I
Mangkene patrapipun
Wiwit anem amandenga laku
Ngengurangi pangan turu sawatawis
Amekak hawa nepsu
Dhasarana andhap asor.
Begini maksudnya
Ketika masih muda senanglah lelaku
Kurangilah makan tidur sementara
Menahan hawa nafsu
Gunakanlah dasar rendah hati
II
Akanthi awas emut
Aja tingal weweka ing kalbu
Mituhua wewaruh kang makolehi
Den taberi anggeguru, aja isin tetakon.
Ketika sudah ingat
Janganlah meninggalkan apa yang ada di kalbu
Turutilah pengajaran yang menghasilkan
Seperti orang berguru, janganlah malu untuk bertanya
III
Wong amarsudi kaweruh
Tetirona ing reh kang rahayu
Aja kesed sungkanan sabarang kardi
Sakadare anggenipun
Nimpeni kagunganing wong.
Seseorang yang mencari kawruh (ilmu)
Carilah jalan yang baik
Janganlah malas dan malu dalam segala hal
Sekedarnya dalam
Kepunyaan orang
IV
Tinimbang lan angenganggur
Boya becik ipil-ipil kaweruh
Angger datan ewan panasaten sayekti
Kawignyane wuwuh-wuwuh
Wekasan kasub kinaot.
Daripada menganggur
Carilah kebajikan sedikit-sedikit ilmu
Pokoknya tidak malas yang sebenarnya
Kenyataannya pelan-pelan
Akhirnya terasa berat
V
Lamun wus sarwa putus
Kapinteran sinimpen ing pungkur
Bodhonira katakokna ing ngarsa yekti,
Gampang traping tindak tanduk
Amawas pambekaning wong.
Ketika sudah bisa (putus)
Kepandaian akan disimpan di hari tua
Kebodohanmu akan ditanyakan di depan
Mudah dalam bertingkah-laku
Mengawasi perilaku orang lain.
Thursday, April 29, 2010
Saturday, April 3, 2010
Belajarlah Nawa
Siapa sih manusia yang tidak ingin punya duit banyak, rumah bak istana, sederet mobil mewah tersedia dan lain-lainnya yang bersifat sukacita. Tapi adakah manusia yang punya keinginan untuk hidup tidak punya duit, rumah sempit, kemana-mana selalu jalan kaki karena tidak ada kendaraan dan lain-lain yang bersifat sedih? Tentu kalau disuruh memilih, tidak akan ada orang yang ingin hidup susah di dunia ini. Semuanya ingin hidup senang.
Perlu kita ketahui, bahwa dunia ini diciptakan GUSTI ALLAH berpasang-pasangan. Ada senang, ada susah. Ada baik, ada buruk. Ada kaya, ada miskin. Jika kita renungkan, pasangan-pasangan yang ada di dunia ini sebenarnya hakekatnya satu. Semuanya berasal dari GUSTI ALLAH.
Kalau manusia itu mau hidup senang, maka suatu saat ketika mengalami hidup susah, ia pun harus mau. Kalau kita sekarang banyak duit, maka suatu saat ketika kita tidak punya duit, maka kita harus legowo dan ikhlas menerima. Karena semua itu hakekatnya berasal dari satu.
Itulah gunanya kita belajar untuk nawa (nowo, dalam bahasa Jawanya). Arti dari Nawa sebenarnya adalah tidak begitu mempedulikan sesuatu yang terjadi . Boleh dikatakan nawa itu seperti cuek, tetapi bukan cuek pada orang lain, namun cuek pada keadaan.
Ketika kita punya duit, janganlah terlalu bergembira, karena dibalik itu kita bakal tidak punya duit. Ketika kita bergembira, janganlah terlalu sukacita, karena sebentar lagi kita akan mengalami kesedihan. Lha bagaimana cara yang benar untuk nawa?
Cara yang benar adalah kita menganggap semua hal yang terjadi pada diri kita itu adalah sesuatu yang biasa saja. Punya duit ya biasa, tidak terlalu senang. Tidak punya duit ya biasa, tidak terlalu sedih. Hidup mewah ya biasa, tidak terlalu gembira, hidup susah ya biasa, tidak terlalu bersedih. Kita terima dengan ikhlas apa yang terjadi.
Mengapa kita harus ikhlas? Karena GUSTI ALLAH senantiasa menguji ketakwaan kita. GUSTI ALLAH sangat cinta akan umatnya yang ikhlas dan berserah diri. Ketika kita bergelimang dengan duit, maka kita merasa bersyukur karena diberi kenikmatan, tetapi ketika kita tidak punya sepeser pun duit, kita pun harus merasa bersyukur karena kita masih diberi kesehatan dan panjang umur.
Rasakanlah, jika kita bisa nawa atau setidaknya belajar nawa, maka dunia ini akan indah. Kita bisa menikmati indahnya dunia tanpa menggerutu meskipun kita tidak punya duit.(*)
Memahami Kawruh Jiwa
Jika berbicara mengenai Kawruh Jiwa yang merupakan wejangan dari Ki Ageng Suryomentaram, maka kita diajak untuk mempelajari tentang hal-hal yang berkaitan dengan diri sendiri. Kawruh Jiwa juga disebut juga "Pangawikan Pribadi" atau pengetahuan tentang diri sendiri. Artinya, ketika kita berbicara tentang Kawruh Jiwa maka kita tidak berbicara tentang segala sesuatu yang berada di luar diri kita.
Kawruh Jiwa ini juga mengikuti hukum alam jiwa atau rasa. Ki Ageng Suryomentaram menyebutnya 'ilmu alam bab raos'.
Contoh: Kalau orang keinginannya tercapai maka akan senang dan kalau keinginan tidak tercapai orang akan susah. Demikian seterusnya sehingga selamanya orang itu senang-susah silih berganti (langgeng bungah susah).
Berikut ini penuturan Ki Ageng Suryomentaram sendiri:
Pada suatu waktu, tatkala saya pulang bepergian, saya menjumpai anak perempuan saya sedang cekcok dengan ibunya. Melihat kedatangan saya, istri saya segera menyerang dengan omelan, "Lihatlah anakmu ini, ia menolak perintahku untuk mencari pinjaman uang. Tabiatnya ini ialah hasil didikanmu, sehingga sukar
diperintah. Sekarang silakan kamu menasehatinya. Gunakanlah ilmumu, manusia tanpa ciri atau Kramadangsa! Kuingin mengetahui khasiatnya"
Sudah tentu, karena dimarahi, saya lalu membalas marah. Pada saat itu saya sedang berada di jalan simpang tiga, yaitu saya, si Suryomentaram atau "kramadangsa" marah, sebab dimarahi oleh orang lain. Bila kemarahan itu tidak saya ketahui, saya tidak dapat melihat rasa anak dan istri saya. Maka, ketika saya melihat marah saya, saya lalu menelitinya sampai tuntas. Penelitian rasa ini bisa selesai dalam satu detik, satu menit, satu jam, satu hari, satu
bulan, satu tahun, atau bisa tetap tidak selesai. Pada waktu itu, penelitian saya atas marah saya, selesai dalam satu detik. Penelitian saya itu sebagai berikut:
Ketika saya dimarahi, lantas saya marah, marah saya itu saya rasakan dan saya merasa bingung, tidak mengerti apa yang harus saya lakukan. Kebingungan itu disebabkan cekcok anak dan istri saya, yang keduanya saya cintai. Selanjutnya timbullah keinginan saya untuk melerai mereka. Tetapi bagaimanakah caranya melerai orang yang sedang cekcok? Kalau caranya sudah ditemukan tentu mudah saja melakukannya.
Ternyata cara orang melerai percekcokan hanyalah dengan membenarkan atau menyalahkan salah satu pihak. Kalau kita membenarkan ibunya berarti mengeroyok anaknya, kalau membenarkan anaknya berarti mengeroyok ibunya. Jadi, melerai orang yang bercekcok itu, berarti turut mencampuri percekcokan. Maka saya berpendapat bahwa orang tidak mungkin melerai percekcokan. Bahkan setelah diteliti lagi saya mengetahui bahwa rasa ingin melerai percekcokan di atas, ialah rasa pura-pura mencintai anak dan istri.
Padahal rasa pura-pura cinta bukanlah cinta, melainkan berselubung rasa cinta. Setelah rasa berselubung cinta ini diketahui barulah saya melihat rasa saya yang sebenarnya, yang mendorong saya untuk melerai percekcokan antara anak dan istri saya. Rasa tersebut bukan cinta melainkan rasa terganggu (bhs. Jawa, risih), yaitu ketika saya menanggapi orang bercekcok, saya merasa terganggu (risih). Jadi, setiap orang menanggapi percekcokan pasti merasa terganggu. Tetapi jika dirinya sendiri yang bercekcok, ia sama sekali tidak merasa
terganggu.
Setelah rasa terganggu itu diketahui, saya dapat melihat rasa anak saya, tanpa dirintangi rasa yang diselubungi cinta. Rasa yang diselubungi cinta tadi ialah reaksi marah saya. Marah ialah salah satu wujud dari rasa benci. Setelah rasa benci itu diketahui, saya melihat rasa anak yang cekcok itu sebagai berikut:
Anak itu menolak perintah ibunya, berarti anak itu sukar diperintah. Padahal tabiatnya itu adalah hasil didikanku. Jadi, didikanku menghasilkan tabiat sukar diperintah. Bila yang dididik sukar diperintah, yang mendidik pasti juga sukar diperintah. Terbukti kapankah aku sendiri mudah diperintah? Aku lebih suka memerintah daripada diperintah.
Mengetahui rasa yang sama sedemikian itu, menimbulkan rasa damai. Tidak suka dan tidak benci, tidak memuji dan tidak mencela. Tegasnya, saya tidak dapat memarahi anak saya, karena ia dan saya sama-sama sukar diperintah. Andaikata saya harus marah, bagaimanakah caranya? Paling-paling saya mengomelinya: "Janganlah kamu terlalu menyamai aku".
Syahdan, saya meneliti rasa ibunya (istri saya). Ibu menyuruh anaknya tetapi anak tidak mau menurut, lalu ibu marah. Maka, ibunya pun termasuk orang yang sukar diperintah. Jika ia mudah diperintah, cukuplah ia pergi sendiri, dan urusannya selesai. Kemudian saya melihat rasa yang sama, antara istriku yang sukar diperintah dan aku pun yang sukar diperintah. Jadi, sudah menjadi jodoh, sama-sama sukar diperintah. Bila salah seorang ingin menyuruh yang lain,
timbullah pertengkaran, yaitu jodoh yang sama senang bertengkar. Mengetahui rasa yang sama, menimbulkan rasa damai, tidak berselisih.
Pada saat itu anak saya segera pergi dan melihat kemarahan istri saya agak reda, lalu saya ungkapkan rasa saya, "Bu, memang anakmu itu sukar diperintah.. yaitu hasil didikanku. Maka anakmu itu mewarisi sifat jiwaku, yang sukar diperintah. Sebenarnyalah aku belum pernah mau engkau suruh. Bila aku segera melakukan perintahmu, hanyalah karena imbalan yang engkau janjikan." Orang bertindak karena mengejar imbalan, sama sekali bukanlah orang rajin melainkan
orang yang mengejar janji. Melihat rasa yang sama sedemikian itu,
membangunkan rasa damai, tidak berselisih.
Rasa damai itu menghapuskan-bekas-bekas luka hati. Bila perselisihan di atas tadi, tidak diteliti sampai selesai, perselisihan itu pasti meninggalkan bekas luka, menggores dalam hati kita. Bekas luka di hati itu sering berwujud dendam. Maka bila rasa tanggapan orang yang sedang berselisih dengan suami/istrinya tidak diteliti sampai selesai, pasti menimbulkan dendam. Bekas ini akan muncul, bila kelak suami istri itu bertemu lagi, rasanya: "Nah, ini dia, yang mencaci aku kemarin!"
Tetapi bila perselisihan itu diteliti sampai selesai, sehingga tiada bekas atau dendam, perselisihan itu seolah-olah tidak pernah terjadi. Dan, lenyaplah bekas pada diri saya, menjalar kepada anak dan istri saya. Hal itu dapat dilihat ketika anak saya berjumpa kembali dengan ibunya, mereka tidak merasa dendam seolah-olah tidak pernah cekcok.
Kramadangsa, apabila diketahui segera akan mati, dan dengan matinya Kramadangsa, lahirlah manusia tanpa ciri, yang merasa damai bila berhubungan dengan orang lain. Juru catat lantas mencatat manusia tanpa ciri. Catatan manusia tanpa ciri ini memerintah Kramadangsa lagi, sehingga Kramadangsa hidup lagi, dan berbuat sewenang-wenang seperti biasanya. Tetapi jika Kramadangsa itu diketahui, ia pun mati lagi, diiringi lahirnya manusia tanpa ciri. Demikianlah proses ini berlangsung terus, kematian Kramadangsa yang diiringi kelahiran manusia tanpa ciri.(*)
Pencarian Ki Ageng Suryomentaram
Nama Ki Ageng Suryomentaram memang tidak dikenal setenar Supriyadi atau Ki Hajar Dewantara, namun beliau memiliki sumbangsih yang besar terhadap perjuangan kebangsaan Indonesia. Disamping itu, ia juga mewariskan suatu ilmu yang disebut dengan Kawruh Jiwa. Siapa sebenarnya Ki Ageng Suryomentaram? Bagaimana lakunya untuk mendekat pada GUSTI ALLAH? Mari kita simak bersama-sama.
Pada tahun 1892, tepatnya pada tanggal 20 Mei, seorang jabang bayi terlahir sebagai anak ke-55 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII, sultan yang bertahta di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jabang bayi tersebut diberi nama BRM (Bendara Raden Mas) Kudiarmadji. Ibundanya bernama BRA (Bendara Raden Ayu) Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI yang kemudian bernama Pangeran Cakraningrat. Demikianlah, BRM Kudiarmadji mengawali lelakon hidupnya di dalam kraton sebagai salah seorang anak Sri Sultan yang jumlah akhirnya mencapai 79 putera-puteri.
Seperti saudaranya yang lain, Bendara Raden Mas Kudiarmadji belajar di Sekolah Srimanganti di dalam lingkungan kraton. Tingkat pendidikan sekolah ini kurang lebih sama dengan sekolah dasar sekarang. Selepas dari Srimanganti, dilanjutkan dengan kursus Klein Ambtenaar, belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah selesai kursus, bekerja di gubernuran selama 2 tahun lebih.
BRM Kudiarmadji mempunyai kegemaran membaca dan belajar, terutama tentang sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Pendidikan agama Islam dan mengaji didapat dari K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Ketika menginjak usia 18 tahun, Bendara Raden Mas Kudiarmadji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram. Tahun demi tahun berlalu, sedikit demi sedikit Pangeran Suryomentaram mulai merasakan sesuatu yang kurang dalam hatiya. Setiap waktu ia hanya bertemu dengan yang disembah, yang diperintah, yang dimarahi, yang dimintai. Dia tidak puas karena merasa belum pernah bertemu orang. Yang ditemuinya hanya sembah, perintah, marah, minta, tetapi tidak pernah bertemu orang. Ia merasa masygul dan kecewa sekalipun ia adalah seorang pangeran yang kaya dan berkuasa.
TAK BETAH DI KRATON
Pada suatu ketika Pangeran Suryomentaram merasa menemukan jawaban bahwa yang menyebabkan ia tidak pernah bertemu orang, adalah karena hidupnya terkurung di lingkungan kraton. Hal itulah yang menyebabkan ia merasa tidak betah lagi tinggal dalam lingkungan kraton.
Penderitaannya semakin mendalam dengan kejadian-kejadian sedih yang terjadi secara berturutan yaitu:
* Patih Danurejo VI, kakek yang memanjakannya, diberhentikan dari jabatan patih dan tidak lama kemudian meninggal dunia.
* Ibunya dicerai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan dikeluarkan dari kraton, kemudian diserahkan kepada dirinya.
* Istri yang dicintainya meninggal dunia dan meninggalkan putra yang baru berusia 40 hari.
Rasa tidak puas dan tidak betah makin menjadi-jadi sampai pada puncaknya, ia mengajukan permohonan pada ayahanda, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, untuk berhenti sebagai pangeran, tetapi permohonan tersebut tidak dikabulkan.
Pada kesempatan lain ia juga mengajukan permohonan untuk naik haji ke Mekah, namun ini pun tidak dikabulkan. Karena sudah tidak tahan lagi, diam-diam ia meninggalkan kraton dan pergi ke Cilacap menjadi pedagang kain batik dan setagen (ikat pinggang). Di sana ia mengganti namanya menjadi Notodongso.
DICARI SULTAN
Berita perginya Pangeran Suryomentaram ini didengar Sri Sultan Hamengku Buwono VII, maka Sultan memerintahkan KRT Wiryodirjo (Bupati Kota) dan R.L. Mangkudigdoyo, untuk mencari Pangeran Suryomentaram dan memanggil kembali ke Yogyakarta. Setelah mencari-cari sekian lama, akhirnya ia ditemukan di Kroya (Banyumas) sedang memborong mengerjakan sumur.
Pangeran Suryomentaram kembali ke Yogyakarta meskipun sudah terlanjur membeli tanah. Mulai lagi kehidupan membosankan dijalaninya. Setiap saat ia selalu mencari-cari penyebab kekecewaan batinnya. Ketika ia mengira bahwa selain kedudukan sebagai pangeran, penyebab rasa kecewa dan tidak puas itu adalah harta benda, maka seluruh isi rumahnya dilelang. Mobil dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada sopirnya, kuda dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada gamelnya (perawat kuda), pakaian-pakaiannya dibagi-bagikan kepada para pembantunya.
Upayanya itu ternyata tidak juga membuahkan jawaban atas kegelisahannya, ia tetap merasa tidak puas. Ia merindukan dapat bertemu orang. Hari-hari selanjutnya diisi dengan keluyuran, bertirakat ke tempat-tempat yang dianggap keramat seperti Luar Batang, Lawet, Guwa Langse, Guwa Cermin, Kadilangu dan lain-lain. Namun rasa tidak puas itu tidak hilang juga.
Ia makin rajin mengerjakan shalat dan mengaji, tiap ada guru atau kiai yang terkenal pandai, didatangi untuk belajar ilmunya. Tetap saja rasa tidak puas itu menggerogoti batinnya. Kemudian dipelajarinya agama Kristen dan theosofi, ini pun tidak dapat menghilangkan rasa tidak puasnya.
BEBAS
Pada tahun 1921 ketika Pangeran Suryomentaram berusia 29 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VII mangkat. Dia ikut mengantarkan jenazah ayahandanya ke makam Imogiri dengan mengenakan pakaian yang lain daripada yang lain. Para Pangeran mengenakan pakaian kebesaran kepangeranan, para abdi dalem mengenakan pakaian kebesarannya sesuai dengan pangkatnya, Pangeran Suryomentaram memikul jenazah sampai ke makam Imogiri sambil mengenakan pakaian kebesarannya sendiri yaitu ikat kepala corak Begelen, kain juga corak Begelen, jas tutup berwarna putih yang punggungnya ditambal dengan kain bekas berwarna biru sambil mengempit payung Cina.
Dalam perjalanan pulang ia berhenti di Pos Barongan membeli nasi pecel yang dipincuk dengan daun pisang, dimakannya sambil duduk di lantai disertai minum segelas cao. Para pangeran, pembesar, maupun abdi dalem yang lewat tidak berani mendekat karena takut atau malu, mereka mengira Pangeran Suryomentaram telah menderita sakit jiwa. Namun ada pula yang menganggapnya seorang wali.
Setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dinobatkan sebagai raja, Pangeran Suryomentaram sekali lagi mengajukan permohonan berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran, dan kali ini dikabulkan.
Pemerintah Hindia Belanda memberikan uang pensiun sebesar f 333,50 per bulan, tetapi ditolaknya dengan alasan ia tidak merasa berjasa kepada pemerintah Hindia Belanda dan tidak mau terikat pada pemerintah Hindia Belanda. Kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan uang f 75 per bulan hanya sebagai tanda masih keluarga kraton. Pemberian ini diterimanya dengan senang hati.
Setelah berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran ia merasa lebih bebas, tidak terikat lagi. Namun segera ia menyadari bahwa ia masih tetap merasa tidak puas, ia masih belum juga bertemu orang.
Suryomentaram yang bukan pangeran lagi itu kemudian membeli sebidang tanah di desa Bringin, sebuah desa kecil di sebelah utara Salatiga. Di sana ia tinggal dan hidup sebagai petani. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin. Banyak orang yang menganggap ia seorang dukun, dan banyak pula yang datang berdukun.
PENCERAHAN
Setelah menduda lebih kurang 10 tahun, pada tahun 1925 Ki Ageng kawin lagi, kemudian beserta keluarga pindah ke Bringin. Rumahnya yang di Yogya digunakan untuk asrama dan sekolah Taman Siswa.
Pada suatu malam di tahun 1927, Ki Ageng membangunkan isterinya, Nyi Ageng Suryomentaram, yang sedang lelap tidur, dan dengan serta merta ia berkata, "Bu, aku sudah ketemu yang kucari. Aku tidak bisa mati!" Sebelum Nyi Ageng sempat bertanya, Ki Ageng melanjutkan, " Ternyata yang merasa belum pernah bertemu orang, yang merasa kecewa dan tidak puas selama ini, adalah orang juga, wujudnya adalah si Suryomentaram. Diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintai berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap sakit ingatan kecewa, jadi pangeran kecewa, menjadi pedagang kecewa, menjadi petani kecewa, itulah orang yang namanya Suryomentaram, tukang kecewa, tukang tidak puas, tukang tidak kerasan, tukang bingung. Sekarang sudah ketahuan. Aku sudah dapat dan selalu bertemu orang, namanya adalah si Suryomentaram, lalu mau apa lagi? Sekarang tinggal diawasi dan dijajagi."
Sejak itu Ki Ageng kerjanya keluyuran, tetapi bukan untuk bertirakat seperti dulu, melainkan untuk menjajagi rasanya sendiri. Ia mendatangi teman-temannya untuk mengutarakan hasilnya bertemu orang - bertemu diri sendiri. Mereka pun kemudian juga merasa bertemu orang - bertemu diri sendiri masing-masing.
Setiap kali bertemu orang (diri sendiri) timbul rasa senang. Rasa senang tersebut dinamakan "rasa bahagia", bahagia yang bebas tidak tergantung pada tempat, waktu, dan keadaan.
Pada tahun 1928 semua hasil "mengawasi dan menjajagi rasa diri sendiri" itu ditulis dalam bentuk tembang (puisi), kemudian dijadikan buku dengan judul "Uran-uran Beja".
Kisah-kisah tentang laku Ki Ageng yang menjajagi rasa diri sendiri tersebut ada banyak sekali, di antaranya sebagai berikut.
Suatu hari Ki Ageng akan pergi ke Parang Tritis yang terletak di pantai selatan Yogyakarta. Sesampainya di Kali Opak perjalanannya terhalang banjir besar. Para tukang perahu sudah memperingatkan Ki Ageng agar tidak menyeberang, tetapi karena merasa pandai berenang, Ki Ageng nekad menceburkan diri ke dalam sungai. Akhirnya ia megap-megap hampir tenggelam dan kemudian ditolong oleh para tukang perahu.
Setelah pulang ia berkata kepada Ki Prawirowiworo sebagai berikut, "Aku mendapat pengalaman. Pada waktu aku akan terjun ke dalam sungai, tidak ada rasa takut sama sekali. Sampai gelagapan pun rasa takut itu tetap tidak ada. Bahkan aku dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap hampir tenggelam."
Ki Prawirowiworo menjawab, "Tidak takut apa-apa itu memang benar, sebab Ki Ageng adalah orang yang putus asa. Orang yang putus asa itu biasanya nekad ingin mati saja." Ki Ageng menjawab, "Kau benar. Rupanya si Suryomentaram yang putus asa karena ditinggal mati kakek yang menyayanginya, dan istri yang dicintainya, nekad ingin bunuh diri. Tetapi pada pengalaman ini ada yang baik sekali, pada waktu kejadian tenggelam megap-megap, ada rasa yang tidak ikut megap-megap, tetapi malah dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap gelagapan itu."
Setelah penyerahan kedaulatan, Ki Ageng mulai lagi mengadakan ceramah-ceramah Kawruh Beja (Kawruh Jiwa) ke mana-mana, ikut aktif mengisi kemerdekaan dengan pembangunan jiwa berupa ceramah-ceramah pembangunan jiwa warga negara. Pada tahun 1957 pernah diundang oleh Bung Karno ke Istana Merdeka untuk dimintai wawasan tentang berbagai macam masalah negara. Ki Ageng tetap mengenakan pakaian yang biasa dipakainya sehari-hari.
Kurang lebih 40 tahun Ki Ageng menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan.
Pada suatu hari ketika sedang mengadakan ceramah di desa Sajen, di daerah Salatiga, Ki Ageng jatuh sakit dan dibawa pulang ke Yogya, dirawat di rumah sakit. Sewaktu di rumah sakit itu, Ki Ageng masih sempat menemukan kawruh yaitu bahwa "puncak belajar kawruh jiwa ialah mengetahui gagasannya sendiri".
Ki Ageng dirawat di rumah sakit selama beberapa waktu, namun karena sakitnya tidak kunjung berkurang, kemudian ia dibawa pulang ke rumah. Sakitnya makin lama makin parah, dan pada hari Minggu Pon tanggal 18 Maret 1962 jam 16.45, dalam usia 70 tahun, Ki Ageng tutup usia di rumahnya di Jln. Rotowijayan no. 22 Yogyakarta dan dimakamkan di makam keluarga di desa Kanggotan, sebelah selatan kota Yogyakarta.
Ki Ageng Suryomentaram meninggalkan seorang istri, dua orang putra, dan empat orang putri.
Ki Ageng Suryomentaram juga meninggalkan warisan yang sangat berharga yaitu KAWRUH PANGAWIKAN PRIBADI atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan KAWRUH JIWA. Untuk pembahasan tentang ajaran dari Ki Ageng Suryomentaram akan dibahas pada pokok bahasan selanjutnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)