Google

Thursday, December 27, 2018

Mencermati Kematian dari Tembang Jawa


SETIAP manusia akan menemui ajal dan kematian. Bagi orang yang beragama apapun harus mempersiapkan kematian. Demikian juga dengan orang Jawa yang berpaham Kejawen, ajal dan kematian itu sudah harus dipersiapkan semasa kita hidup di alam dunia ini.

Orang Jawa yang berpaham Kejawen sudah mempelajarinya lewat tembang tembang yang menceritakan tentang kematian. Dari tembang-tembang tersebut, orang Jawa dituntut untuk memahami sangkan paraning dumadi (asal muasal manusia dan kemanakah manusia itu akan pergi setelah mati).

Berikut ini adalah tembang-tembang Jawa yang memberikan tuntunan bagi Orang Jawa untuk mengetahui kemana tujuan akhir hayatnya nanti setelah mengalami kematian.

...
c.parentNode.insertBefore(cp, c); })();


Kawruhana
Mengertilah
Dununge wong urip pun niki
Letak hidup manusia ini
lamun mbenjang yen wus palastra
besok ketika sudah meninggal
wong mati ngendi parane
orang mati kemana perginya
umpamakno peksi mabur 
umpamanya burung terbang
mesak saking kurunganipun
keluar dari sangkarnya
jiwa ninggalke raga
jiwa meninggalkan raga
bali marang Hyang Agung 
kembali ke Tuhan
Umpamakno wong lungo sonja
umpamanya orang pergi berkunjung
Jang sinanjang wong lungo sonja wajibe mulih
saling mengunjungi orang berkunjung wajibnya pulang 
mulih ning ngisor kamboja. 
pulang ke bawah pohon kamboja

Urip iku ning donya tan lami
hidup ini di dunia tidak lama
umpamane jebeng menyang pasar
seumpama anda pergi ke pasar
tan langgeng ning pasar wae
tidak mungkin selamanya di pasar saja
tan wurung bakal mantuk
nantinya bakal pulang
mring wismane sangkane nguni
ke rumah tempat asal kita
ing mengko aja samar, sangkan paranipun
nanti janganlah samar, asal dan kemana kita pergi
ing mengko podo weruha, 
nanti sama-sama ketahuilah
yen asale sangkan paran duk ing nguni
asal sangkan paran dulunya
aja nganti kesasar
jangan sampai tersesat

yen kongsiho, 
mengertilah
sasar jeroning pati
tersesat di alam kematian
dadya tiwas uripe kesasar
akhirnya hidupnya di alam kematian tersesat
tanpa penclokan sukmane
tiada tempat hinggap sukmanya
sak paran-paran nglangut
ke mana-mana bingung
kadya mega katut ing angin
seperti mega yang tertiup angin
wekasan dadi udan
akhirnya jadi hujan
mulih marang banyu
kembali menjadi air
dadi bali muting wadag
jadi kembali menemukan badan kasar
ing wajibe sukma tan kena ing pati
padahal kewajiban sukma itu tidak tersentuh kematian
langgeng donya akherat
langgeng dari dunia hingga akhirat(*)

Monday, October 22, 2018

Mencari GUSTI ALLAH Lewat Sanepan

KEHIDUPAN spiritual orang Jawa tidak terlepas dari Sanepan (perumpamaan). Namun dalam sanepan tersebut terdapat makna-makna yang dalam yang umumnya disamarkan sehingga tidak mudah untuk dimengerti oleh masyarakat secara umum.

Biasanya untuk memahami keberadaan GUSTI ALLAH, orang Jawa akan menggunakan sanepan untuk menyamarkan pesan yang akan disampaikan sehingga tidak akan tampak vulgar.

Ada beberapa sanepan yang perlu diketahui oleh para pendaki spiritual guna memahami GUSTI ALLAH. Sanepan-sanepan itu antara lain:

1. Golekana Tapak e Kuntul Mabur
2. Golekana Kayu Gung Susuhing Angin
3. Golekana Galihing Kangkung

Golekana Tapak e Kuntul Mabur

Kuntul atau bangau jika terbang maka akan sulit untuk melihat tapak kakinya. Hal itu sejatinya mengesankan bahwa GUSTI ALLAH itu ada namun kita tidak bisa melihatnya. Begitulah orang Jawa begitu halus 'membungkus' keberadaan GUSTI ALLAH dan tidak menerangkannya secara gamblang.

Golekana Kayu Gung Susuhing Angin

Sejatinya, makna kata 'Kayu' berarti 'karep' atau keinginan. 'Gung' berarti besar. Sedangkan 'Susuhing Angin' adalah nafas manusia. Kalau sanepan itu dirangkum, maka memiliki arti yang bermakna: Keinginan yang kuat atau besar hanya bisa terkabul jika mampu menguasai nafas.

Golekana Galihing Kangkung 

Dalam arti biasa ini berarti kita harus mencari apa inti atau tengah tengah dari sebuah tanaman kangkung, padahal seperti yang kita tahu bahwa tanaman kangkung itu sendiri pada saat kita belah menjadi dua maka kita akan melihat bahwa sama sekali tiada tengahnya, yang ada adalah rongga kosong seperti bilah bambu yang kita pecah/belah menjadi dua.

Trus apa makna kata kata diatas? Karena kita tau tidak ada isi ditengah-tengah batang tanaman kangkung itu sendiri.

Nah dalam filosofi Jawa GOLEKONO GALIHING KANGKUNG memuat makna bahwa semua itu berawal dari kosong dan akan menjadi kosong pula, begitu juga manusia, dulu kita gak pernah ada karena kita masih di alam SUWUNG kemudian kita dilahirkan besar dewasa dan mati kita akan kembali ke alam SUWUNG itu sendiri.

Karena pada saat kita bertanya siapa GUSTI ALLAH itu? Ya kita bisa jawab GUSTI ALLAH adalah kekosongan itu sendiri, padahal dalam kekosongan itu GUSTI ALLAH berkarya dalam menciptakan segalanya.(*)

RAHAYU SAGUNG DUMADI

Jadi Bodoh di Depan GUSTI ALLAH

KEBERADAAN dunia ini dibagi menjadi 2. Yaitu alam dunia tempat kita hidup saat ini dan alam spiritual, tempat kita menggapai Kawruh untuk bisa menghadap dan menyembah Sang Pencipta. 

Simbol kehidupan di alam dunia adalah segitiga. Mengapa demikian, coba lihat sebuah segitiga. Segitiga dimulai dari bentuk bawah yang lebar kemudian semakin lama ke atas kian menyempit. Apa hubungannya antara segitiga dengan kehidupan dunia?

Dalam hal ilmu, bagian bawah segitiga yang cenderung lebar merupakan simbol dari ilmu dunia. Contoh, jika kita mempelajari ilmu marketing, maka ada beberapa ilmu tentang marketing yang harus dipelajari, seperti ilmu mempelajari produk yang akan dijual, mengetahui pangsa pasar yang menjadi target pemasaran produk tersebut, mempelajari kelebihan dan kekurangan dari produk yang akan dijual, mempelajari tehnik marketing untuk menjual produk tersebut dan lain sebagainya.

Artinya, untuk bisa menguasai ilmu marketing yang merupakan ilmu dunia itu, maka banyak hal yang perlu kita pelajari karena kita semula tidak memahaminya, ibarat bagian bawah segitiga yang lebar. Tetapi setelah kita memahami dan menguasai ilmu tentang marketing, maka bisa diibaratkan kita sudah berada di pucuk atas dari segitiga. Kalau kita sudah berada di pucuk atas segitiga, maka kita sudah menjadi ahli dan pakar dalam bidang marketing.

Kawruh di Alam Spiritual

Berbeda dengan ilmu nyata di alam dunia, alam spiritual bak segitiga terbalik. Untuk mengetahui Kawruh di alam spiritual, maka kita memulainya dari titik yang berada di bawah. Semakin lama ke atas, maka akan semakin melebar. Artinya, Kawruh spiritual yang kita pelajari akan semakin luas. Dan kita tidak akan bisa disebut semakin pintar dalam hal spiritual. Semakin ke atas, maka kita akan semakin bodoh.

Artinya, jika kita berniat untuk mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH, maka kita tidak bisa disebut pintar. Semakin dekat pada GUSTI ALLAH maka manusia akan semakin merasa bodoh dan tak bisa apa-apa. Semakin mendekat pada GUSTI ALLAH, maka manusia tidak memiliki kesaktian apa-apa. Kembali menjadi manusia yang bodoh dan hanya mengandalkan anugerah dan perlindungan dari GUSTI ALLAH.(*)


RAHAYU SAGUNG DUMADI

Wednesday, August 8, 2018

Kiat Memilih Teman Ala Kejawen


DALAM  Kawruh Kejawen, manungso Jawa diingatkan untuk hati-hati dalam memilih teman. Kenapa harus hati-hati? Sebab teman itu akan bisa mempengaruhi kemana arah tujuan hidup kita.

Dalam beberapa literatur sastra Jawa telah disebutkan bagaimana cara untuk memilih teman. Seperti halnya dalam tembang yang berbunyi:

Nadyan silih bapa biyung kaki nini
sadulur myang sanak
kalamun muruk tan becik
nora pantes yen den nuta
aja sira niru tindak kang tan becik
sanadyan wong liya
lamun pamuruke becik
miwah ing tindak prayoga
iku pantaes yen sira tirua kaki
miwah biyung bapa
amuruk watek kang becik...
kaki iku estokena

Bait-bait sastra Jawa tersebut cenderung sederhana. Tetapi memiliki makna yang amat dalam, dimana kita manusia diajari untuk senantiasa memilih teman yang mengajak kearah kebaikan. Dengan berbuat kebaikan, maka kita akan membuat bumi tempat kita berpijak ini sebagai bumi yang tentram.(*)

R A H A Y U Sagung Dumadi

Tuesday, July 24, 2018

WARISAN LELUHUR JAWA


INGIN memiliki dan menguasai ilmu leluhur Jawa tidaklah sebatas katanya. Artinya harus berani dan bersunģguh-sungguh telaten, jujur, sabar tekun serta kuat cobaan dan gunjingan dari orang kanan kiri serta harus taat pada hukum pemerintah.

Ilmu warisan leluhur Jawa apabila ingin memgambil intisari kesempurnaannya sangatlah sulit, dari kesemuanya tidaklah gratis alias harus ada tebusannya diantaranya membakar dupa sesajian dan transportasi yg membutuhkan uang, namun jangan khawatir apabila kita telah menguasai dan mumpuni ilmu Jawa kelak kita akan dimudahkan dalam segala hal berkaitan dengan hidup, khususnya rejeki.

Diantara hal yang berkaitan dengan warisan leluhur Jawa adalah aksara atau huruf-huruf Jawa. Kini di pendidikan formal, pelajaran untuk memperdalam aksara Jawa sendiri sudah mulai terkikis. Dianggapnya pelajaran aksara Jawa itu sendiri sudah tidak begitu penting.

Hal itulah yang membuat budaya Jawa menjadi terkikis sedikit demi sedikit. Generasi muda Jawa sudah tidak lagi mengenal aksara Jawa yang menjadi budaya nenek moyang mereka. Inilah yang membuat munculnya kata-kata "Hera Heru...Wong Jowo Kari Separo, Cino Londo Kari Sajodo".

Kata-kata tersebut mengandung arti yang sangat dalam. "Wong Jowo Kari Separo" artinya, generasi muda Jawa sudah tidak lagi mempedulikan budayanya dan tidak sudi untuk belajar budaya dan sastra Jawa. Alhasil, jumlah yang mau belajar budaya dan sastra Jawa tinggal sedikit dan diibaratkan "Wong Jowo Kari Separo".

Sementara "Cino Londo Kari Sajodo" juga memiliki arti yang sangat mendalam. Artinya, warga negara asing kini cenderung lebih mempelajari dan memperdalam budaya Jawa yang perlahan-lahan sudah ditinggalkan generasi muda Jawa sendiri. Padahal seharusnya, budaya dan sastra Jawa tersebut harus dijaga dan dipelajari oleh generasi muda Jawa sehingga bisa lestari, karena budaya dan sastra Jawa tersebut merupakan warisan dari leluhur Jawa dulu.

Sangat tragis! dan mengenaskan karena Wong Jowo sendiri harus tidak tahu budaya dan sastranya sendiri, sementara warga negara manca lebih memperdalam budaya dan sastra Jawa.(*) 

PERADABAN SPIRITUAL JAWA

KODRAT masyarakat penghuni pulau Jawa sejak jaman dahulu kala terlahir sebagai manusia yg gemar lelaku spiritual kerohanian yg ditandai banyaknya situs-situs candi tempat peribadatan yg megah yg tersebar dari ujung timur sampai barat pulau Jawa.

Kegemaran masyarakat Jawa tentang lelaku spiritual terbacalah oleh orang-orang manca dan sejak saat datangnya para holigan manca yg ingin mencari keuntungan tentang kegemaran masyarakat Jawa maka mulailah mereka menjajakan dagangan perjalanan spiritual yg mengiurkan untuk menambah pundi-pundi devisa negara.

Ke surga tak perlu jauh-jauh dan bermahal-mahal, tanah jawa adalah tanah Jawata

Samengko ingsun tutur, sembah catur supaya lumuntur, dhihin raga cipta jiwa rasa kaki, ing kono lamun tinemu, tanda nugrahaning manon.

Samengko sembah kalbu, yen lumintu uga dadi laku, laku agung kang kagungan narapati, patitis tetesing kawruh, meruhi marang kang momong.

Sucine tanpa banyu, mung nyunyuda mring hardaning kalbu, pambukane tata titi ngati-ati, atetep telaten atul, tuladan marang waspaos.

Mring jatining pandulu, panduk ing ndon dedalan satuhu, lamun lugu legutaning reh maligi, lageane tumalawung, wenganing alam kinaot.(PANDI NAYUHAN)