Google

Sunday, May 3, 2009

Cara Manembah Ala Suluk Wujil


Seperti pernah diulas sebelumnya bahwa manusia hidup di dunia ini memiliki dua hakekat. Hakekat yang pertama adalah Tansah Manembah Marang GUSTI ALLAH (Selalu menyembah pada GUSTI ALLAH) dan kedua, Apik marang sak padha padhaning ngaurip (Berbuat baik pada sesama makhluk hidup). Kali ini kita akan membahas perihal manembah marang GUSTI ALLAH.

Bagaimana cara manembah marang GUSTI ALLAH? Kita bisa mengutip pada beberapa bait Suluk Wujil karangan dari Sunan Bonang yang berbunyi:

Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata

Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat

Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia

Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya

Carilah yang Abadi


Dalam kehidupan ini kita dibekali GUSTI ALLAH dengan raga yang diantaranya terdapat indera. Berbagai macam indera telah ditanamkan pada tubuh kita dan praktis bisa dipergunakan dengan mudah. Namun di balik keberadaan indera tersebut, ternyata kinerja indera itu sendiri tidak bisa dipercaya 100 persen. Lho kok bisa? Apa buktinya?

Contoh yang sederhana saja, kita sering melihat gunung dengan menggunakan indera penglihatan kita yaitu mata. Nah, dari kejauhan, gunung itu bila kita lihat warnanya adalah biru. Warna biru gunung itu sendiri kita yakini dalam hati. Tetapi, saat kita mendaki gunung tersebut, ternyata warna biru yang kita tangkap dengan indera penglihatan kita itu merupakan gambaran dari pepohonan yang berwarna hijau. Pertanyaan yang muncul, mengapa warna biru dari jauh kok bisa menjadi hijau jika didekati? Bukankah indera penglihatan tersebut telah menipu kita?

Masih contoh indera penglihatan. Sangat sering kita melihat fatamorgana di jalanan yang lurus. Dari pandangan kita seolah-olah terdapat air nun jauh di sana. Namun ketika kita dekati, ternyata tidak ada air sama sekali. Lagi-lagi, apakah indera penglihatan telah menipu?

Contoh lainnya adalah indera perasa yaitu kulit. Kita mengetahui bahwa sebuah bongkahan es batu itu jika dipegang rasanya sangat dingin. Namun, ketika kita memegang es batu itu dalam waktu yang cukup lama, maka rasa dingin itupun akan berubah menjadi panas. Apakah indera perasa juga menipu?

Dari serangkaian contoh dan pertanyaan yang muncul itu, ada jawaban yang tersirat. TIDAK! indera-indera tersebut tidak menipu kita. Namun indera yang dianugerahkan GUSTI ALLAH pada kita tersebut sifatnya sangat terbatas dan memiliki kemampuan tertentu. Hal itu sesuai dengan kodrat manusia yang serba memiliki keterbatasan. Dan indera tersebut juga bisa dikatakan tidak abadi.

RAGA

Sama dengan indera, demikian pula dengan raga juga memiliki sifat tidak abadi. Buktinya, kita lama kelamaan akan menjadi tua. Bukankah itu tidak abadi? Pertanyaan yang muncul lagi adalah, lalu apa yang abadi? Menurut ilmu fisika, di dunia ini tidak ada benda yang hilang. Yang ada benda tersebut BERUBAH BENTUK ataupun BERPINDAH TEMPAT. Contohnya, ketika motor Anda dicuri orang, maka Anda mengatakan bahwa motor Anda hilang. Nah, dalam ilmu fisika, hal itu tidak benar. Yang benar, motor Anda berpindah tempat. Contoh lain, ketika Anda menyaksikan es yang menjadi air, bukan berarti bahwa esnya menghilang. Yang benar, esnya telah berubah bentuk.

Diantara yang tidak abadi dalam tubuh manusia itu, ada bagian yang abadi. Apakah itu? Bagian tubuh manusia yang abadi adalah sukma. Sukma inilah yang disebut Urip Tan Keno Pati (Hidup yang tidak terkena kematian). Lho kok bisa? Jelas bisa. Misalnya, ada suatu peristiwa pembunuhan terhadap si A. Jelas orang-orang secara umum menyatakan si A mati. Tetapi apakah benar si A mati? Tidak, si A tetap hidup meskipun kehilangan raga. Sukmanya masih bisa kemana-mana.

Dari serangkaian contoh di atas bisa disimpulkan, kalau kita hendak mendekat dan mencari GUSTI ALLAH, maka janganlah menggunakan hal-hal yang tidak abadi. Tetapi gunakanlah yang abadi. Seperti halnya kematian, bukanlah akhir, namun awal dari kehidupan yang langgeng yaitu Urip Tan Keno Pati.