang
   beruntung.

Jadi, kalau sekarang sudah paham dengan ilmu syariat, maka hendaknya ditingkatkan ke ilmu thariqat, Hakekat dan Makrifat. Dengan begitu, manusia akan menjadi Insan Kamil yang dekat dengan GUSTI ALLAH. 

Syi’ir Tanpo Waton al-magfurlah KH Abdurrahman Wachid (Gus Dur)
استغفر الله ربّ البرايا # استتغفر الله من الخطا يا
ربّي زدني علما نافعا # ووفّقني عملا صالحا
يا رسول الله سلام عليك # يا رفيع الشان و الدرج
عطفة يا جيرة العالم # يا أهَيلالجود والكرم

Ngawiti ingsun nglaras syi’iran….
(aku memulai menembangkan syi’ir)
Kelawan muji maring Pengeran ….
(dengan memuji kepada Tuhan)
Kang paring rohmat lan kenikmatan ….
(yang memberi rohmat dan kenikmatan)
Rino wengine tanpo pitungan 2X ….
(siang dan malamnya tanpa terhitung)

Duh bolo konco priyo wanito….
(wahai para teman pria dan wanita)
Ojo mung ngaji syareat bloko….
(jangan hanya belajar syari’at saja)
Gur pinter ndongeng nulis lan moco …
(hanya pandai bicara, menulis dan membaca)
Tembe mburine bakal sengsoro 2X ….
(esok hari bakal sengsara)

Akeh kang apal Qur’an Haditse ….
(banyak yang hapal Qur’an dan Haditsnya)
Seneng ngafirke marang liyane ….
(senang mengkafirkan kepada orang lain)
Kafire dewe dak digatekke ….
(kafirnya sendiri tak dihiraukan)
Yen isih kotor ati akale 2X ….
(jika masih kotor hati dan akalnya)

Gampang kabujuk nafsu angkoro ….
(gampang terbujuk nafsu angkara)
Ing pepaese gebyare ndunyo….
(dalam hiasan gemerlapnya dunia)
Iri lan meri sugihe tonggo …
(iri dan dengki kekayaan tetangga)
Mulo atine peteng lan nisto 2X…
(maka hatinya gelap dan nista)

Ayo sedulur jo nglaleake ….
(ayo saudara jangan melupakan)
Wajibe ngaji sak pranatane …
(wajibnya mengkaji lengkap dengan aturannya)
Nggo ngandelake iman tauhide …
(untuk mempertebal iman tauhidnya)
Baguse sangu mulyo matine 2X ….
(bagusnya bekal mulia matinya)

Kang aran sholeh bagus atine….
(Yang disebut sholeh adalah bagus hatinya)
Kerono mapan seri ngelmune…
(karena mapan lengkap ilmunya)
Laku thoriqot lan ma’rifate ….
(menjalankan tarekat dan ma’rifatnya)
Ugo haqiqot manjing rasane 2 X …
(juga hakikat meresap rasanya)

Al Qur’an qodim wahyu minulyo …
(Al Qur’an qodim wahyu mulia)
Tanpo tinulis biso diwoco …
(tanpa ditulis bisa dibaca)
Iku wejangan guru waskito …
(itulah petuah guru mumpuni)
Den tancepake ing jero dodo 2X …
(ditancapkan di dalam dada)

Kumantil ati lan pikiran …
(menempel di hati dan pikiran)
Mrasuk ing badan kabeh jeroan ….
(merasuk dalam badan dan seluruh hati)
Mu’jizat Rosul dadi pedoman….
(mukjizat Rosul(Al-Qur’an) jadi pedoman)
Minongko dalan manjinge iman 2 X …
(sebagai sarana jalan masuknya iman)

Kelawan Alloh Kang Moho Suci …
(Kepada Alloh Yang Maha Suci)
Kudu rangkulan rino lan wengi…..
(harus mendekatkan diri siang dan malam)
Ditirakati diriyadohi …
(diusahakan dengan sungguh-sungguh secara ihlas)
Dzikir lan suluk jo nganti lali 2X …
(dzikir dan suluk jangan sampai lupa)

Uripe ayem rumongso aman …
(hidupnya tentram merasa aman)
Dununge roso tondo yen iman…
(mantabnya rasa tandanya beriman)
Sabar narimo najan pas-pasan…
(sabar menerima meski hidupnya pas-pasan)
Kabeh tinakdir saking Pengeran 2X …
(semua itu adalah takdir dari Tuhan)

Kelawan konco dulur lan tonggo …
(terhadap teman, saudara dan tetangga)
Kang podho rukun ojo dursilo…
(yang rukunlah jangan bertengkar)
Iku sunahe Rosul kang mulyo…
(itu sunnahnya Rosul yang mulia)
Nabi Muhammad panutan kito 2x ….
(Nabi Muhammad tauladan kita)

Ayo nglakoni sakabehane …
(ayo jalankan semuanya)
Alloh kang bakal ngangkat drajate …
(Allah yang akan mengangkat derajatnya)
Senajan asor toto dhohire ..
(Walaupun rendah tampilan dhohirnya)
Ananging mulyo maqom drajate 2X …
(namun mulia maqam derajatnyadi sisi Allah)

Lamun palastro ing pungkasane …
(ketika ajal telah datang di akhir hayatnya)
Ora kesasar roh lan sukmane…
(tidak tersesat roh dan sukmanya)
Den gadang Alloh swargo manggone
(dirindukan Allah surga tempatnya)
Utuh mayite ugo ulese 2X …
(utuh jasadnya juga kain kafannya)

يا رسول الله سلام عليك # يا رفيع الشان و الدرج
عطفة يا جيرة العالم # يا أهَيلالجود والكرم

Tuesday, November 15, 2011

Mencermati Hidayah Pangeran Panggung

Petunjuk GUSTI ALLAH itu datang tanpa memandang siapapun. Entah dia kaya raya, miskin, tua maupun muda, jika petunjuk dan hidayah itu sudah datang, tiada satu makhluk pun yang bisa menghalanginya. Ketika petunjuk dan hidayah itu sudah datang, maka salah satu tandanya yaitu orang tersebut akan mulai menempuh lelaku sesuai petunjuk dan hidayah yang diterimanya.

Demikian pula Pangeran Panggung yang hidup jauh setelah eranya Syekh Siti Jenar. Namun hidayah yang diterimanya justru membenarkan ajaran dari Syekh Siti Jenar. Pemikiran Pangeran Panggung itu tercetus lewat serat Suluk Malang Sumirang. Apa saja pemikiran dari Pangeran Panggung dalam suluknya?

Menurut Pangeran Panggung,"….Saya mencari ilmu sejati yang berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup, dan itu saya pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya, untuk mengharapkan hidayah hanyalah bisa didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan hati menggapai gejolak jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”

“Jika saya terjebak dalam syariat, maka seperti burung sudah bergerak, akan tetapi mendapatkan pikiran yang salah. Karena perbuatan salah dalam syariat adalah pada kesalahpahaman dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan manusia itu, jika sudah sampai pada janji maka hatinya menjadi khawatir, wataknya selalu was-was…senantiasa takut gagal….Alam di bawah kolong langit, di atas hamparan bumi dan semua isi di dalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir batin harus bulat, mantap berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 1-2).

“Yang membuat kita paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu jalan kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini sesungguhnya, berasal dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi misal. Wujud mustahil pertandanya sebagai cermin yang bersih merata ke seluruh alam. Yang pasti dzatnya kosong, sekali dan tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan diri, bersikaplah menerima jika belum berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta. Sebagai makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu tidak berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.”

“Segala yang tercipta terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan sangat menyesal. Hanya satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih dangkal akan mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah. Dalam hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri sebagai Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai Allah. Kufur juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma, karena sukma itu adalah Allah.” .

”Waktu shalat merupakan pilihan waktu yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang hebat. Mengertikah Anda, mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu disebabkan kita manusia diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar dengan punggung kanan dan kiri. Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena kita memiliki dua lubang hidung dan satu lubang mulut. Adapun shalat ‘Isya’ enjadi empat raka’at karena adanya dua telinga dan dua buah mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at adalah perlambang dari kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan shalat tarawih adalah sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan dua raka’atnya oleh yang melakukan, menjadi perlambang tumbuhnya alis kanan dan kiri.”

“Adapun waktu yang lima, bahwa masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Shalat Subuh, yang memiliki adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia, berpisah dengan istrinya Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada wahyu dari melalui malaikat Jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada Nabi Adam, “Terimalah cobaan Tuhan, shalat Subuhlah dua raka’at”. Maka Nabi Adampun siap melaksanakannya. Ketika Nabi Adam melaksanakan shalat Subuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah mendapati istrinya berada dibelakangnya, sambil menjawab salam. Shalat Dzuhur dimaksudkan ketika Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno mendapatkan cobaan besar, dimasukkan ke dalam api hendak dihukum bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat raka’at. Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun shalat Ashar, dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan ikan besar. Nabi Yunus merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut ikan. Waktu itu terdapat wahyu Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan melaksanakan shalat Ashar empat raka’at. Nabi Yunus segera melaksanakan, dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu mati, kemudian Nabi Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat Maghrib pada zaman kuno yang memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika musibah banjir bandang sejagad, Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia diterima taubatnya disuruh mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh melaksanakan shalat Maghrib tiga raka’at, maka banjirpun surut seketika. Shalat ‘Isya sesungguhnya Nabi Isa yang memulainya. Ketika kalah perang melawan Raja Harkiyah (Juga disebut Raja Herodes, atasan Gubernur Pontius Pilatus) semua kaumnya bingung tidak tahu utara, selatan, barat, timur dan tengah. Nabi Isa merasa susah, dan tidak lama kemudian datang malaikat Jibril membawa wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa diperintahkan melaksanakan shalat ‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan semua kaumnya mengikutinya, dan malaikat Jibril berkata, “Aku yang membalaskan kepada Pendeta Balhum.”

“Menurut pemahaman saya, sesuai petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat yang berupa anasir batin dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami dengan baik dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan) kedudukannya dalam rasa. Dzat maksudnya adalah bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap di dunia ini tidak ada yang memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi, yang besar atau yang kecil adalah milik Allah semua. Ia tidak memiliki hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang Tunggal. Adapun sifat sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar atau kecil, seisi bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya Allah Tuhan Yang Maha Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua ciptaan seluruh isi bumi adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang Maha Memiliki Nama. Sedangkan artinya af’al adalah seluruh gerak dan perbuatan yang kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini adalah tidak lain dari perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian maksud anasir Gusti.”

“Anasir roh, ada empat perinciannya yang berwujud ilmu yang dinamai cahaya persaksian (nur syuhud). Maksudnya adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut wujud sesungguhnya adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran yang masih perawan itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya. Kedua, yang disebut ilmu adalah pengetahuan batin yang menjadi nur atau cahaya kehidupan atau roh idhafi, cahaya terang menyilaukan seperti bintang kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin tatkala memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan takbir. Demikianlah penjelasan tentang anasir roh, percayalah kepada kecenderungan hati.”

“Anasir manusia maksudnya hendaklah dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi, api, angin dan air. Bumi itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar, angin menjadi napas keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik menarik secara ghaib."

Tuesday, November 8, 2011

Bagaimana Laku Ngelmu?

Ini merupakan kelanjutan dari Serat Wedhatama karangan dari KGPAA Mangkunegoro IV dari Pupuh III Pucung yang mengajari manusia Jawa cara untuk Ngelmu.

Disamping itu, dari serat ini kita juga bisa belajar berbagai 'penyakit' yang menggerogoti hati kita untuk bisa mendekatkan dari pada GUSTI ALLAH. Di akhir serat, kita juga diajari bagaimana sikap kawula muda sekarang yang mulai meninggalkan kawruh kejawen mereka.

Serat di Pupuh III ini sangat berguna bagi kawula muda Jawa untuk menyadari jati dirinya sebagai manusia Jawa. Kata 'Jawa' berarti memahami/mengerti. Memahami/mengerti apa? Tentu saja mengerti/memahami tatakrama, mengerti/memahami budaya sendiri yang adiluhung, mengerti/memahami sesama sehingga bisa mencapai 'Rahayu Sagung Dumadi' (keselamatan untuk seluruh makhluk di dunia).  Mari kita simak isi serat tersebut

PUPUH III

P U C U N G


01
Ngelmu iku, kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangkese dur angkara.

(Orang mencari ilmu itu harus melalui lelaku, harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, bisa mendapatkan kesentosaan, dan menyingkirkan angkara murka.)

02
Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gogolonganira triloka, lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi rubeda.

(Perbuatan angkara murka yang besar, di dalam diri semakin menggunung. Sesuai dengan golongannya, jangkauannya meliputi alam semesta, bila tidak dikekang akan jadi malapetaka.)

03
Beda lamun, kang wus sengsem reh ngasamun, semune ngaksama, sasamane bangsa sisip, sarwa sareh saking mardi marto tama.

(Berbeda dengan orang yang terbiasa dengan kehidupan sunyi. Dari wajahnya mencerminkan pemberi maaf, kepada sesamanya yang bersalah. Selalu tenang dan sabar dan bermurah hati.)

04
Taman limut, durgameng tyas kang weh limput, kereming karamat, karana karohaning sih, sihing Sukma ngreda sahardi gengira.

(Sama sekali tak tergoda. oleh rintangan dalam hati yang menimbulkan khilaf. Karena tenggelam dalam keluruhan budi, karena anugerah Tuhan. Anugerah yang melimpah sebesar gunung.) 

05
Yeku patut, tinulad-tulad tinurut, sapituduhira, aja kaya jaman mangkin, keh pramudha mundhi dhiri lapel makna.

(Seperti itulah yang patut ditiru seluruh petunjuknya Jangan seperti masa mendatang, banyak kawula muda yang menyombongkan diri, hanya sekedar tahu ayat saja.)

06
Durung pecus,kesusu kaselak besus, amaknani lapal, kaya sayid weton Mesir, pendhak-pendhak angendhak gunaning janma.

(Tidak becus, sudah berlagak ingin menerangkan makna ayat, gayanya seperti sayid dari Mesir. Seringkali meremehkan kepandaian orang lain.)

07
Kang kadyeku, kalebu wong ngaku-aku, akale alangka, elok Jawane denmohi, paksa ngangkah langkah met kawruh ing Mekah.

(Yang seperti itu, termasuk orang yang mengaku-aku kepandaian orang lain, kepandaiannya sendiri tak ada. Anehnya tidak menyadari kebudayaan sendiri, memaksakan kehendaknya mengambil pengetahuan dari Mekah.)

08
Nora weruh, rosing rasa kang rinuruh, lumeketing angga, anggere padha marsudi, kana-kene kaanane nora beda.

(Tidak tahu, bahwa inti ilmu yang dicari, sebenarnya melekat erat dalam dirinya sendiri. Asalkan diolah dengan kesungguhan hati, dimana pun baik di sana (Mekah ) maupun di sini (Jawa) keadaannya tidak berbeda.)

09
Uger lugu, den ta mrih pralebdeng kalbu, yen kabul kabuka, ing drajat kajating urip, kaya kang wus winahyeng sekar srinata.

(Bila apa adanya, yang dilakukan dalam meraih kehendak hati dengan jujur. Jika terkabul pastilah terbuka, pintu drajat yang dihajatkan dalam kehidupan. Seperti yang telah dipaparkan dalam pupuh lagu Sinom.)

10
Basa ngelmu, mupakate lan panemu, pasahe lan tapa, yen satriya tanah Jawi, kuna-kuna kang ginilut triprakara.

(Perihal ngelmu, diselaraskan dengan pengalaman, mendalaminya dengan bertapa (olah samadhi), bagi para ksatria di tanah Jawa. Sejak dulu dilaksanakan dengan berpegang pada tiga hal penting.)

11
Lila lamun, kelangan nora gegetun, trima yen kataman, sakserik sameng dumadi, trilegawa nalangsa srahing Batara.

((ketiga hal itu adalah) Rela, ketika kehilangan sesuatu tidak merasa menyesal, (kedua) Sabar bila terkena prasangka dari sesama insan. Yang ketiga tulus ikhlas berserah diri pada Tuhan.)

12
Batara gung, inguger graning jajantung, jenak Hayang Wisesa, sana paseneten Suci, nora kaya si mudha mudhar angkara.

(Tuhan Yang Maha Agung, selalu ditempatkan di puncak jantungnya (berzikir). Atas ridho Yang Maha Kuasa, berkenan bersemayam di tempat yang suci. Namun tidak demikian dengan anak muda yang mengumbar angkara.)

13
Nora uwus, kareme anguwus-uwus, uwose tan ana, mung janjine muring-muring, kaya buta-buteng betah nganiaya.

(Tidak ada habisnya, sellau mengumbar hawa nafsu, yang hakekatnya tidak ada, adanya selalu marah-marah, layaknya raksasa yang cepat naik pitam dan suka menganiaya.)

14
Sakeh luput, ing angga tansah linimput, linimpet ing sabda, narka tan ana udani, lumuh ala ardane ginawe gada.

(Banyak kesalahan, pada dirinya disembunyikan dan ditutupi. Menurut pendapatnya tidak akan ada yang mengetahui, meskipun demikian tidak mau disalahkan. Apabila ada yang membuka sifat jahatnya, amarahnya-lah yang menjadi senjata.)

15
Durung punjul, ing kawruh kaselak jujul, kaseselan hawa, cupet kapepetan pamrih, tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa.

(Belum mencapai tingkat yang lebih dari orang lain, dalam pengetahuannya sudah tidak mampu menerima tambahan ilmu. Karena disela-sela pikirannya telah dipenuhi hawa nafsu, hingga pikirannya menjadi pendek tertutup oleh pamrih. Maka mustahil jika hendak mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.)

Friday, November 4, 2011

Wejangan Kalijaga pada Panembahan Senopati

Setelah bersemedi di tengah samudera pantai Parangritis memohon kepada Gusti Allah agar diizinkan menjadi raja tanah Jawa, Senopati lalu berjalan di atas air menuju darat, jalannya bagaikan berjalan di atas tanah saja hebatnya selama bersemedi di tengah samudera badannya tidak basah walau diterjang ombak berkali-kali. Begitu dekat dengan bibir pantai alangkah terkejutnya dia melihat Sunan Kalijaga berdiri di sana. Dia lalu bersujud dan memohon ampun karena telah berani menyombongkan diri dengan ilmunya itu.

Sunan Kalijaga lalu berkata "Bangunlah hai putera Ki Gede Pamanahan, janganlah menuruti kelemahan hati yang menyuarakan keserakahan, enyahkanlah bisikan setan itu, bangkitlah hai murid Jaka Tingkir!". Senopati lalu bangkit, Sunan Kalijaga kemudian bertanya padanya "apakah benar kau sangat ingin menjadi raja yang menguasai tanah Jawa ini?", Senopati mengangguk perlahan, Sunan Kalijaga bertanya lagi "meskipun itu berati kau harus berhadapan dengan guru sekaligus ayah angkatmu Sultan Hadiwijaya dan berperang dengan seluruh negeri Pajang yang selama ini menjadi negeri tumpah darahmu dan tempat alamrhum ayahmu mengabdi?", Senopati lalu menundukan kepalanya, tubuhnya berguncang, air matanya meleleh lalu pelan berkata "Hamba selalu memohon petunjuk kepada Gusti Allah namun belum mendapatkan petunjuknya, mungkin Gusti Allah memberikan petunjuknya lewat Kanjeng Sunan", Sunan Kalijaga tersenyum lalu kembali membuka mulutnya "Baiklah Senopati akan kuberikan pelajaran yang amat tinggi dari Kanjeng Rasul untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat".

Sunan Kalijaga menghela nafas sebelum memberikan wejangannya, lalu sambil duduk di atas sebuah batu karang dia memulai wejangannya kepada Senopati "Perang itu sesungguhnya hanyalah suatu alat penghancur untuk menghilangkan kerusakan yang disebabkan oleh kebhatilan, diganti dengan yang baru. Timbulnya suatu peradaban itu adalah karena perombakan dari masa silam yang manusia rusak sendiri. Agama Islam lahir sebagai agama penutup, tidak akan ada lagi agama yang diridhai Gusti Allah selain Islam, Kitab suci Al Qur'an lahir sebagai pelengkap dari semua kitab suci sebelumnya yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Memang sudah menjadi takdir Hyang Maha Kuasa kalau semua pemeluk kitab sebelum Al Qur'an itu akan selalu memusuhi para pemeluk agama Islam jika mereka menolak untuk masuk Islam, dan diantara para pemeluk Islam pun akan selalu muncul perbedaan, hal itu dikarenakan terbatasnya daya berpikir manusia yang tidak akan pernah bisa menyingkap takdir Illahi".

Sambil memandang ke arah laut Sunan Kalijaga menyedekapkan tangannya lalu melanjutkan ucapannya "Tanpa persengketaan manusia tidak akan bergairah untuk hidup lebih maju. Tanpa perangpun semua mahluk akan menemui ajal yang telah digariskan. Setelah itu diganti dengan manusia yang baru untuk meneruskan sisa pekerjaan yang telah mati. Demikianlah seterusnya seperti alam raya yang terus bergerak berputar tak pernah diam, demikian pula pikiran manusia setiap detik bergerak terus tak pernah berhenti. Manusia sebagai tempat roh akan mengalami masa bayi, kanak-kanak, dewasa sampai kemudian mati, bagi yang tawakal berserah diri kepada Gusti Allah tidak akan goncang hatinya. Walaupun tidak perang, alam akan merusak dan menghancurkan kehidupan agar manusia menjadi sadar, bahwa dia tak berkuasa apa-apa di dunia ini. Pandanglah kehidupan di sekitar kesultanan Pajang anakku, mereka itu adalah manusia-manusia yang tak menyadari asalnya dan diperbudak oleh khayalan. Perjalanan hidup manusia tidak bisa tetap, bagaikan alam, ada terang dan gelap, ada panas dan dingin, berubah-ubah sesuai kehendak Hyang Maha Kuasa. Usia hidup di alam ini kasar ini tak ubahnya seperti kedipan mata cepatnya bila dibandingkan dengan usia alam yang berjuta-juta tahun. Oleh sebab itu terimalah segala derita ataupun semua cobaan dengan ikhlas menerima pada yang telah digariskan Gusti Allah."

Sunan Kalijaga lalu mengelus-elus jenggotnya "Atma atau roh itu tak dapat dihancurkan dengan kekuatan apapun, tak dapat dilihat, tak dapat dipikirkan, tak bisa berubah sifatnya. Tak bisa dibunuh walaupun jasad yang menjadi tempatnya bersemayam dihancurkan. Semua mahluk pada permulaannya tidak tampak, setelah melalui nafsu birahi antara pria dan wanita disatukan, barulah dibentuk dalam rahim. Setelah dilahirkan barulah nampak, semenjak kecil hingga tua bangka, mereka tak menyadari bahwa mereka berasal dari tak tampak yaitu tiada. Kematian menjadi momok ketakutan bagi yang tak mengenal atmanya.

Orang seringkali memperbincangkan tentang roh, meskipun demikian hanya beberapa orang saja yang mengerti pada sifat abadi itu. Ada dan tiada sama saja bagi siapa yang sesungguhnya mengetahui sajatining kebenaran. Yang menguasai manusia di alam lahir ialah pancaindra, sedangkan Atma adalah pendukung raga seluruhnya. Lahirnya pancaindra setelah menjelma menjadi manusia, sedangkan atma sudah ada sebelum manusia lahir ke dunia. Tetapi janganlah menyekutukan atma dan pancaindra, karena di dalam pancaindra itu terdapat nafsu-pikiran, itikad perasaan dan akal. Siapa yang beritikad baik pikirannya pun akan tenang, nafsunya dapat terkendalikan, perasaannya akan lebih tajam, dan akalnya pun akan lebih cerdas. Siapa yang dapat mengendalikan seluruh panca indranya dan memusatkan akal budinya terhadap atma untuk bersujud berserah diri kepada Illahi, dialah yang akan menemukan kebahagiaan sejati nan abadi dunia-akhirat. Illahi adalah yang tak ada habis-habisnya dan tertinggi yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya, Adhi Atma adalah roh suci yang bersemayam dalam diri manusia, setan adalah nafsu negatif yang menimbulkan nafsu keduniawian. Siapa yang mengingat bahwa Gusti Allah adalah yang paling esa berkuasa, maka dialah yang mengetahui kebenaran.

Deru ombak menggetarkan tempat itu, semakin lama semakin pasang, namun Sunan Kalijaga meneruskan wejangannya " Orang yang sempit pikirannya menganggap Illahi itu hanya bersifat tidak kelihatan dan beranggapan Illahi itu omong kosong belaka yang tidak masuk akal, padahal Illahi ada dimana-mana dalam segala bentuk dan kekal sifatnya yang memberikan daya berpikir pada seluruh manusia. Bukan Ilmu ataupun kesaktian fisik yang bisa menuntun ke jalan yang manunggal di Jalan Illahi, karena ilmu tanpa disertai budi, dan kesaktian lahir adalah kesombongan dan kemurkaan. Dia yang beriman, bertaqwa, dan bertwakal kepadanya dan berikhtiar mempersatukan dia dengan Illahi sambil menjalankan kebajikan, dan menyebarkan ajaran Illahi dia akan mencapai sifat yang diridhai Gusti Allah untuk menjadi Khalifah Umatnya. Apa yang disebut perikebajikan adalah rendah hati, jujur, sabar, dapat melepaskan pikiran dan hawa nafsu keduniawian, dan tidak menyimpan kebencian. Siapa yang melihat bahwa benda yang saling bunuh dan bukan rohnya, siapa yang mengakui segala yang terjadi akibat kesalahannya sendiri dialah yang nerima. Bangkitlah engkau Senopati anakku! Kalahkanlah semua musuh-musuhmu! Karena engkau adalah alat untuk melenyapkan angkara murka dan membentuk kehidupan yang baru di tanah Jawa ini! Sesungguhnya tanpa peranmu pun orang-orang Pajang yang berlindung di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya sudah mati, karena diliputi oleh benci dan dendam. Mereka orang-orang yang berlindung di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya untuk melampiaskan hasrat serakahnya seperti serigala-serigala yang terkurung api, sebentar lagi hangus terbakar. Janganlah bersedih hati menghadapi ujian ini Senopati, semua yang kukatakan ini adalah Ilapat dari Gusti Allah demi memberimu petunjuk atas permohonanmu kepada Gusti Allah siang dan malam, wahyu keprabon untuk memimpin umat di tanah Jawa ini telah berpindah dari Sultan Hadiwijaya kepadamu karena Pajang telah rusak oleh orang-orang yang serakah. Namun ketahuilah Mataram akan berumur pendek dari mulai engkau, anak dan cucumu, cucumu akan menjadi raja yang sangat kaya, mataram akan mencapai puncak kejayaannya, namun Mataram akan rusak oleh cicitmu karena bersekutu dengan orang-orang asing bertubuh tinggi-besar, berkulit putih, berambut seperti rambut jagung yang akan menyengsarakan seluruh umat di tanah Jawa ini. Kerusakan Mataram akan ditandai dengan muculnya bintang kemukus setiap malam, sering terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan, Gunung Merapi sering bergolak dahsyat".

Senopati mengangkat kepalanya "Yang kanjeng Sunan wejangkan benar-benar meresap dalam sanubariku, hamba bersyukur ternyata Gusti Allah mengabulkan permohonan Hamba dan alamarhum ayahanda. Namun yang belum saya mengerti mengapa di jagat ini begitu banyak aliran kepercayaan?"

Sunan Kalijaga Menjawab " Sumbernya hanya satu seperti sumber air gunung yang sangat bersih tanpa ada kotoran mengalir ke bawah. Lalu beranak sungai di hulu, dialirkan ke setiap arah untuk dipergunakan macam-macam keperluan seperti minum, mencuci, mengairi sawah, dan lain-lain sehingga kotor sulit dibersihkan kembali. Begitupun pengertian tentang Tuhan, siapa yang memuja Allah SWT dia akan pergi kepada Gusti Allah, siapa yang memuja Dewa dia akan pergi kepada Dewa, siapa yang memuja Jin dia akan pergi kepada Jin, siapa yang memuja Leluhur dia akan Pergi kepada Leluhurnya. Namun tetaplah semua akan kembali kepada satu sumbernya yaitu sang maha pencipta Gusti Allah SWT, La Illa Haillallah tiada tuhan selain Allah. Ada pula orang-orang yang menyerahkan hartanya sebagai bakti kepada Illahi, Namun dibalik hatinya ia meminta kembalinya yang lebih besar, itu namanya murka, ada orang yang berpura-pura memuja Illahi namun mengharapkan upah, dia tidak akan sampai kepada Illahi. Begitulah pengertian tentang Tuhan, diolah beraneka ragam hasil pengertian akal tanpa budi, iman, dan taqwa. Tidak demikian dengan orang yang beriman dan bertaqwa, dia akan terus menuju mencari sumbernya. Dia tidak akan terpengaruh oleh kesibukan dan nikmat duniawi yang tercipta dari setan pembawa hawa nafsu yang merusak. Dia akan senantiasa tenang, karena ia sadar bahwa semua pergolakan disebabkan oleh setan. Bagaikan orang yang berjalan di lorong gelap gulita yang menemukan pelita, demikianlah orang yang berserah diri kepada Gusti Allah SWT".

Senopati lalu bangun, Sunan Kalijaga lalu mengajaknya pulang ke Kota Gede "Mari anakku aku ingin melihat rumahmu dan kota yang telah engkau bangun", Senopati menjawab "Mari kanjeng Sunan". Setelah sampai Sunan Kalijaga memerintahkan Senopati untuk memagari rumahnya dan membangun tembok dari batu bata di sekitar Kota Gede dengan memberi petunjuk lewat air doanya "Senopati anakku, bila kelak engkau hendak membangun tembok benteng Kota Gede ikutilah tempat dimana aku mengikuti air tadi, nah selamat tinggal anakku, aku hedak pulang ke Kadilangu". Senopati lalu membangun tembok kota mengikuti saran yang Sunan Kalijaga sampaikan. Wejangan itupun diresapinya hingga kelak tiba saatnya ia menjadi raja sekaligus penyebar agama Islam di tanah Jawa ini.(kemudian.com)

Meneladani Laku Panembahan Senopati

Di setiap bangsa pasti ada sosok dan tokoh yang menjadi panutan. Demikian pula dalam Kejawen. Banyak tokoh-tokoh Kejawen yang bisa menjadi panutan. Dalam Serat Wedhatama ini, tokoh yang menjadi panutan adalah Panembahan Senopati.

Panembahan Senopati memiliki nama asli Danang Sutawijaya. Beliau adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah 1587-1601 dengan bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Mengapa tokoh Panembahan Senopati dianggap sebagai tokoh panutan?

Panembahan Senopati yang juga pendiri kerajaan Mataram Islam itu memiliki kegemaran melakukan tapa brata. Tiada hari tanpa lelaku. Karena kelebihan dan kesaktian yang dianugerahkan GUSTI ALLAH, Panembahan Senopati bisa melakukan semedi di tengah samudera. Nah, sekarang kita simak apa saja pesan dari Mangkunegara IV bagi kita untuk meneladani Panembahan Senopati? Simak Pupuh II (Sinom) dari Serat Wedhatama. 

PUPUH II

S I N O M

01

Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing sesama.

(Contohlah perbuatan yang sangat baik, bagi penduduk di tanah Jawa, dari seorang tokoh besar Mataram, Panembahan Senopati, berusaha dengan kesungguhan hatinya, mengendapkan hawa nafsu, dengan melakukan olah samadi, baik siang dan malam, mewujudkan perasaan senang hatinya bagi sesama insan hidup)

02
Samangsane pesasmuan, mamangun martana martani, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-teki, nggayuh geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin, puguh panggah cegah dhahar, lawan nendra.

(Saat berada dalam pertemuan, untuk memperbincangkan sesuatu hal dengan kerendahan hati, dan pada setiap kesempatan, di waktu yang luang mengembara untuk bertapa. Dalam mencapai cita-cita sesuai dengan kehendak kalbu, yang sangat didambakan bagi ketentraman hatinya. Dengan senantiasa berprihatin, dan memegang teguh pendiriannya menahan tidak makan dan tidak tidur.) 

03
Saben nendra saking wisma, lelana laladan sepi, ngisep sepuhing supana, mrih pana pranaweng kapti, titising tyas marsudi, mardawaning budya tulus, mese reh kasudarman, neng tepining jala nidhi, sruning brata kataman wahyu dyatmika.

(Setiap kali pergi meninggalkan rumah (istana), untuk mengembara di tempat yang sunyi. Dengan tujuan meresapi setiap tingkatan ilmu, agar mengerti dengan sesungguhnya dan memahami akan maknanya, Ketajaman hatinya dimanfaatkan guna menempa jiwa, untuk mendapatkan budi pikiran yang tulus, Selanjutnya memeras kemampuan (acara untuk mengendalikan pemerintahan, dengan memegang teguh pada satu pedoman) agar mencintai sesama insan. (Pengerahan segenap daya olah semedi) dilakukannya di tepi samudra. Dalam semangat bertapanya, yang akhirnya mendapatkan anugerah Illahi, dan terlahir berkat keluhuran budi)

04
Wikan wengkoning samodra, kederan wus den ideri, kinemat kamot hing driya, rinegan segegem dadi, dumadya angratoni, nenggih Kanjeng Ratu Kidul, ndedel nggayuh nggegana, umara marak maripih, sor prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda.

(Setelah mengetahui yang terkandung dalam samudra, dengan berjalan mengelilingi sekitarnya, merasakan kesungguhan yang terkandung di dalam hatinya. Untuk dapat digenggam, sehingga berhasil menjadi raja. Tersebutlah Kanjeng Ratu Kidul keluar menjulang mencapai angkasa, mendekati datang menghadap dan memohon dengan suara halus, karena kalah wibawa dengan tokoh besar dari Mataram)

05
Dahat denira aminta, sinupeket pangkat kanci, jroning alam palimunan,  ing pasaban saben sepi, sumanggem anjanggemi, ing karsa kang wus tinamtu, pamrihe mung aminta, supangate teki-teki, nora ketang teken janggut suku jaja.

((Kanjeng Ratu Kidul) memohon dengan sangat, untuk dapat mempererat hubungan dalam kedudukannya di alam ghaib. Pada saat sedang mengembara di tempat yang sunyi, ia selalu bersedia dan tidak akan ingkar janji, terhadap kehendak (Kanjeng Senopati) yang telah ditentukannya. Yang diharapkannya hanyalah memohon ridho-NYA berkat olah tapanya, meskipun harus bersusah payah membanting tulang.) 

06
Prajanjine abipraja, saturun-turun wuri, Mangkono trahing ngawirya, yen amasah mesu budi, dumadya glis dumugi, iya ing sakarsanipun, wong agung Ngeksiganda, nugrahane prapteng mangkin, trah tumerah darahe pada wibawa.

((Kanjeng Ratu Kidul) berjanji dan berikrar, bahwa hingga keturunannya (Kanjeng Panembahan Senopati) kelak dikemudian hari. Demikianlah keturunan bangsawan besar, bila sedang menempa diri untuk mencapai kesempurnaan budi/batin. Tentu akan berhasil dan cepat terkabul, apa saja yang dikehendakinya. Tokoh besar Mataram, anugerahnya masih tampak hingga kini, Turun temurun keturunannya mulia dan berwibawa.)

07
Ambawani tanah Jawa, kang padha jumeneng aji, satriya dibya sumbaga, tan lyan trahing Senapati, pan iku pantes ugi, tinelad labetanipun, ing sakuwasanira, enake lan jaman mangkin, sayektine tan bisa ngepleki kuna.

(Yang memerintah di tanah Jawa menjadi raja, para ksatria yang melebihi daripada yang lain. Mereka tidak lain adalah keturunan Panembahan Senopati, yang pantas untuk dijadikan panutan dalam perbuatan baiknya. Disesuaikan dengan kemampuannya, pada keadaan yang akan datang. Sesungguhnya memang tidak akan dapat menyamai keadaan pada masa lalu.)

08
Luwung kalamun tinimbang, ngaurip tanpa prihatin, Nanging ta ing jaman mangkya, pra mudha kang den karemi, manulad nelad Nabi, nayakeng rad Gusti Rasul, anggung ginawe umbag, saben saba mampir masjid, ngajap-ajap mukjijat tibaning drajat.

(Meskipun tidak memuaskan tapi masih lebih baik bila dibandingkan, dengan yang hidupnya tanpa laku prihatin. Namun pada jaman yang akan datang, yang digemari para anak muda, hanya sekedar meniru perbuatan Nabi. Rasulullah (yang ditetapkan oleh Tuhan) sebagai panutan dunia, selalu dijadikan sandaran menyombongkan diri. Setiap singgah ke masjid, mengharapkan mukjizat dapat derajat (kedudukan tinggi).)

09
Anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi, dalil dalaning ijemak, kiyase nora mikani, katungkul mungkul sami, bengkrakan neng masjid agung, kalamun maca kutbah, lelagone dhandhanggendhis, swara arum ngumandhang cengkok palaran.

(Terus menerus tiada hentinya mendalami masalah syari'at, tanpa mengetahui inti sarinya. Ketentuan yang dijadikan sandaran peraturan di dalam agama Islam. Serta suri tauladan dari masa lampau yang dapat dipergunakan untuk memperkuat suatu hukum, dengan bertingkah laku berlebihan di dalam masjid agung. Bila berkhotbah seperti sedang nembang Dhandhanggula, suaranya berkumandang mengalun dengan cengkok Palaran.)

10
Lamun sira paksa nulad, Tuladhaning Kangjeng Nabi, O, ngger kadohan panjangkah, wateke tak betah kaki, Rehne ta sira Jawi, satitik bae wus cukup, aja ngguru aleman, nelad kas ngepleki pekih, Lamun pungkuh pangangkah yekti karamat.

(Bila engkau memaksakan diri meniru ajaran, yang dilaksanakan Kanjeng Nabi. Oh anakku! Terlalu jauh jangkauan langkahmu, dari dasar kepribadianmu tidak akan tahan uji, nak! Karena engkau adalah orang Jawa, sedikit saja sudah cukup. Janganlah berkeinginan mendapat pujian, lalu meniru perbuatan layaknya orang fakih. Asalkan engkau tekun dalam mengejar cita-citamu pasti akan mendapatkan rahmat pula.)

11
Nanging enak ngupa boga, rehne ta tinitah langip, apa ta suwiteng Nata, tani tanapi agrami, Mangkono mungguh mami, padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab, Jawaku bae tan ngenting, parandene pari peksa mulang putra.

(Alangkah baiknya mencari nafkah, karena telah ditakdirkan hidup miskin, lebih baik mengabdi pada raja, untuk bertani atau berdagang. Demikianlah menurut pendapatnya, dan menurut pendapat orang yang sangat bodoh, serta belum mengerti bahasa Arab. Sedangkan pengetahuan tentang bahasa Jawa saja tidak tamat, walaupun demikian tetap memaksakan diri mengajar anak-anaknya.)

12
Saking duk maksih taruna, sadhela wus anglakoni, aberag marang agama, maguru anggering kaji, sawadine tyas mami, banget wedine ing besuk, pranatan ngakir jaman, Tan tutug kaselak ngabdi, nora kober sembahyang gya tininggalan.

(Karena ketika masih muda dulu, walaupun hanya sebentar pernah mengalami perasaan tertarik pada soal agama. Bahkan berguru juga tentang ibadah haji, rahasianya yang menjadi pendorong utama terhadap maksud hati. Sangatlah takut pada ketentuan, yang berlaku pada akhir jaman kelak. Namun belajarnya belum sampai selesai telah terburu mengabdi, bahkan acapkali tidak sempat bersembahyang karena sudah dipanggil majikan.)

13
Marang ingkang asung pangan, yen kasuwen den dukani, abubrah bawur tyas ingwang, lir kiyamat saben hari, bot Allah apa gusti, tambuh-tambuh solah ingsun, lawas-lawas graita, rehne ta suta priyayi, yen mamriha dadi kaum temah nista.

((Menghadap) kepada orang yang memberi nafkah, bila terlalu lama datangnya pasti mendapat marah. Sehingga membuat kacau balau perasaan hati, layaknya kiamat setiap hari. Apakah berat kepada Tuhan atau rajanya. Tingkah perbuatannya menjadi ragu-ragu, lama kelamaan terpikir di dalam hati. Karena terlahir sebagai anak seorang terhormat, bila ingin menjadi penghulu tentulah tidak pantas.)

14
Tuwin ketib suragama, pan ingsun nora winaris, angur baya angantepana, pranatan wajibing urip, lampahan angluluri, aluraning pra luluhur, kuna kumunanira, kongsi tumekeng semangkin, Kikisane tan lyan among ngupa boga.

(Demikian pula untuk menjadi khotib atau juru agama, juga tidak patut karena tidak punya wewenang jabatan tersebut. Lebih baik berpegang teguh, pada ketentuan kewajiban hidup. Menjalankan adat istiadat leluhur, sesuai dengan yang dijalankan oleh para leluhur, sejak jaman dahulu kala hingga kini. Keputusannya tidak lain hanyalah mencari nafkah hidup)

15
Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering ngaurip, uripe tan tri prakara,  wirya, arta, tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara.

(Salahnya sendiri jika tidak memerlukan sesuatu, yang patut menjadi pegangan hidup. Kehidupan yang patut dilengkapi dengan tiga macam syarat, ialah kekuasaan, harta, dan kepandaian. Bila sampai terjadi sama sekali tidak memiliki, salah satu dari tiga syarat tersebut, akhirnya akan menjadi orang yang tidak berguna, dan masih berharga daun jati yang sudah kering. Akhirnya hina papa menjadi pengemis, yang pergi tidak tentu arah tujuannya.)

16
Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing Jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelangut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.

(Yang telah arif bijaksana melaksanakannya, dalam merangkum tanda-tanda kebesaran Tuhan yang terdapat di alam semesta. Pada akhir inti jiwanya, akan tampak jelas tanpa dihalangi tabir. Maka jiwa pun terbuka dengan jelas, hingga tampak jelas dari jauh seluruh peredaran jaman. Hingga seolah-olah tidak terbatas dan bertepi. Demikianlah yang dapat dikatakan bertapa dengan cara berserah diri secara mutlak ke haribaan kebesaran Tuhan.)

17
Mangkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben rikala mangsa,masah amemasuh budi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun, susila anor raga, wignya met tyasing sesame, yeku aran wong barek berag agama.

(Demikianlah insan yang telah mencapai tingkat utama, yang kebiasaannya menyatu di tempat yang sunyi. Serta setiap saat berulangkali mempertajam olah budinya, dan sikap lahiriyahnya tetap berpegang, pada ketentuan jiwa ksatrianya yang rendah hati. Serta tahu benar menyenangkan hati sesama insan, dan sudah tentu dapat dikatakan insan yang serba baik, serta senang sekali pada ajaran agama.)

18
Ing jaman mengko pan ora, arahe para turami, yen antuk tuduh kang nyata, nora pisan den lakoni, banjur njujurken kapti, kakekne arsa winuruk, ngandelken gurunira, pandhitane praja sidik, tur wus manggon pamucunge mring makrifat.

(Pada masa mendatang tidaklah demikian adanya, gejala yang timbul pada kawula mudanya. Bila mendapat petunjuk yang benar, sama sekali tidak mengindahkannya. Selalu menuruti kehendak hatinya sendiri, bahkan kakeknya pun hendak digurui. Dengan mengandalkan gurunya, seorang pandita pejabat kerajaan yang arif bijaksana, serta memahami benar tembang Pucung yang mengarah pada uraian ma'rifat.)

Wednesday, October 5, 2011

Kewajiban Ngelmu

Setiap manusia wajib untuk menuntut ilmu. Menuntut ilmu itu bukan hanya bagi anak-anak dan pemuda saja. Bahkan orang tua pun wajib untuk menuntut ilmu.

Di serat Wedhatama bagian awal karya KGPAA Mangkunegoro IV, kita diingatkan untuk senantiasa tidak jemu-jemu ngelmu sejati. Ngelmu sejati seperti apa itu? Ngelmu sejati adalah untuk senantiasa mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH. Karena pada hakekatnya kita semua nantinya akan kembali kepadaNYA.

Disamping itu, KGPAA Mangkunegoro IV juga menjelaskan perbedaan sifat-sifat dan tanda dari orang yang berilmu dalam kehidupan sehari-hari dengan orang yang tidak berilmu.

Untuk lebih jelasnya, silakan menyimak ajaran dari KGPAA Mangkunegoro IV lewat arti dari serat Wedhatama Pupuh I Pangkur.

PUPUH I
P A N G K U R

01
Mingkar-mingkuring ukara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ilmu luhung,kang tumrap ing tanah Jawa, agama ageming aji.

(Meredam nafsu angkara dalam diri, Hendak berkenan mendidik putra-putri, Tersirat dalam indahnya tembang, dihias penuh variasi, agar menjiwai hakekat ilmu luhur, yang ada di tanah Jawa (nusantara), agama hanyalah “pakaian” kehidupan.)

02
Jinejer ing Weddhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi,mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi sepa lir sepah asamun,samasane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi.

(Disajikan dalam serat Wedhatama,agar jangan miskin pengetahuan walaupun sudah tua pikun jika tidak memahami rasa sejati (batin) niscaya kosong tiada berguna bagai ampas, percuma sia-sia,di dalam setiap pergaulan sering bertindak ceroboh memalukan.)

03
Nggugu karsane priyangga, nora nganggo peparah lamun angling,lumuh ingaran balilu, uger guru aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sinamun samudana, sesadoning adu manis .

(Mengikuti kemauan sendiri, Bila berkata tanpa dipertimbangkan (asal bunyi), Namun tak mau dianggap bodoh,Selalu berharap dipuji-puji. (sebaliknya) Ciri orang yang sudah memahami (ilmu sejati) tak bisa ditebak berwatak rendah hati,selalu berprasangka baik.)

04
Si pengung nora nglegewa, sangsayarda denira cacariwis, ngandhar-andhar angendukur, kandhane nora kaprah, saya elok alangka longkangipun, si wasis waskitha ngalah, ngalingi marang sipingging.

(Si dungu tidak menyadari,Bualannya semakin menjadi-jadi,ngelantur bicara yang tidak-tidak,Bicaranya tidak masuk akal,makin aneh tak ada jedanya. Lain halnya, Si Pandai cermat dan mengalah, Menutupi aib si bodoh.)

05
Mangkono ilmu kang nyata, sanyatane mung we reseping ati,bungah ingaran cubluk, sukeng tyas yen den ina, nora kaya si punggung anggung gumunggung, ugungan sadina dina, aja mangkono wong urip.

(Demikianlah ilmu yang nyata, kenyataannya memberikan ketentraman hati, Tidak sedih dibilang bodoh, Tetap gembira jika dihina. Tidak seperti si dungu yang selalu sombong, Ingin dipuji setiap hari. Janganlah begitu caranya orang hidup.)

06
Uripa sapisan rusak, nora mulur nalare ting saluwir, kadi ta guwa kang sirung,  sinerang ing maruta, gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki.

(Hidup sekali saja berantakan, Tidak berkembang, pola pikirnya carut marut. Umpama goa gelap menyeramkan, Dihembus angin, Suaranya gemuruh menggeram, berdengung Seperti halnya watak anak muda yang masih pula berlagak congkak)

07
Kikisane mung sapala, palayune ngendelken yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur, lah iya ingkang rama, balik sira sarawungan bae durung, mring atining tata krama, nggon-anggon agama suci.

(Tujuan hidupnya begitu rendah, Maunya mengandalkan orang tuanya,Yang terpandang serta bangsawan. Itu kan ayahmu! Sedangkan kamu saja belum kenal, akan hakikatnya tata krama dalam ajaran yang suci)

08
Socaning jiwangganira, jer katara lamun pocapan pasthi, lumuh asor kudu unggul, sumengah sesongaran,yen mangkono kena ingaran katungkul, karem ing reh kaprawiran, nora enak iku kaki.

(Cerminan dari dalam jiwa raga mu, Nampak jelas walau tutur kata halus, Sifat pantang kalah maunya menang sendiri Sombong besar mulut Bila demikian itu, disebut orang yang terlena Puas diri berlagak tinggi. Tidak baik itu nak!)

09
Kekerane ngelmu karang, kakarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning daging kulup, Yen kapengkok pancabaya,ubayane mbalenjani.

(Di dalam ilmu yang dikarang-karang (sihir/rekayasa). Rekayasa dari hal-hal gaib Itu umpama bedak. Tidak meresap ke dalam jasad, Hanya ada di kulitnya saja nak Bila terbentur marabahaya, bisanya menghindari.)

10
Marma ing sabisa-bisa, babasane muriha tyas basuki, puruitaa kang patut, lan traping angganira, Ana uga angger ugering kaprabun, abon aboning panembah, kang kambah ing siang ratri.

(Karena itu sebisanya,Upayakan selalu berhati baik. Bergurulah secara tepat Yang sesuai dengan dirimu, Ada juga peraturan dan pedoman bernegara, Menjadi syarat bagi yang berbakti,yang berlaku siang malam.)

11
Iku kaki takokena, marang para sarjana kang martapi, mring tapaking tepa tulus, kawawa nahen hawa, Wruhanira mungguh sanjataning ngelmu, tan mesthi neng janma wreda, tuwin muda sudra kaki.

(Itulah nak, tanyakan Kepada para sarjana yang menimba ilmu jejak hidup para suri tauladan yang benar, dapat menahan hawa Nafsu Pengetahuanmu adalah senjatanya ilmu, Yang tidak harus dikuasai orang tua, Bisa juga bagi yang muda atau miskin, nak!)

12
Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning Jiwangga, Yen mangkono kena sinebut wong sepuh, liring sepuh sepi hawa, awas roroning ngatunggil.

(Siapapun yang menerima wahyu Tuhan, Dengan cermat mencerna ilmu tinggi, Mampu menguasai ilmu kasampurnan, Kesempurnaan jiwa raga, Bila demikian pantas disebut “orang tua”. Arti “orang tua” adalah tidak dikuasai hawa nafsu. Paham akan dwi tunggal (menyatunya sukma dengan Tuhan)

13
Tan samar pamoring Sukma, sinukma ya winahya ing ngasepi, sinimpen telenging kalbu, Pambukaning waana, tarlen saking liyep layaping ngaluyup, pindha pesating supena, sumusuping rasa jati.

(Tidaklah samar menyatunya sukma, meresap terpatri dalam keheningan semadi, Diendapkan dalam lubuk hati menjadi pembuka tabir, berawal dari keadaan antara sadar dan tiada, Seperti terlepasnya mimpi Merasuknya rasa yang sejati.)

14
Sajatine kang mangkono, wus kakenan nugrahaning Hyang Widi, bali alaming ngasuwung, tan karem karamean, ingkang sipat wisesa winisesa wus, mulih mula mulanira, mulane wong anom sami.

(Sebenarnya ke-ada-an itu merupakan anugrah Tuhan, Kembali ke alam yang kosong, tidak mengumbar nafsu duniawi, yang bersifat kuasa menguasai. Kembali keasal muasalmu, wahai anak muda)

SERAT WEDHATAMA



                                                             Karya : Mangkunegara IV
PUPUH I

P A N G K U R
01
Mingkar-mingkuring ukara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ilmu luhung,kang tumrap ing tanah Jawa, agama ageming aji.

02
Jinejer ing Weddhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi,mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi sepa lir sepah asamun,samasane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi.

03
Nggugu karsane priyangga, nora nganggo peparah lamun angling,lumuh ingaran balilu, uger guru aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sinamun samudana, sesadoning adu manis .

04
Si pengung nora nglegewa, sangsayarda denira cacariwis, ngandhar-andhar angendukur, kandhane nora kaprah, saya elok alangka longkangipun, si wasis waskitha ngalah, ngalingi marang si pengung.

05
Mangkono ilmu kang nyata, sanyatane mung we reseping ati,bungah ingaran cubluk, sukeng tyas yen den ina, nora kaya si punggung anggung gumunggung, ugungan sadina dina, aja mangkono wong urip.

06
Uripa sapisan rusak, nora mulur nalare ting saluwir, kadi ta guwa kang sirung,  sinerang ing maruta, gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki.

07
Kikisane mung sapala, palayune ngendelken yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur, lah iya ingkang rama, balik sira sarawungan bae durung, mring atining tata krama, nggon-anggon agama suci.

08
Socaning jiwangganira, jer katara lamun pocapan pasthi, lumuh asor kudu unggul, sumengah sesongaran,yen mangkono kena ingaran katungkul, karem ing reh kaprawiran, nora enak iku kaki.

09
Kekerane ngelmu karang, kakarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning daging kulup, Yen kapengkok pancabaya, ubayane mbalenjani.

10
Marma ing sabisa-bisa, babasane muriha tyas basuki, puruitaa kang patut, lan traping angganira, Ana uga angger ugering kaprabun, abon aboning panembah, kang kambah ing siang ratri.

11
Iku kaki takokena, marang para sarjana kang martapi, mring tapaking tepa tulus, kawawa nahen hawa, Wruhanira mungguh sanjataning ngelmu, tan mesthi neng janma wreda, tuwin muda sudra kaki.

12
Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning Jiwangga, Yen mangkono kena sinebut wong sepuh, liring sepuh sepi hawa, awas roroning ngatunggil.

13
Tan samar pamoring Sukma, sinukma ya winahya ing ngasepi, sinimpen telenging kalbu, Pambukaning waana, tarlen saking liyep layaping ngaluyup, pindha pesating supena, sumusuping rasa jati.

14
Sajatine kang mangkono, wus kakenan nugrahaning Hyang Widi, bali alaming ngasuwung, tan karem karamean, ingkang sipat wisesa winisesa wus, mulih mula mulanira, mulane wong anom sami.

PUPUH II

S I N O M

01
Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing sesama.

02
Samangsane pesasmuan, mamangun martana martani, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-teki, nggayuh geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin, puguh panggah cegah dhahar, lawan nendra.

03
Saben nendra saking wisma, lelana laladan sepi, ngisep sepuhing supana, mrih pana pranaweng kapti, titising tyas marsudi, mardawaning budya tulus, mese reh kasudarman, neng tepining jala nidhi, sruning brata kataman wahyu dyatmika.

04
Wikan wengkoning samodra, kederan wus den ideri, kinemat kamot hing driya, rinegan segegem dadi, dumadya angratoni, nenggih Kanjeng Ratu Kidul, ndedel nggayuh nggegana, umara marak maripih, sor prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda.

05
Dahat denira aminta, sinupeket pangkat kanci, jroning alam palimunan,  ing pasaban saben sepi, sumanggem anjanggemi, ing karsa kang wus tinamtu, pamrihe mung aminta, supangate teki-teki, nora ketang teken janggut suku jaja.

06
Prajanjine abipraja, saturun-turun wuri, Mangkono trahing ngawirya, yen amasah mesu budi, dumadya glis dumugi, iya ing sakarsanipun, wong agung Ngeksiganda, nugrahane prapteng mangkin, trah tumerah darahe pada wibawa.

07
Ambawani tanah Jawa, kang padha jumeneng aji, satriya dibya sumbaga, tan lyan trahing Senapati, pan iku pantes ugi, tinelad labetanipun, ing sakuwasanira, enake lan jaman mangkin, sayektine tan bisa ngepleki kuna.

08
Luwung kalamun tinimbang, ngaurip tanpa prihatin, Nanging ta ing jaman mangkya, pra mudha kang den karemi, manulad nelad Nabi, nayakeng rad Gusti Rasul, anggung ginawe umbag, saben saba mapir masjid, ngajap-ajap mukjijat tibaning drajat.

09
Anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi, dalil dalaning ijemak, kiyase nora mikani, katungkul mungkul sami, bengkrakan neng masjid agung, kalamun maca kutbah, lelagone dhandhanggendhis, swara arum ngumandhang cengkok palaran.

10
Lamun sira paksa nulad, Tuladhaning Kangjeng Nabi, O, ngger kadohan panjangkah, wateke tak betah kaki, Rehne ta sira Jawi, satitik bae wus cukup, aja ngguru aleman, nelad kas ngepleki pekih, Lamun pungkuh pangangkah yekti karamat.

11
Nanging enak ngupa boga, rehne ta tinitah langip, apa ta suwiteng Nata, tani tanapi agrami, Mangkono mungguh mami, padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab, Jawaku bae tan ngenting, parandene pari peksa mulang putra.

12
Saking duk maksih taruna, sadhela wus anglakoni, aberag marang agama, maguru anggering kaji, sawadine tyas mami, banget wedine ing besuk, pranatan ngakir jaman, Tan tutug kaselak ngabdi, nora kober sembahyang gya tininggalan.

13
Marang ingkang asung pangan, yen kasuwen den dukani, abubrah bawur tyas ingwang, lir kiyamat saben hari, bot Allah apa gusti, tambuh-tambuh solah ingsun, lawas-lawas graita, rehne ta suta priyayi, yen mamriha dadi kaum temah nista.

14
Tuwin ketib suragama, pan ingsun nora winaris, angur baya angantepana, pranatan wajibing urip, lampahan angluluri, aluraning pra luluhur, kuna kumunanira, kongsi tumekeng semangkin, Kikisane tan lyan among ngupa boga.

15
Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering ngaurip, uripe tan tri prakara,  wirya, arta, tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara.

16
Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing Jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelangut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.

17
Mangkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben rikala mangsa,masah amemasuh budi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun, susila anor raga, wignya met tyasing sesame, yeku aran wong barek berag agama.

18
Ing jaman mengko pan ora, arahe para turami, yen antuk tuduh kang nyata, nora pisan den lakoni, banjur njujurken kapti, kakekne arsa winuruk, ngandelken gurunira, pandhitane praja sidik, tur wus manggon pamucunge mring makrifat.

PUPUH III

P U C U N G

01
Ngelmu iku, kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangkese dur angkara.

02
Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gogolonganira triloka, lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi rubeda.

03
Beda lamun, kang wus sengsem reh ngasamun, semune ngaksama, sasamane bangsa sisip, sarwa sareh saking mardi marto tama.

04
Taman limut, durgameng tyas kang weh limput, kereming karamat, karana karohaning sih, sihing Sukma ngreda sahardi gengira.

05
Yeku patut, tinulad-tulad tinurut, sapituduhira, aja kaya jaman mangkin, keh pramudha mundhi dhiri lapel makna.

06
Durung pecus,kesusu kaselak besus, amaknani lapal, kaya sayid weton Mesir, pendhak-pendhak angendhak gunaning janma.

07
Kang kadyeku, kalebu wong ngaku-aku, akale alangka, elok Jawane denmohi, paksa ngangkah langkah met kawruh ing Mekah.

08
Nora weruh, rosing rasa kang rinuruh, lumeketing angga, anggere padha marsudi, kana-kene kaanane nora beda.

09
Uger lugu, den ta mrih pralebdeng kalbu, yen kabul kabuka, ing drajat kajating urip, kaya kang wus winahyeng sekar srinata.

10
Basa ngelmu, mupakate lan panemu, pasahe lan tapa, yen satriya tanah Jawi, kuna-kuna kang ginilut triprakara.

11
Lila lamun, kelangan nora gegetun, trima yen kataman, sakserik sameng dumadi, trilegawa nalangsa srahing Batara.

12
Batara gung, inguger graning jajantung, jenak Hayang Wisesa, sana paseneten Suci, nora kaya si mudha mudhar angkara.

13
Nora uwus, kareme anguwus-uwus, uwose tan ana, mung janjine muring-muring, kaya buta-buteng betah nganiaya.

14
Sakeh luput,  ing angga tansah linimput, linimpet ing sabda, narka tan ana udani, lumuh ala ardane ginawe gada.

15
Durung punjul, ing kawruh kaselak jujul, kaseselan hawa, cupet kapepetan pamrih, tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa.

PUPUH IV

G A M B U H

01
Samengko ingsun tutur, sembah catur: supaya lumuntur, dihin: raga, cipta, jiwa, rasa, kaki, ing kono lamun tinemu, tandha nugrahaning Manon.

02
Sembah raga puniku, pakartine wong amagang laku, susucine asarana saking warih, kang wus lumrah limang wektu, wantu wataking wawaton.

03
Inguni-uni durung, sinarawung wulang kang sinerung, lagi iki bangsa kas ngetok-ken anggit, mintoken kawignyanipun, sarengate elok-elok.

04
Thithik kaya santri Dul, gajeg kaya santri brahi kidul, saurute Pacitan pinggir pasisir, ewon wong kang padha nggugu, anggere guru nyalemong.

05
Kasusu arsa weruh, cahyaning Hyang kinira yen karuh, ngarep-arep urup arsa den kurebi, Tan wruh kang mangkoko iku, akale keliru enggon.

06
Yen ta jaman rumuhun, tata titi tumrah tumaruntun, bangsa srengat tan winor lan laku batin, dadi ora gawe bingung, kang padha nembah Hyang Manon.

07
Lire sarengat iku, kena uga ingaranan laku, dihin ajeg kapindhone ataberi, pakolehe putraningsun, nyenyeger badan mwih kaot.

08
Wong seger badanipun, otot daging kulit balung sungsum, tumrah ing rah memarah antenging ati, antenging ati nunungku, angruwat ruweting batos.

09
Mangkono mungguh ingsun, ananging ta sarehne asnafun, beda-beda panduk panduming dumadi, sayektine nora jumbuh, tekad kang padha linakon.

10
Nanging ta paksa tutur, rehning tuwa tuwase mung catur, bok lumuntur lantaraning reh utami, sing sapa temen tinemu, nugraha geming Kaprabon.

11
Samengko sembah kalbu, yen lumintu uga dadi laku, laku agung kang kagungan Narapati, patitis tetesing kawruh, meruhi marang kang momong.

12
Sucine tanpa banyu, mung nyenyuda mring hardaning kalbu, pambukane tata, titi, ngati-ati, atetetp talaten atul, tuladhan marang waspaos.

13
Mring jatining pandulu, panduk ing ndon dedalan satuhu, lamun lugu leguting reh maligi, lageane tumalawung, wenganing alam kinaot.

14
Yen wus kambah kadyeku, sarat sareh saniskareng laku, kalakone saka eneng, ening, eling,  Ilanging rasa tumlawung, kono adile Hyang Manon.

15
Gagare ngunggar kayun, tan kayungyun mring ayuning kayun, bangsa anggit yen ginigit nora dadi, Marma den awas den emut, mring pamurunging lelakon.

16
Samengko kang tinutur, sembah katri kang sayekti katur, mring Hyang Sukma sukmanen sehari-hari, arahen dipun kecakup, sembah ing Jiwa sutengong.

17
Sayekti luwih prelu, ingaranan pepuntoning laku, kalakuan kang tumrap bangsaning batin, sucine lan Awas Emut, mring alame alam amot.

18
Ruktine ngangkah ngukut, ngiket ngrukut triloka kakukut, jagad agung gimulung lan jagad cilik, Den kandel kumandel kulup, mring kelaping alam kono.

19
Keleme mawa limut, kalamatan jroning alam kanyut, sanyatane iku kanyatan kaki, Sajatine yen tan emut, sayekti tan bisa awor.

20
Pamete saka luyut, sarwa sareh saliring panganyut, lamun yitna kayitnan kang mitayani, tarlen mung pribadinipun, kang katon tinonton kono.

21
Nging aywa salah surup, kono ana sajatining Urub, yeku urup pangarep uriping Budi, sumirat sirat narawung, kadya kartika katongton.

22
Yeku wenganing kalbu, kabukane kang wengku winengku, wewengkone wis kawengku neng sireki, nging sira uga kawengku, mring kang pindha kartika byor.

23
Samengko ingsun tutur, gantya sembah ingkang kaping catur, sembah Rasa karasa rosing dumadi, dadine wis tanpa tuduh, mung kalawan kasing Batos.

24
Kalamun durung lugu, aja pisan wani ngaku-aku, antuk siku kang mangkono iku kaki, kena uga wenang muluk, kalamun wus pada melok.

25
Meloke ujar iku, yen wus ilang sumelang ing kalbu, amung kandel kumandel ngandel mring takdir, iku den awas den emut, den memet yen arsa momot.

26
Pamoring ujar iku, kudu santosa ing budi teguh, sarta sabar tawekal legaweng ati, trima lila ambeh sadu, weruh wekasing dumados.

27
Sabarang tindak-tanduk, tumindake lan sakadaripun, den ngaksama kasisipaning sesami, sumimpanga ing laku dur, hardaning budi kang ngrodon.

28
Dadya wruh iya dudu, yeku minangka pandaming kalbu, inkang buka ing kijab bullah agaib, sesengkeran kang sinerung, dumunung telenging batos.

29
Rasaning urip iku krana momor pamoring sawujud, wujuddullah sumrambah ngalam sakalir, lir manis kalawan madu, endi arane ing kono.

30
Endi manis endi madu, yen wis bisa nuksmeng pasang semu, pasamaoning hebing kang Maha Suci, kasikep ing tyas kacakup, kasat mata lair batos.

31
Ing batin tan keliru, kedhap kilap liniling ing kalbu, kang minangka colok celaking Hyang Widi, widadaning budi sadu, pandak panduking liru nggon.

32
Nggonira mrih tulus, kalaksitaning reh kang rinuruh, ngayanira mrih wikal, warananing gaib, paranta lamun tan weruh, sasmita jatining endhog.

33
Putih lan kuningpun, lamun arsa titah teka mangsul, dene nora mantra-mantra yen ing lair, bisa aliru wujud, kadadeyane ing kono.

34
Istingarah tan metu, lawan istingarah tan lumebu, dene ing njro wekasane dadi njawi, raksana kang tuwajuh, aja kongsi kabasturon.

35
Karana yen kebanjur, kajantaka tumekeng saumur, tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi, dadi wong ina tan wruh, dhewekw den anggep dhayoh.

PUPUH V

K I N A N T H I
01
Mangka kantining tumuwuh, salami mung awas eling, eling lukitaning alam, wedi weryaning dumadi, supadi niring sangsaya, yeku pangreksaning urip.

02
Marma den taberi kulup, angulah lantiping ati, rina wengi den anedya, pandak-panduking pambudi, bengkas kahardaning driya, supadya dadya utami.

03
Pangasahe sepi samun, aywa esah ing salami, samangsa wis kawistara, lalandhepe mingis-mingis, pasah wukir reksa muka, kekes srabedaning budi.

04
Dene awas tegesipun, weruh warananing urip, miwah wisesaning tunggal, kang atunggil rina wengi, kang mukitan ing sakarsa, gumelar ngalam sakalir.

05
Aywa sembrana ing kalbu, wawasen wuwus sireki, ing kono yekti karasa, dudu ucape pribadi, marma den sembadeng sedya, wewesen praptaning uwis.

06
Sirnakna semanging kalbu, den waspada ing pangeksi, yeku dalaning kasidan, sinuda saka satitik, pamotahing nafsu hawa, jinalantih mamrih titih.

07
Aywa mamatuh malutuh, tanpa tuwas tanpa kasil, kasalibuk ing srabeda, marma dipun ngati-ati, urip keh rencananira, sambekala den kaliling.

08
Upamane wong lumaku, marga gawat den liwati, lamun kurang ing pangarah, sayekti karendet ing ri, apese kasandhung padhas, babak bundhas anemahi.

09
Lumrah bae yen kadyeku, atetamba yen wis bucik, duwea kawruh sabodag, yen ta nartani ing kapti, dadi kawruhe kinarya, ngupaya kasil lan melik.

10
Meloke yen arsa muluk, muluk ujare lir wali, wola-wali nora nyata, anggepe pandhita luwih, kaluwihane tan ana, kabeh tandha-tandha sepi.

11
Kawruhe mung ana wuwus, wuwuse gumaib baib, kasliring titik tan kena, mancereng alise gatik, apa pandhita antige, kang mangkono iku kaki.

12
Mangka ta kang aran laku, lakune ngelmu sajati, tan dahwen pati openan, tan panasten nora jail, tan njurungi ing kaardan, amung eneng mamrih ening.

13
Kunanging budi luhung, bangkit ajur ajer kaki, yen mangkono bakal cikal, thukul wijining utami, nadyan bener kawruhira, yen ana kang nyulayani.

14
Tur kang nyulayani iku, wus wruh yen kawruhe nempil, nanging laire angalah, katingala angemori, mung ngenaki tyasing liyan, aywa esak aywa serik.

15
Yeku ilapating wahyu, yen yuwana ing salami, marga wimbuh ing nugraha, saking heb kang Maha Suci, cinancang pucuking cipta, nora ucul-ucul kaki.

16
Mangkono ingkang tinamtu, tampa nugrahaning Widhi, marma ta kulup den bisa, mbusuki ujaring janmi, pakoleh lair batinnya, iyeku budi premati.

17
Pantes tinulad tinurut, laladane mrih utami, utama kembanging mulya, kamulyaning jiwa dhiri, ora yen ta ngeplekana, lir leluhur nguni-uni.

18
Ananging ta kudu-kudu, sakadarira pribadi, aywa tinggal tutuladan, lamun tan mangkono kaki, yekti tuna ing tumitah, poma kaestokna kaki.

Thursday, September 15, 2011

Ajaran Kepemimpinan Gajah Mada

Gajah Mada merupakan mahapatih terkenal di era kerajaan Majapahit. Dalam hal kepemimpinan Gajah Mada memiliki ajaran yang disebut Asta Dasa Berata Pramiteng Prabu. Arti kata Asta Dasa Berata Pramiteng Prabu adalah

* Asta Dasa artinya 18 (delapan belas).
* Berata artinya pengendalian diri yang merupakan kewajiban pokok seorang pemimpin.
* Pramiteng Prabu artinya Raja (Kepala Negara).

Jadi secara keseluruhan arti dari ajaran Asta Dasa Berata Pramiteng Prabu yaitu 18 (delapan belas) kewajiban pokok pengendalian diri seorang pemimpin.

Asta Dasa Berata Pramiteng Prabu Ajaran Kepemimpinan Gajah Mada Tokoh Gajah Mada begitu dikagumi, sehingga terbentuk berbagai mitos tentang dirinya. Gajah Mada dianggap sebagai Keturunan Dewa Brahma. Ia digambarkan memiliki kesempurnaan diri yang mampu memasukkan dewa-dewa kahyangan ke dalam tubuhnya.

Sumber ajaran kepemimpinan Asta Berata ini adalah Kitab Manawa Dharma Sastera. Demikian juga Gajah Mada disebutkan mampu tampil sebagai Dewa asmara yang tampan, cemerlang dan jaya yaitu :
(1) Tokoh yang pada mulanya datar, namun dapat membuat kejutan dengan menunjukkan sifat-sifatnya yang tidak terpuji, misalnya dalam menghadapi Kebo Wawira (Kebo Iwa)
(2) Jaya secara lahiriah, ialah sebagai pencetus gagasan-gagasan yang dapat mengantarkannya mencapai kedudukan yang tinggi sebagai Mahapatih kerajaan Majapahit
(3) Kejayaan dalam pemikirannya didapat berkat keturunannya yang agung dan juga karena bakti, ketaatan dan kesetiaannya pada mereka yang diabdinya, terutama raja
(4) kejayaan batin didapat berkat sifat-sifat tersebut di atas pada guru agama dan pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab agama sebagai persiapan menuju Moksa (rohani dan jasmani langsung ke Sorga Loka). Gajah Mada adalah sosok orang Indonesia berdarah rakyat, meskipun ditulisnya juga bahwa kepercayaan orang Bali, Gajah Mada adalah penjelmaan Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) ke atas dunia.

Menurut ajaran tersebut seorang pemimpin hendaknya :

1) Rajin sembahyang, meditasi atau samadhi.
Digambarkan bahwa sejak anak-anak, Gajah Mada suka sembahyang atau meditasi. Meditasi sering dilakukan malam hari dan sering mendapatkan vision (penglihatan) dewata yakni mendapat petunjuk dari dewa Brahma.

2) Menjadi pelopor dan memiliki wawasan ke depan.
Gajah Mada selalu menjadi pelopor dan mengambil inisiatif yang pertama serta bekerja keras diantara teman-teman sebayanya.

3) Mampu memberi semangat dalam kerja keras dan berat, terutama dalam memajukan sistem pertanian.
Gajah Mada mampu memotivasi sesamanya. Kharismanya tampak sejak anak-anak, kemana Gajah Mada pergi diikuti oleh teman-teman sebayanya.

4) Ahli memimpin, termasuk memimpin sidang, hatinya terbuka dan kata-katanya manis bagai air kehidupan.
Dalam berbagai kesempatan Gajah Mada digambarkan dapat memimpin sidang, memiliki keterbukaan dan memimpin yang memberikan kesejukan kepada bawahannya.

5) Mampu menarik simpati, cerdas dan kreatif. Hal ini tampak ketika Gajah Mada pertama kali mengabdikan dirinya di istana maha patih yang sudah mulai tua yang bernama Arya Tadah, dan kemudian dia dikawinkan dengan putrinya yang bernama Dyah Bebed. Kecerdasan Gajah Mada tampak pula ketika ia ingin mengetahui wajah asli raja Bedahulu dengan cara minta dijamu sayur pakis yang utuh sedepa panjangnya, lauk pauknya setumpuk usus ayam, minumnya satu bumbung legen, ia bersedia makan dihadapan raja. Dengan cara demikian itu Gajah Mada akan mudah melihat wajah raja Bali pada saat itu, dan raja tidak boleh membunuh utusan raja Majapahit ini, apalagi yang bersangkutan sedang menikmati makanan.

6) Sopan dan ramah. Gajah Mada sangat sopan dan ramah ketika ia ditanya oleh Kebo Wawira (Kebo Iwa) dan Pasung Grigis tentang maksud kedatangannya ke Bali. Gajah Mada diutus oleh raja Jawa yang mempunyai putri yang sangat cantik, tiada duanya di Wilatikta, dan memuji Kebo Wawira (Kebo Iwa) supaya bersedia mengawini putri Jawa tersebut. Karena penampilannya yang sopan dan ramah, akhirnya Kebo Wawira (Kebo Iwa) berhasil ditipu oleh Gajah Mada.

7) Senantiasa menuntut ilmu pengetahuan, tidak mementingkan kesukaan duniawi, mempelajari kitab suci, dan melaksanakan upacara yadnya.

8) Senantiasa melindungi warga dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, menegakkan keadilan.

9) Seorang pemimpin hendaknya gagah berani, bertanggung jawab, dan tangguh dalam menghadapi berbagai masalah, tunduk kepada aturan (hukum). Tidak menghina rakyat jelata, dan tidak menjilat kepada penguasa (atasan).

10) Menghormati orang bijaksana, menghargai para pahlawan, dan senantiasa melakukan tapabrata dan semadhi.

Ajaran Asta Dasa Berata Pramiteng Prabu antara lain

1. Wijaya: bersikap tenang dan bijaksana.
2. Matri Wira: berani membela yang benar.
3. Natanggwan: mendapat kepercayaan rakyat,
4. Satya bhakti a prabhu: taat kepada pemimpin/pemerintah.
5. Wagmi wak: pandai bericara dan meyakinkan pendengar.
6. Wicak saneng naya: cerdik menggunakan pikiran.
7. Sarja wopasana: selalu bersikap rendah hati.
8. Dirotsaha: rajin dan tekun bekerja.
9. Tan satresna: Tidak terikat pada satu golongan atau persoalan.
10. Masihi semesta Buwana: bersikap kasih sayang kepada semuanya.
11. Sih Semesta buwana: dikasihi oleh semuanya
12. Negara Ginang Pratidnya: selalu mengabdi dan mendahulukan kepentingan negara.
13. Dibya cita; toleran terhadap pendirian orang lain.
14. Sumantri; tegas dan jujur.
15. Anayaken musuh; selalu dapat memperdaya musuh.
16. Waspada Pubha wisesa; waspada selalu/introspeksi.
17. Ambeg Paramartha; pandai mendahulukan hal-hal yang lebih penting.
18. Prasaja; hiduplah sederhana.(Ahmad Prajoko)

Wednesday, July 20, 2011

Hakekat Hidup A-I-U

Dalam kitab suci manapun telah disebutkan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mengalami mati. Demikian pula dalam kitab suci Al Qur'an. Kematian merupakan suatu hal yang wajib bagi makhluk yang ada di dunia ini. Setiap insan pun akan mengalami kematian. Kematian yang disini adalah kematian jasad (secara raga).

Namun hakekatnya, setiap makhluk hidup tidak akan pernah mengalami kematian. Bahkan Syekh Siti Jenar telah mengajarkan hakekat dari zikir A-I-U. Apa arti dari A-I-U? A-I-U memiliki arti "AKU IKI URIP" (Aku Ini Hidup).

Meskipun hanya tiga huruf A-I-U, namun memiliki arti yang cukup dalam. Pasalnya, pada hakekatnya setiap makhluk yang telah mati, maka hanya kehilangan jasadnya saja. Namun rohnya tetap hidup untuk selamanya. Ia akan mengalami pengembaraan hingga akhirnya menghadap GUSTI ALLAH.

Tetapi proses untuk kembali pada GUSTI ALLAH itu tidak semudah yang dibayangkan. Seseorang yang telah meninggal dunia, maka ia hanya kehilangan raganya. Setelah itu orang tersebut akan melakukan perjalanan untuk menuju ke GUSTI ALLAH. Rintangan dan halangan untuk menghadap GUSTI ALLAH sangatlah banyak sebelum mencapai haribaan GUSTI ALLAH atau yang di dalam Islam disebut 'Inna lillahi Wa Innailaihi

Rojiun' (dari ALLAH kita berasal dan akan kembali ke ALLAH).  Dalam perjalanan tersebut tidak ada lagi materi, jadi tidak mungkin kita mendapatkan kemudahan dengan menyogok seperti yang kita lakukan di
dunia. Semuanya serba murni dari hasil perbuatan kita selama kita di dunia. Nah, A-I-U adalah simbol bahwa manusia meskipun mati karena sakit atau dibunuh, maka hanyalah kehilangan jasad semata.

Orang Jawa pasti sering mendengar kalimat "Urip Iku Ibarat Wong Mampir Ngombe". Nah, dalam kalimat itu kita disuruh untuk memahami dan belajar bahwa sebelumnya kita pernah hidup, dan ketika kita hidup di dunia maka kita hakekatnya adalah beristirahat sebentar.

Oleh karena itu, Syekh Siti Jenar mengajarkan bahwa hakekatnya orang hidup di dunia itu sebenarnya adalah mati. Setelah mati, maka hakekatnya kita melanjutkan perjalanan dan disebut oleh Syekh Siti Jenar bahwa manusia akan mengalami hidup yang sejati setelah proses kematiannya.

Sunday, June 26, 2011

Memahami Sosok Pandawa & Kurawa di Tubuh Manusia

Pernahkah Anda mendengar nama Pendawa Lima? Sesuai dengan namanya, maka sosok Pendawa juga berjumlah 5 orang. Mereka adalah Yudhistira, Bima/Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Bagi para pelaku spiritual, umumnya sudah mengetahui adanya jagad ageng (alam semesta) dan jagad alit (yang ada dalam tubuh manusia). Bahkan bagi pelaku spiritual juga sudah memahami bahwa dalam jagad alit tersebut juga terdapat jagad ageng. Biasanya pengenalan itu berlanjut dengan menggulung jagad ageng ke dalam jagad alit.

Nah, berkaitan dengan menggulung jagad ageng ke dalam jagad alit, maka para pelaku spiritual juga akan memahami bahwa sosok-sosok pendawa lima yang disebutkan di atas juga terdapat dalam tubuh kita. Bisa juga diartikan bahwa Pendawa lima merupakan simbol yang diberikan GUSTI ALLAH pada manusia. Bahkan setiap manusia memiliki Pendawa Lima di dalam tubuh mereka masing-masing. Dimanakah posisi sosok-sosok Pandawa Lima itu dalam tubuh manusia?

Yudhistira - sebagai pemimpin Pandawa - adalah merupakan simbol dari OTAK manusia. Dapat diartikan bahwa manusia itu dipimpin oleh otaknya. Jika ingin hidup tenang dan mulia maka pergunakanlah otak kita untuk berpikir dan mencapai derajad ketenangan dalam hidup.

Bima/Werkudara - sosok kedua Pandawa - adalah sosok yang tinggi besar dan penuh keberanian. Sosok Bima tersebut merupakan simbol dari MATA manusia. Apabila seseorang memandang orang lain dengan tajam, maka ia akan tampak lebih berani menghadapi kehidupan ini. Siapa orang yang nggak merasa takut jika kita dipelototi oleh orang lain?

Arjuna - Sosok Arjuna juga dikenal sebagai sosok penengah Pandawa. Dimana lokasi Arjuna dalam tubuh manusia? Arjuna dikenal sangat gemar untuk bertapa, menyendiri, bersamadhi. Ia senantiasa rajin untuk mengheningkan ciptanya di hutan-hutan belantara. Nah, sosok Arjuna tersebut juga ada dalam diri tepatnya di HATI KECIL setiap manusia atau yang umum disebut hati nurani. Manusia diharapkan untuk senantiasa mendengarkan hati kecilnya guna memahami kebenaran dalam hidup ini. Hati kecil manusia tidak pernah berbohong. Ia akan senantiasa mengatakan sejujurnya seperti perilaku Arjuna.

Nakula dan Sadewa - adalah sosok Pandawa yang kembar. Hal itu adalah merupakan simbol dari kembarnya BUAH ZAKAR (pelir) manusia laki-laki dan INDUNG TELUR bagi perempuan. Tanpa adanya buah zakar maka manusia tidak akan pernah bisa membuahi pasangannya guna memiliki keturunan. Buah Zakar sangat penting untuk menyebarkan benih-benih keturunan manusia.

Timbul pertanyaan, jika sosok-sosok Pandawa Lima dapat disimbolkan dalam tubuh manusia, bagaimana dengan sosok Kurawa?

Seperti diketahui Kurawa adalah berjumlah 100 orang. Sosok Kurawa tersebut dikenal sebagai sosok yang bersifat negatif. Mereka suka menghasut, menimbulkan kebencian, menciptakan rasa iri dan dengki dan lain-lain yang memiliki sifat negatif. Dimanakah sosok-sosok Kurawa tersebut dalam tubuh manusia? Sosok Kurawa itu berada dalam HATI BESAR manusia. Hati besar manusia senantiasa dipenuhi dengan sifat-sifat negatif dan hawa nafsu yang senantiasa membuat kerusakan.

Nah, dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan, bagaimana manusia bisa menonjol sifat-sifat negatif dalam diri mereka, karena HATI KECIL sebagai tempat Arjuna harus berperang melawan HATI BESAR sebagai tempat Kurawa. Oleh karena itu, manusia kebanyakan lebih suka mendengarkan hati besarnya saja karena hati kecil hanya ada satu orang yaitu Arjuna yang harus menghadapi sosok 100 orang Kurawa.

Tuesday, June 7, 2011

Tiga Hukum 'Ojo' untuk Dekati GUSTI ALLAH

Sebelumnya telah kita bahas tentang cara mencapai titik nol. Setelah titik nol tercapai, maka berlakulah sebuah hukum yang tidak tertulis. Sebuah hukum antara si pendaki spiritual dengan GUSTI ALLAH. Hukum tersebut ada tiga yaitu

1. Ojo Rumongso (Jangan Merasa)
2. Ojo Kepingin (Jangan Kepingin)
3. Ojo Diakoni (Jangan Diakui)

Ketiga hukum yang tidak tertulis tersebut memang selintas tampak mudah untuk dipahami dan dilakukan. Tapi kenyataannya hal itu sangatlah sulit untuk dipraktekkan.

* Ojo Rumongso (Jangan Merasa)

Sekiranya para pendaki spiritual tersebut sudah mampu untuk mencapai titik nol, maka setidaknya ia harus melepaskan segala rasa rumongso. Diantara rasa rumongso yang muncul adalah rumongso biso (merasa bisa), rumongso duwe (merasa punya) dan segala macam rumongso yang tumbuh dalam hatinya. Artinya, para pendaki spiritual tidak memiliki kemampuan apa-apa selain semuanya dari GUSTI ALLAH semata.

* Ojo Kepingin (Jangan Kepingin)

Setelah membuang rasa rumongso yang ada dalam hatinya, maka hukum kedua pun juga harus dilakukan yaitu ojo kepingin (jangan kepingin). Kepingin di sini adalah keinginan seorang pendaki spiritual untuk kepingin mendapatkan kesaktian, ilmu kebal, atau ilmu-ilmu lainnya dan puncaknya adalah keinginan untuk segera bertemu dengan GUSTI ALLAH. Kenapa tidak boleh kepingin? Karena jika seorang pendaki spiritual sudah mampu menghilangkan rasa kepingin yang ada dalam hatinya, maka GUSTI ALLAH pribadi yang akan menuntun orang tersebut untuk mendapatkan yang terbaik.

* Ojo Diakoni (Jangan Diakui)

Yang ketiga adalah Ojo Diakoni (Jangan diakui). Para pendaki spiritual pantang untuk mengakui bahwa hal aneh dan ganjil yang sudah terjadi pada dirinya adalah karena kemampuannya. Kalaupun mendapatkan sesuatu dalam olah batinnya, maka hal itupun juga pantang untuk diakui. Bukankah, harta benda yang kita miliki pun juga bukan milik kita? Semuanya adalah titipan dan pantang untuk diakui sebagai milik kita. Bahkan anak dan istri kita pun juga bukan milik kita? Kalau GUSTI ALLAH menghendaki untuk mengambilnya, kita tidak akan bisa berbuat apa-apa.