Dalam mithologi Hindu, Lingga adalah merupakan simbolisasi perwujudan dari alat kemaluan pria atau penis. Sedangkan Yoni adalah merupakan simbolisasi dari alat kelamin wanita atau vagina. Berbicara mengenai Lingga Yoni sama halnya berbicara tentang asal muasal manusia.
Sebelum seorang anak manusia lahir di dunia, maka ada proses hubungan antara seorang laki-laki yang disebut ayah yang disimbolkan sebagai Lingga dan Ibu yang disimbolkan dari Yoni. Dimulai dari munculnya rasa saling mencintai yang akhirnya berlanjut pada jenjang yang lebih tinggi yaitu pernikahan.
Sejatinya, nenek moyang Indonesia dari dulu memandang hubungan antara lelaki dan wanita sebagai hubungan yang suci yang wajib diketahui oleh anak laki-laki dan perempuan yang sudah cukup umur atau akil baligh. Mereka perlu mengetahuinya untuk menyebarkan wiji (benih) untuk keturunan berikutnya yang terikat dalam satu hubungan pernikahan.
Hubungan cinta suci tersebut itulah akhirnya digambarkan dengan simbolisasi Lingga Yoni. Simbolisasi Lingga Yoni ini bukanlah dalam artian untuk hubungan cinta bebas. Justru Lingga Yoni merupakan gambaran sebuah hubungan suci antara suami-istri untuk bisa memiliki keturunan di dunia ini.
Pengeran Katon
Orang Jawa yang berpaham Kejawen memandang keberadaan ayah-ibu sebagai Pengeran Katon (Tuhan yang tampak). Artinya, keberadaan manusia di dunia ini tidak terlepas dari tiga faktor Tuhan - Ayah - Ibu. Lho kok bisa? Ya jelas bisa. Jika satu unsur saja tidak ada, maka anak manusia tidak akan bisa lahir di dunia ini.
Jika Gusti Allah, ada Ayah tetapi tidak ada Ibu, maka pertanyaannya, siapakah yang melahirkan?
Jika ada Gusti Allah, ada Ibu tetapi tidak ada ayah, lalu siapakah yang menyebarkan benih untuk menjadi jabang bayi tersebut?
Jika ada ayah, ada ibu tetapi tidak ada Gusti Allah, pertanyaannya siapakah yang memberi ruh pada si jabang bayi untuk bisa hidup?
Dari situlah dapat disimpulkan bahwa keberadaan Gusti Allah-Ayah-Ibu itu saling berkaitan erat pada sebuah kejadian anak manusia di dunia ini. Oleh karena itu, orang Kejawen membagi ketiga faktor tersebut dengan sebutan yang berbeda-beda.
Orang Kejawen menyebut Gusti Allah itu sebagai Gusti Pengeran. Sementara ayah dan ibu disebut sebagai Pengeran Katon (Tuhan yang Tampak).(*)