Sosok pewayangan yang kita kenal sekarang ini ada 2, yaitu Pendawa dan Kurawa. Sosok Pendawa dikenal sebagai simbol kebenaran, sedangkan Kurawa adalah simbol keserakahan, iri, dengki dan segala keburukan.
Sosok Pendawa yang kita kenal ada 5. Yaitu:
1. Prabu Yudhistira
2. BIMA atau WERKUDARA
3. ARJUNA
4. NAKULA
5. SADEWA atau Sahadewa
Sedangkan sosok pewayangan Kurawa jumlahnya ada 100.
SOSOK PENDAWA & KURAWA Di TUBUH ANAK ADAM
Namanya saja pewayangan = wayang = bayang-bayang, maka sosok Pendawa dan Kurawa itu adalah merupakan bayang-bayang ataupun simbol. Nah, simbol apa dari sosok Pandawa dan Kurawa itu di tubuh anak adam? Ternyata pewayangan dari sosok Pendawa dan Kurawa merupakan simbol yang ada di tubuh manusia.
YUDHISTIRA
Sosok Yudhistira adalah merupakan simbol pewayangan yang letaknya ada di otak manusia. Kenapa di otak manusia? Karena sebagai saudara tertua, maka Yudhistira bertugas mengayomi dan memikirkan adik-adiknya.
BIMA atau WERKUDARA
Sosok Bima atau Werkudara adalah merupakan simbol pewayangan yang lokasinya ada di mata manusia. Begitu manusia marah, maka matanya akan melotot dan orang yang dihadapi akan cenderung takut dengan melototnya mata.
ARJUNA
Sosok Arjuna adalah merupakan simbol pewayangan yang lokasinya ada di hati nurani manusia. Kenapa di hati nurani? Karena sosok Arjuna adalah sosok yang suka lelaku dan selalu jujur dalam berkata-kata.
NAKULA dan SADEWA
Sosok Nakula dan Sadewa adalah kembar. Kedua sosok itu adalah simbol pewayangan yang lokasinya ada pada buah zakar (peler) kaum lelaki. Buah zakar adalah kembar baik besar dan wujudnya. Itu merupakan gambaran dari sosok Pendawa di tubuh anak Adam.
Pertanyaannya, lalu dimanakah lokasi Kurawa yang berjumlah 100 itu di tubuh anak Adam?
Jawabannya, 100 jumlah sosok Kurawa itu lokasinya berada di hati besar ksatria. Sama dengan Arjuna yang digambarkan menguasai hati nurani (hati kecil), sosok Kurawa justru menguasai hati besar.
Seperti diterangkan pada tulisan sebelumnya, bahwa hati manusia itu ada 2 yaitu hati besar dan hati kecil. Hati besar selalu berkata bohong, iri, merasa paling hebat, beraneka keburukan yang terkait dengan hawa nafsu. Sementara hati nurani (hati kecil) selalu berkata tentang kebenaran dan apa yang tidak boleh dilakukan manusia.(*)
Inilah yang membuat kita mesti menyadari, mengapa hati kecil manusia senantiasa kalah dengan hati besar. Pasalnya seorang Arjuna harus mampu melawan 100 sosok Kurawa. Mungkinkah? Kini jawabannya hanya ada pada manusia itu sendiri. Ia sering mendengarkan hati besar atau hati kecil.(*)
Thursday, December 18, 2014
Tuesday, August 19, 2014
Lelaku Panembahan Senopati
TANAH JAWA memiliki banyak sosok tokoh yang bisa diteladani. Yang dimaksud diambil keteladannannya adalah dalam hal olah spiritual. Seperti halnya sosok Raja Mataram Islam pertama yakni Danang Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati.
Sebagai seorang raja, Panembahan Senopati yang hidup di lingkup istana, tak lalai dalam mengasah olah rasa dan tapa brata. Dalam berbagai kesempatan beliau senantiasa menyempatkan diri untuk mencuri waktu dalam kesendirian dan lelaku.
Semua lelaku tersebut tertuang dalam serat Wedhatama yang berbunyi
Nulada laku utama
tumraping wong tanah Jawi
Wong Agung ing Ngeksiganda
Panembahan Senopati
Kapati amarsudi
Sudaning hawa lan nepsu
Pinesu tapa brata
Tanapi ing siang ratri
Amemangun karyenak tyasing sasama
Mencontoh laku yang baik
terhadap orang tanah Jawa
Tokoh besar di Ngeksiganda
Panembahan Senopati
berusaha dengan sungguh-sungguh
mengurangi hawa dan nafsu
dengan cara bertapa
yang dilakukan siang dan malam
mewujudkan perasaan senang bagi sesamanya.
Samangsane pasamuan
mamangun marta martani
sinambi ing saben mangsa
kalakalaning ngasepi
Lelana teki-teki
Nggayuh geyonganing kayun
Kayungyun eninging tyas
Sanityasa pinrihatin
Pungguh panggah cegah dhahar lawan nendra
Ketika berada dalam pertemuan
membahas sesuatu dengan kerendahan hati
dan pada setiap kesempatan
Sekali-sekali menyepi
berkelana kemana-mana
Berusaha mengambil yang hakiki
Dalam keheningan batinnya
Dengan senantiasa berprihatin
Dengan cara mengurangi makan dan tidur
Saben mendra saking wisma
Lelana laladan sepi
Ngisep sepuhing sopana
Mrih pana pranaweng kapti
Tis-tising tyas marsudi
Mardawaning budya tulus
Mesu reh kasudarman
neng tepining jalanidhi
Sruning brata kataman wahyu dyatmika
Setiap keluar rumah
Selalu berkelana mencari tempat sepi
dengan tujuan meresapi ilmu sepuh
agar mengerti tiap-tiap tingkatan ilmu dan maknanya
ketajaman hati dimanfaatkan untuk menempa jiwa
untuk mendapatkan budi pikiran yang tulus
dengan bertapa dan mengharapkan wahyu suci
Dari tiga cuplikan serat tersebut, kita bisa belajar dari lelaku dan olahrasa yang telah dicontohkan Panembahan Senopati. Hal yang patut dicatat, bahwa meski Panembahan Senopati sebagai Raja yang bergelimang dengan kenikmatan dunia, tetapi beliau tidak pernah tergoda dan senantiasa lelaku guna seluruh rakyat dan keturunannya.
Berbeda dengan kita yang hidup di dunia modern saat ini. Ketika kita bergelimang harta benda, justru kita malah melupakan yang hakiki dan kita cenderung justru terjerat dalam kenikmatan tersebut. Maka dari itu, alangkah baiknya kita mengkaji lagi lelaku dari hal yang telah dilakukan Panembahan Senopati itu.(*)
Sebagai seorang raja, Panembahan Senopati yang hidup di lingkup istana, tak lalai dalam mengasah olah rasa dan tapa brata. Dalam berbagai kesempatan beliau senantiasa menyempatkan diri untuk mencuri waktu dalam kesendirian dan lelaku.
Semua lelaku tersebut tertuang dalam serat Wedhatama yang berbunyi
Nulada laku utama
tumraping wong tanah Jawi
Wong Agung ing Ngeksiganda
Panembahan Senopati
Kapati amarsudi
Sudaning hawa lan nepsu
Pinesu tapa brata
Tanapi ing siang ratri
Amemangun karyenak tyasing sasama
Mencontoh laku yang baik
terhadap orang tanah Jawa
Tokoh besar di Ngeksiganda
Panembahan Senopati
berusaha dengan sungguh-sungguh
mengurangi hawa dan nafsu
dengan cara bertapa
yang dilakukan siang dan malam
mewujudkan perasaan senang bagi sesamanya.
Samangsane pasamuan
mamangun marta martani
sinambi ing saben mangsa
kalakalaning ngasepi
Lelana teki-teki
Nggayuh geyonganing kayun
Kayungyun eninging tyas
Sanityasa pinrihatin
Pungguh panggah cegah dhahar lawan nendra
Ketika berada dalam pertemuan
membahas sesuatu dengan kerendahan hati
dan pada setiap kesempatan
Sekali-sekali menyepi
berkelana kemana-mana
Berusaha mengambil yang hakiki
Dalam keheningan batinnya
Dengan senantiasa berprihatin
Dengan cara mengurangi makan dan tidur
Saben mendra saking wisma
Lelana laladan sepi
Ngisep sepuhing sopana
Mrih pana pranaweng kapti
Tis-tising tyas marsudi
Mardawaning budya tulus
Mesu reh kasudarman
neng tepining jalanidhi
Sruning brata kataman wahyu dyatmika
Setiap keluar rumah
Selalu berkelana mencari tempat sepi
dengan tujuan meresapi ilmu sepuh
agar mengerti tiap-tiap tingkatan ilmu dan maknanya
ketajaman hati dimanfaatkan untuk menempa jiwa
untuk mendapatkan budi pikiran yang tulus
dengan bertapa dan mengharapkan wahyu suci
Dari tiga cuplikan serat tersebut, kita bisa belajar dari lelaku dan olahrasa yang telah dicontohkan Panembahan Senopati. Hal yang patut dicatat, bahwa meski Panembahan Senopati sebagai Raja yang bergelimang dengan kenikmatan dunia, tetapi beliau tidak pernah tergoda dan senantiasa lelaku guna seluruh rakyat dan keturunannya.
Berbeda dengan kita yang hidup di dunia modern saat ini. Ketika kita bergelimang harta benda, justru kita malah melupakan yang hakiki dan kita cenderung justru terjerat dalam kenikmatan tersebut. Maka dari itu, alangkah baiknya kita mengkaji lagi lelaku dari hal yang telah dilakukan Panembahan Senopati itu.(*)
Tuesday, April 22, 2014
Hakekat Ngelmu
BELAJAR memahami ilmu batin dalam istilah Kejawen disebut dengan Ngelmu. Ngelmu itu sendiri memiliki arti Angel Tinemu. Arti dari Angel Tinemu itu berarti bahwa untuk mempelajari ilmu maupun olah laku batin itu perlu keseriusan dan tidak bisa dilakukan hanya untuk mengisi waktu.
Pada ajaran Kejawen, dianjurkan pada manusia dalam hidupnya untuk senantiasa menuntut ilmu hingga titik terakhir dalam hidupnya. Bahkan orang yang masih berusia muda pun dituntut untuk Ngelmu sebagai bekal kehidupannya di masa tuanya.
Pada Kejawen terbagi menjadi dua macam ilmu. Kalau secara umum, ilmu dibagi menjadi dua yaitu ilmu hitam dan ilmu putih. Namun hal itu tidak ada dalam pemahaman Kejawen. Kejawen hanya mengenal dua ilmu yaitu:
1. Ilmu Jawa (Njowo)
2. Ilmu Nggak Jawa (Nggak Njowo)
1. Ilmu Jawa (Njowo)
Yang disebut ilmu Jawa atau biasa disebut Njowo adalah ilmu yang tidak mengenal permusuhan. Yang diajarkan dalam ilmu itu adalah cinta kasih sesama makhluk GUSTI ALLAH. Jawa sendiri memiliki arti mengerti. Jadi jika belajar ilmu Jawa maka harus mengerti dan memahami tentang manusia sebagai titah sempurna yang ada di jagad raya ini. Manusia di dunia ini tidak dapat hidup sendirian dan perlu ada penopang lainnya seperti binatang dan tumbuhan. Artinya, manusia harus mampu menyatu dengan manusia lainnya karena pada hakekatnya manusia itu satu dari GUSTI ALLAH.
Disamping itu, manusia itu juga harus menjaga keseimbangan lingkungannya bersama tumbuhan dan hewan yang ada. Karena pada hakekatnya, tumbuhan dan binatang tersebut diciptakan GUSTI ALLAH semuanya demi kemuliaan manusia itu sendiri.
Jadi, ilmu Njowo itu adalah ilmu yang tidak menyakiti sesamanya, justru malah harus welas asih dan senantiasa menjaga bumi tempat kita berpijak ini. Memayu Hayuning Bawono (mempercantik bumi tempat kita tinggal ini).
2. Ilmu Nggak Jawa (Nggak Njowo)
Ilmu nggak Jawa (Nggak Njowo) merupakan ilmu yang senantiasa ditanamkan rasa kebencian kepada sesama manusia. Lho...apakah ada ilmu seperti itu? Ada. Orang yang tidak sesuai dengan kepercayaan yang dianut dianggap salah dan perlu dimusuhi.
Tentu saja, jika mempelajari ilmu itu, yang timbul adalah rasa curiga dan benci pada orang lain. Jika dengan manusia lainnya saja sudah benci, apalagi dengan makhluk-makhluk lainnya.
Oleh karena itu, sebelum belajar ilmu Kejawen, maka perlu memahami dulu tujuan kita belajar Ngelmu.(***)
Pada ajaran Kejawen, dianjurkan pada manusia dalam hidupnya untuk senantiasa menuntut ilmu hingga titik terakhir dalam hidupnya. Bahkan orang yang masih berusia muda pun dituntut untuk Ngelmu sebagai bekal kehidupannya di masa tuanya.
Pada Kejawen terbagi menjadi dua macam ilmu. Kalau secara umum, ilmu dibagi menjadi dua yaitu ilmu hitam dan ilmu putih. Namun hal itu tidak ada dalam pemahaman Kejawen. Kejawen hanya mengenal dua ilmu yaitu:
1. Ilmu Jawa (Njowo)
2. Ilmu Nggak Jawa (Nggak Njowo)
1. Ilmu Jawa (Njowo)
Yang disebut ilmu Jawa atau biasa disebut Njowo adalah ilmu yang tidak mengenal permusuhan. Yang diajarkan dalam ilmu itu adalah cinta kasih sesama makhluk GUSTI ALLAH. Jawa sendiri memiliki arti mengerti. Jadi jika belajar ilmu Jawa maka harus mengerti dan memahami tentang manusia sebagai titah sempurna yang ada di jagad raya ini. Manusia di dunia ini tidak dapat hidup sendirian dan perlu ada penopang lainnya seperti binatang dan tumbuhan. Artinya, manusia harus mampu menyatu dengan manusia lainnya karena pada hakekatnya manusia itu satu dari GUSTI ALLAH.
Disamping itu, manusia itu juga harus menjaga keseimbangan lingkungannya bersama tumbuhan dan hewan yang ada. Karena pada hakekatnya, tumbuhan dan binatang tersebut diciptakan GUSTI ALLAH semuanya demi kemuliaan manusia itu sendiri.
Jadi, ilmu Njowo itu adalah ilmu yang tidak menyakiti sesamanya, justru malah harus welas asih dan senantiasa menjaga bumi tempat kita berpijak ini. Memayu Hayuning Bawono (mempercantik bumi tempat kita tinggal ini).
2. Ilmu Nggak Jawa (Nggak Njowo)
Ilmu nggak Jawa (Nggak Njowo) merupakan ilmu yang senantiasa ditanamkan rasa kebencian kepada sesama manusia. Lho...apakah ada ilmu seperti itu? Ada. Orang yang tidak sesuai dengan kepercayaan yang dianut dianggap salah dan perlu dimusuhi.
Tentu saja, jika mempelajari ilmu itu, yang timbul adalah rasa curiga dan benci pada orang lain. Jika dengan manusia lainnya saja sudah benci, apalagi dengan makhluk-makhluk lainnya.
Oleh karena itu, sebelum belajar ilmu Kejawen, maka perlu memahami dulu tujuan kita belajar Ngelmu.(***)
Subscribe to:
Posts (Atom)