Google

Saturday, April 3, 2010

Memahami Kawruh Jiwa


Jika berbicara mengenai Kawruh Jiwa yang merupakan wejangan dari Ki Ageng Suryomentaram, maka kita diajak untuk mempelajari tentang hal-hal yang berkaitan dengan diri sendiri. Kawruh Jiwa juga disebut juga "Pangawikan Pribadi" atau pengetahuan tentang diri sendiri. Artinya, ketika kita berbicara tentang Kawruh Jiwa maka kita tidak berbicara tentang segala sesuatu yang berada di luar diri kita.

Kawruh Jiwa ini juga mengikuti hukum alam jiwa atau rasa. Ki Ageng Suryomentaram menyebutnya 'ilmu alam bab raos'.

Contoh: Kalau orang keinginannya tercapai maka akan senang dan kalau keinginan tidak tercapai orang akan susah. Demikian seterusnya sehingga selamanya orang itu senang-susah silih berganti (langgeng bungah susah).

Berikut ini penuturan Ki Ageng Suryomentaram sendiri:

Pada suatu waktu, tatkala saya pulang bepergian, saya menjumpai anak perempuan saya sedang cekcok dengan ibunya. Melihat kedatangan saya, istri saya segera menyerang dengan omelan, "Lihatlah anakmu ini, ia menolak perintahku untuk mencari pinjaman uang. Tabiatnya ini ialah hasil didikanmu, sehingga sukar
diperintah. Sekarang silakan kamu menasehatinya. Gunakanlah ilmumu, manusia tanpa ciri atau Kramadangsa! Kuingin mengetahui khasiatnya"

Sudah tentu, karena dimarahi, saya lalu membalas marah. Pada saat itu saya sedang berada di jalan simpang tiga, yaitu saya, si Suryomentaram atau "kramadangsa" marah, sebab dimarahi oleh orang lain. Bila kemarahan itu tidak saya ketahui, saya tidak dapat melihat rasa anak dan istri saya. Maka, ketika saya melihat marah saya, saya lalu menelitinya sampai tuntas. Penelitian rasa ini bisa selesai dalam satu detik, satu menit, satu jam, satu hari, satu
bulan, satu tahun, atau bisa tetap tidak selesai. Pada waktu itu, penelitian saya atas marah saya, selesai dalam satu detik. Penelitian saya itu sebagai berikut:

Ketika saya dimarahi, lantas saya marah, marah saya itu saya rasakan dan saya merasa bingung, tidak mengerti apa yang harus saya lakukan. Kebingungan itu disebabkan cekcok anak dan istri saya, yang keduanya saya cintai. Selanjutnya timbullah keinginan saya untuk melerai mereka. Tetapi bagaimanakah caranya melerai orang yang sedang cekcok? Kalau caranya sudah ditemukan tentu mudah saja melakukannya.

Ternyata cara orang melerai percekcokan hanyalah dengan membenarkan atau menyalahkan salah satu pihak. Kalau kita membenarkan ibunya berarti mengeroyok anaknya, kalau membenarkan anaknya berarti mengeroyok ibunya. Jadi, melerai orang yang bercekcok itu, berarti turut mencampuri percekcokan. Maka saya berpendapat bahwa orang tidak mungkin melerai percekcokan. Bahkan setelah diteliti lagi saya mengetahui bahwa rasa ingin melerai percekcokan di atas, ialah rasa pura-pura mencintai anak dan istri.

Padahal rasa pura-pura cinta bukanlah cinta, melainkan berselubung rasa cinta. Setelah rasa berselubung cinta ini diketahui barulah saya melihat rasa saya yang sebenarnya, yang mendorong saya untuk melerai percekcokan antara anak dan istri saya. Rasa tersebut bukan cinta melainkan rasa terganggu (bhs. Jawa, risih), yaitu ketika saya menanggapi orang bercekcok, saya merasa terganggu (risih). Jadi, setiap orang menanggapi percekcokan pasti merasa terganggu. Tetapi jika dirinya sendiri yang bercekcok, ia sama sekali tidak merasa
terganggu.

Setelah rasa terganggu itu diketahui, saya dapat melihat rasa anak saya, tanpa dirintangi rasa yang diselubungi cinta. Rasa yang diselubungi cinta tadi ialah reaksi marah saya. Marah ialah salah satu wujud dari rasa benci. Setelah rasa benci itu diketahui, saya melihat rasa anak yang cekcok itu sebagai berikut:

Anak itu menolak perintah ibunya, berarti anak itu sukar diperintah. Padahal tabiatnya itu adalah hasil didikanku. Jadi, didikanku menghasilkan tabiat sukar diperintah. Bila yang dididik sukar diperintah, yang mendidik pasti juga sukar diperintah. Terbukti kapankah aku sendiri mudah diperintah? Aku lebih suka memerintah daripada diperintah.

Mengetahui rasa yang sama sedemikian itu, menimbulkan rasa damai. Tidak suka dan tidak benci, tidak memuji dan tidak mencela. Tegasnya, saya tidak dapat memarahi anak saya, karena ia dan saya sama-sama sukar diperintah. Andaikata saya harus marah, bagaimanakah caranya? Paling-paling saya mengomelinya: "Janganlah kamu terlalu menyamai aku".

Syahdan, saya meneliti rasa ibunya (istri saya). Ibu menyuruh anaknya tetapi anak tidak mau menurut, lalu ibu marah. Maka, ibunya pun termasuk orang yang sukar diperintah. Jika ia mudah diperintah, cukuplah ia pergi sendiri, dan urusannya selesai. Kemudian saya melihat rasa yang sama, antara istriku yang sukar diperintah dan aku pun yang sukar diperintah. Jadi, sudah menjadi jodoh, sama-sama sukar diperintah. Bila salah seorang ingin menyuruh yang lain,
timbullah pertengkaran, yaitu jodoh yang sama senang bertengkar. Mengetahui rasa yang sama, menimbulkan rasa damai, tidak berselisih.

Pada saat itu anak saya segera pergi dan melihat kemarahan istri saya agak reda, lalu saya ungkapkan rasa saya, "Bu, memang anakmu itu sukar diperintah.. yaitu hasil didikanku. Maka anakmu itu mewarisi sifat jiwaku, yang sukar diperintah. Sebenarnyalah aku belum pernah mau engkau suruh. Bila aku segera melakukan perintahmu, hanyalah karena imbalan yang engkau janjikan." Orang bertindak karena mengejar imbalan, sama sekali bukanlah orang rajin melainkan
orang yang mengejar janji. Melihat rasa yang sama sedemikian itu,
membangunkan rasa damai, tidak berselisih.

Rasa damai itu menghapuskan-bekas-bekas luka hati. Bila perselisihan di atas tadi, tidak diteliti sampai selesai, perselisihan itu pasti meninggalkan bekas luka, menggores dalam hati kita. Bekas luka di hati itu sering berwujud dendam. Maka bila rasa tanggapan orang yang sedang berselisih dengan suami/istrinya tidak diteliti sampai selesai, pasti menimbulkan dendam. Bekas ini akan muncul, bila kelak suami istri itu bertemu lagi, rasanya: "Nah, ini dia, yang mencaci aku kemarin!"

Tetapi bila perselisihan itu diteliti sampai selesai, sehingga tiada bekas atau dendam, perselisihan itu seolah-olah tidak pernah terjadi. Dan, lenyaplah bekas pada diri saya, menjalar kepada anak dan istri saya. Hal itu dapat dilihat ketika anak saya berjumpa kembali dengan ibunya, mereka tidak merasa dendam seolah-olah tidak pernah cekcok.

Kramadangsa, apabila diketahui segera akan mati, dan dengan matinya Kramadangsa, lahirlah manusia tanpa ciri, yang merasa damai bila berhubungan dengan orang lain. Juru catat lantas mencatat manusia tanpa ciri. Catatan manusia tanpa ciri ini memerintah Kramadangsa lagi, sehingga Kramadangsa hidup lagi, dan berbuat sewenang-wenang seperti biasanya. Tetapi jika Kramadangsa itu diketahui, ia pun mati lagi, diiringi lahirnya manusia tanpa ciri. Demikianlah proses ini berlangsung terus, kematian Kramadangsa yang diiringi kelahiran manusia tanpa ciri.(*)

2 comments:

Anonymous said...

sebuah usaha mencarai akar permasalahan yang menarik, tapi kalo masalah anak dan ibu tidak bertengkar lagi, menurut saya bukan karena pengaruh sang ayah, tapi karena ibu dan anak memiliki cara berkomunikasi yang unik. coba ditanyakan kepada sang ibu "kalo anak tidak mau nurut apa itu pasti anak tidak sayang ibunya?" demikian pula tanyakan hal yg sama kepada anaknya. Aku yakin mereka saling mencintai.

Unknown said...

Annonim berkata...
wong tuwo mengatakan " Buah jatuh tak akan jaun dari pohonnya " itu memang benar adanya, akan tetapi pada jaman sekarang apalagi pada jaman globalisasi ,bagaimana jika pohon tersebut berada di atas bukitapa mungkin seperti " Buah jatuh tak akan jaun dari pohonnya "